Mozaik Peradaban Islam

Ilusi Identitas Arab: Sebuah Pengalaman dan Klarifikasi (1) Pemandangan Awal

in Studi Islam

Last updated on May 31st, 2021 12:51 pm

Orang-orang Arab menolak saya sebagai orang “Arab”, walaupun nama saya jelas menyandang marga terkenal di Yaman. Dan ini membuat saya tidak percaya diri dengan bahasa Arab saya.

Foto ilustrasi: Lukisan karya Zaki al-Yafei, seniman asal Yaman, yang menggambarkan kehidupan keseharian warga Yaman.

Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab

Saya lahir di kota Jember dan besar di kota Bangil. Meski banyak warga keturunan Arab, Jember tidak punya kampung Arab. Berbeda dengan Bangil yang banyak santrinya dan punya perkampungan Arab.

Saya masih ingat saat bermain-main di Jember dan dipanggil, “Eh… Arab!” Tapi di Bangil, saat bergaul dengan bocah-bocah Arab, saya justru diledek karena mirip orang Tionghoa (baca: China). Lalu kalangan santri Bangil lebih suka menyebut saya “Londo”. Maka sejak itu, identitas “Arab” ini buat saya sudah membingungkan.

Sejak usia belasan tahun, saya belajar di Timur Tengah dan bertemu dengan orang-orang Arab. Mereka tidak menganggap saya sebagai orang Arab. Langsung saja mereka paham saya bukan orang Arab. Malah saat saya bertemu dengan orang asli Yaman, yang di situlah kakek saya lahir, dia menyebut saya sebagai orang “Jawa”.

Orang-orang Arab menolak saya sebagai orang “Arab”, walaupun nama saya jelas menyandang marga terkenal di Yaman. Dan ini membuat saya tidak percaya diri dengan bahasa Arab saya, atau mungkin juga gaya tutur dan rupa saya.

Setelah kembali ke Indonesia, saya bekerja sebagai translator (penerjemah dari teks ke teks) karya-karya bahasa Arab. Tapi tidak jarang juga saya mendapat kerjaan sebagai interpreter (penerjemah dari lisan ke lisan) di berbagai forum internasional.

Di forum itu saya bertemu dengan satu dua interpreter Jawa dan Sunda yang oleh orang Arab sendiri dianggap lebih Arab daripada saya. Jelas orang-orang Arab itu tidak melihat rupa, tapi hal-hal lain. Dan memang logat dan gaya mereka harus saya akui lebih Arab daripada saya yang konon warganegara Indonesia keturunan Arab. Barangkali karena mereka lebih lama hidup, berkumpul, dan menghayati Arab daripada saya.

Kemudian tiba kesempatan saya bekerja sebagai koresponden kantor berita Associated Press Television News (APTN) yang melayani televisi-televisi milik pemerintahan Arab. Bos dan rekan-rekan kerja saya umumnya orang Lebanon, Suriah, Kuwait, Saudi, Qatar, Tunisia, dan negara-negara berbahasa Arab lain.

Sejak awal komunikasi, mereka biasanya langsung menebak saya sebagai orang Arab dari wilayah Afrika Utara. Entah itu dari Tunisia, Aljazair, atau Maroko. Padahal jelas sekali nama saya yang tertera dalam Kartu Pers menyandang marga Yaman—yang dianggap sebagai asal-usul Arab. 

Selain pengalaman pribadi yang membosankan di atas, dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menyaksikan fenomena warganegara Indonesia, dari suku-suku asli Nusantara, suka sekali tampil kearab-araban. Dan biasanya gejala itu ditandai dengan perubahan gaya bicara, mode pakaian, selera kuliner dan lain sebagainya.

Tapi jelas sekali fenomena ini tidak berhubungan dengan terjadinya mutasi genetik atau transformasi rasial. Sama sekali tidak. Ironisnya, sebagian pemerhati menganggap fenomena itu sebagai tanda kebangkitan “Islam” atau munculnya kekuatan “Islam politik” dan sebagainya.

Walhasil, dalam percakapan awam, Arab jadi identik dengan Islam. Keidentikan ini pun pada gilirannya menambah kerumitan definisi Arab dalam percakapan publik, bahkan penelitian ilmiah.

Apalagi dalam satu dekade terakhir kita melihat gebyar “habib” dan politisi Arab di panggung politik nasional. Mereka ikut merumitkan identitas Arab bagi kalangan awam, mengingat sebagian mereka seringkali betul-betul ingin memperlihatkan kearaban.

Padahal, barangkali mayoritas mereka itu tak sepenuhnya mengenal bahasa dan tutur kata Arab. Malah mungkin tidak pernah tinggal di negeri Arab. Paling banter mereka hanya mampu memanfaatkan simbol Arab yang dianggap identik dengan Islam. Padahal Islam dan Arab tidak selalu sejalan, seperti yang akan kita tunjukkan dalam tulisan ini nanti.

Kalau kita mau bikin perbandingan, kita bisa bilang fenomena kerarab-araban itu mirip dengan fenomena kebarat-baratan. Orang kebarat-baratan umumnya juga tidak paham budaya atau bahasa Barat. Mereka berlagak seperti mengerti dan benar-benar Barat, doyan menyisipkan kata-kata dan istilah-istilah Inggris dalam percakapan mereka dan sebagainya.

Tapi jika kita teliti agak lebih serius, maka kita bisa dengan mudah menemukan bahwa mereka ini tidak sepenuhnya paham Barat dan tidak bisa berbahasa Barat dengan baik. Lebih-lebih jika kita mau menyelidiki lebih jauh soal wawasan mereka tentang budaya, sistem nilai dan filsafat Barat, maka kita pasti akan kecewa.[]

Bersambung ke:

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*