Menurut laporan para pelancong yang ke nusantara sekitar abad pertengahan, orang-orang Jawa itu terlihat tangkas, berani, berstamina, dan percaya pada diri secara luar biasa. Mereka menguasai setiap jengkal dari tanahnya. Tak ada kekuatan asing yang bisa melecehkan kedaulatan tanah air mereka.
Permulaan abad ke 16, masyarakat Nusantara, khususnya di Pulau Jawa – untuk pertama kalinya dalam sejarah – mulai menyadari akan adanya Daulat manusia. Kesadaran akan adanya Daulat manusia, membuat masyarakat percaya diri, memiliki harga diri dan martabat yang tinggi. Sampai tiba era Mataram, semua itupun runtuh. Sebagaimana disampaikan Rendra dalam pidato kebudayaannya, Megatruh:
Sebelum ada Mataram, menurut laporan orang Portugis Jono de Barros, orang Jawa itu angkuh, berani, berbahaya dan pendendam. Kalau tersinggung perasaannya sedikit saja, terutama kalau disentuh kepala atau dahinya, terus mengamuk membalas dendam.
Seorang Portugis yang lain, Diego de Couto melaporkan bahwa dia mengagumi kecakapan berlayar orang-orang Jawa, bahasa Jawa yang selalu berkembang dan punya aksara sendiri, namun mereka begitu angkuh sehingga menganggap bangsa lain lebih rendah. Maka kalau orang Jawa lewat di jalan, dan melihat ada orang bangsa lain yang berdiri di onggokan tanah atau suatu tempat lain yang tinggi dari tanah tempat dia berjalan, apabila orang itu tidak segera turun dari tempat semacam itu, maka dia akan dibunuh oleh orang Jawa itu. Sebab dia tidak akan memperkenankan orang lain berdiri di tempat yang lebih tinggi.
Juga orang Jawa tak akan mau menyunggi beban di atas kepalanya, biarpun dia diancam dengan ancaman maut. Mereka adalah pemberani dan penuh keyakinan diri dan hanya karena penghinaan kecil saja bisa melakukan amuk untuk balas dendam. Dan meskipun dia telah ditusuk-tusuk dengan tombak sampai tembus, mereka akan terus merangsek maju sehingga dekat kepada lawannya.[1]
Bagaimanapun ekstremnya gambaran itu, pada intinya orang-orang Jawa itu terlihat tangkas, berani, berstamina, dan percaya pada diri secara luar biasa. Dan nyatanya di zaman kerajaan Demak dan Banten, saat kedua laporan itu ditulis, orang-orang Jawa menguasai setiap jengkal dari tanahnya. Tak ada kekuatan asing yang bisa melecehkan kedaulatan tanah air mereka.
Banten dan Demak bebas dari kekuasaan asing. Semarang dan Jepara menjadi tempat galangan kapal yang memprodusir kapal-kapal besar dan kecil dalam produktivitas yang tinggi. Arsitektur mengalami perkembangan yang besar. Atap Limasan, gandok, pringgitan dan pendopo joglo yang lebih besar diciptakan (sebelumnya pendopo itu kecil seperti gazebo). Orkestrasi gamelan berkembang karena diciptakannya gambang penerus, bonang penerus, dan sebagainya.
Variasi kendang-kendangpun bertambah. Lalu tembang-tembang Mocopat muncul sebagai eksperimen baru. Pertunjukan wayang kulit ditambah dengan kelir dan blencong. Santan dan minyak goreng ditemukan. Begitu pula krupuk, trasi dan penganan-penganan dari ketan bertambah variasinya. Masakan pepes dan kukus juga diketemukan. Lalu soga untuk pewarna kain batik, genting dari tanah liat, dan baju yang berlengan dan berkancing. Semua itu tentu saja merupakan pengaruh asing. Barangkali pengaruh dari Cina dan Campa. Tetapi daya adaptasi dan mencerna rakyat terhadap unsur-unsur baru sangat kreatif.
Sayangnya, ketika Kesultanan Demak runtuh, dan nusantara memasuki era kolonialisme bangsa Eropa, semua deskripsi tentang kewibawaan, keberanian dan martabat orang Jawa itupun berangsur luruh. Melalui sejumlah metode politik yang terapkannya, bangsa kolonial berhasil menundukkan raja-raja di nusantara, dan menjadikan mereka sebagai instrument politik untuk merenggut Daulat manusia dari rakyatnya. Raja kembali menjadi hukum itu sendiri. Dan ironisnya, penyelewengan para raja ini justru dimulai oleh sanak keturunan Sultan Demak yang kemudian mendirikan Kerajaan Pajang dan Mataram.
Sebagaimana dikatakan Rendra:
Sayang, begitu muncul Panembahan Senopati, rasa hormat pada daulat hukum itu dilecehkan. Sultan bergelar Sayidin Panatagama, dan terus sampai kepada seluruh keturunannya, kefanatikan terhadap kekuasaan raja yang mutlak dan sentralisasi kekuasaan itu dipertahankan. Rakyat disebut kawula (abdi) dan bukan warganegara. Hidup rakyat tidak pasti. Inisiatif mereka mulai terbatas. Banyak larangan untuk ini dan itu. Rakyat tak bisa mengontrol atau memberi tanggapan kepada kekuasaan. Maka daya hidup rakyat merosot. Yacob Couper, panglima tentara Belanda, menganggap daya tempur tentara Mataram sangat rendah. Sangat jauh dari deskripsi yang dilukiskan oleh Jono de Borros ataupun Diego de Couto. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Terkait sifat orang Jawa yang digambarkan tersebut, banyak juga di sebut oleh para pelancong dari negeri asing lainnya. Tome Pires, dalam Suma Oriental menggambarkan orang Jawa sebagai berikut:
“Orang-orang Jawa adalah pemburu:; mereka memiliki anjing (pemburu) yang berkalungkan emas dan perak. Orang-orang Jawa adalah sosok yang, kalau mereka mengirim surat sekali dan tidak mendapatkan balasan, tidak akan menulis lagi, meski itu sebenarnya penting bagi mereka, dan ini juga terjadi di kedutaan-keduaan mereka ataupun yang sejenisnya. Orang-orang Jawa adalah pemberani dan siap untuk mati. Mereka berjudi dengan taruhan tinggi, bahkan bisa mempertaruhkan anaknya sendiri.
Di antara banyak bangsa di dunia, tak ada orang yang melakukan Amocos seperti orang-orang dari bangsa Jawa. Amocos berarti orang yang siap mati (orang yang ngamuk-penj). Beberapa orang di antara mereka melakukannya ketika sedang mabuk, dan itu biasa bagi masyarakat; tapi para ningrat umumnya memiliki kebiasaan untuk menantang satu sama lain untuk berduel sampai mati: dan ini ada tradisi setempat. Beberapa diantara mereka bunuh diri di punggung kuda, beberapa di kaki, tergantung apa yang mereka putuskan.” Lihat, The Suma Oriental of Tome Pires, An Account of The East, From The Red Sea To Japan, Written In Malacca And India In 1512-1515, And The Book of Francisco Rodrigues, Rutter of A Voyage In The Red Sea, Nautical Rules, Almanack And Maps, Written And Drawn In The East Before 1515, Translated from The Portuguse MS in the Bibliotheque de la Chambre de Diputes, Paris, and Edit by Armando Cortesao, Volume I, (London: Printed For The Hakluyt Society, 1994), hal. 170
Mau minta dari bagian pertamanya dong
Diurut aja mas, itu kan ada link artikel seri sebelumnya. Atau bisa juga pake fasilitas “search”, tinggal copas aja dulu judul artikelnya