Memahami Zionisme (5): Dialog Muhammad Asad dengan Intelektual Zionis

in Studi Islam

Last updated on January 9th, 2018 08:54 am

“Tapi anda telah pergi dari Palestina selama hampir dua ribu tahun! Sebelumnya anda telah memerintah negeri ini, dan hampir seluruh wilayahnya, selama kurang dari lima ratus tahun. Tidak kah anda berpikir bahwa orang-orang Arab bisa, dengan pembenaran yang sama, dapat menuntut Spanyol untuk diri mereka sendiri—karena, bagaimanapun juga, mereka memegang kekuasaan di Spanyol selama hampir tujuh ratus tahun dan kehilangannya hanya lima ratus tahun yang lalu?”

–O–

Leopold Weiss (1900-1992) adalah seorang intelektual Yahudi Austria yang menjalani kehidupan yang menakjubkan sebagai seorang ilmuwan, sekali waktu pernah menjadi mata-mata, pernah juga menjadi prajurit, dan terakhir menjadi seorang diplomat. Hidupnya benar-benar menarik, dan kisahnya pernah dituliskan dalam sebuah otobiografi yang berjudul ‘The Road to Mecca’ (Jalan Menuju Mekah). Pada akhirnya dia masuk Islam dan mengubah namanya menjadi Muhammad Asad.[1]

Leopold Weiss atau Muhammad Asad ketika berbicara di Radio Pakistan pada akhir tahun 1940. Photo: mischief-films.com

Berikut ini adalah dialog antara Muhammad Asad dengan Dr. Chaim Weizmann, Presiden Organisasi Zionis Dunia, mengenai Palestina:

“Saya masih ingat sebuah diskusi singkat yang saya lakukan Bersama Dr. Chaim Weizmann, pemimpin gerakan Zionis yang tak terbantahkan lagi. Dia datang dalam rangka salah satu kunjungan berkalanya ke Palestina (tempat tinggalnya yang permanen, saya percaya, berada di London), dan saya bertemu dengannya di rumah seorang teman yang Yahudi. Salah satu hal yang mengesankan dari orang ini adalah energinya yang sangat besar—sebuah energi yang termanifestasikan dengan sendirinya, bahkan dalam gerak-geriknya, dengan langkah panjang dan gesit dia naik turun ke atas dan bawah ruangan—dan dengan kekuatan intelektual yang tampak dari dahinya yang lebar dan tatapan matanya yang tajam.

Dr. Chaim Weizmann. Photo: http://mondoweiss.net

Dia berbicara mengenai kesulitan finansial yang menjadi kendala bagi terwujudnya mimpi mendirikan pemukiman nasional Yahudi, dan respon yang kurang terhadap mimpi ini dari orang-orang di luar negeri; dan saya memiliki kesan yang mengganggu bahwa bahkan dia, seperti kebanyakan Zionis lainnya, cenderung mengalihkan tanggung jawab moral untuk semua hal yang terjadi di Palestina ke ‘dunia luar’. Hal tersebut mendorong saya untuk menerobos kecanggungan karena hormat yang mana setiap orang yang hadir hanya mendengarkan dia saja, dan bertanya:

‘Dan bagaimana dengan orang Arab?’

Saya telah melakukan kebodohan dengan mengangkat sebuah isu sensitif ke dalam pembicaraan, maka Dr. Weizmann menolehkan wajahnya perlahan ke arah saya, meletakkan cangkir yang dipegang di tangannya, dan mengulangi pertanyaan saya:

‘Bagaimana dengan orang Arab …?’

‘Ya, bagaimana anda bisa berharap untuk menjadikan Palestina sebagai rumah anda di hadapan perlawanan keras orang-orang Arab yang, lagi pula, merupakan mayoritas di negara ini?’

Pemimpin Zionis tersebut mengangkat bahunya dan menjawab dengan datar: ‘Kami kira dalam beberapa tahun lagi mereka tidak akan menjadi mayoritas.’

‘Mungkin begitu. Anda telah menghadapi masalah ini selama bertahun-tahun dan mestinya mengetahui situasi dengan lebih baik daripada saya. Tapi terlepas dari kesulitan politik dari oposisi Arab yang mungkin atau mungkin juga tidak mengganggu jalan anda—tidak kah pertanyaan mengenai aspek moral pernah menggugah anda? Tidak kah anda berpikir bahwa ada yang salah di sisi anda dengan menyingkirkan orang yang telah lama tinggal di negara ini?’

‘Tapi ini negara kami,’ jawab Dг. Weizmann sambil mengangkat alisnya. ‘Kita tidak melakukan apapun selain mengambil kembali apa yang telah dirampas dengan salah dari kita.’

‘Tapi anda telah pergi dari Palestina selama hampir dua ribu tahun! Sebelumnya anda telah memerintah negeri ini, dan hampir seluruh wilayahnya, selama kurang dari lima ratus tahun.[2] Tidak kah anda berpikir bahwa orang-orang Arab bisa, dengan pembenaran yang sama, dapat menuntut Spanyol untuk diri mereka sendiri—karena, bagaimanapun juga, mereka memegang kekuasaan di Spanyol selama hampir tujuh ratus tahun dan kehilangannya hanya lima ratus tahun yang lalu?’[3]

Dг. Weizmann terlihat menjadi tidak sabar: ‘Omong kosong. Orang-orang Arab hanya menaklukkan Spanyol; itu tidak pernah menjadi tanah air asli mereka, dan benar bila pada akhirnya mereka diusir oleh orang-orang Spanyol.’

‘Maafkan saya,’ jawabku, ‘tapi menurutku ada beberapa kekeliruan sejarah di sini. Lagi pula, orang-orang Ibrani juga datang ke Palestina sebagai penakluk. Jauh sebelum mereka, sudah ada banyak suku-suku Semit maupun non-Semit yang menetap di sini—orang-orang Amori, Edom, Filistin, Moab, dan Нittit. Suku-suku tersebut bahkan tetap tinggal di sini ketika kerajaan Israel dan Yehuda berkuasa. Mereka juga tetap melanjutkan hidup di sini ketika orang Romawi mengusir nenek moyang kita. Mereka hidup di sini hari ini. Orang-orang Arab yang menetap di Suriah dan Palestina setelah penaklukkan mereka pada abad ke-7 selalu hanya merupakan minoritas kecil dari populasi; orang-orang lainnya, apa yang kita deskripsikan hari ini sebagai Arab Palestina atau Arab Suriah, realitasnya hanyalah ter-Arabisasi dari penduduk asli negara ini. Dalam perjalanan selama berabad-abad, beberapa dari mereka menjadi muslim, sementara yang lainnya tetap menjadi orang-orang Kristen; para muslim secara alamiah menikah dengan teman-teman seagama mereka dari Arab. Tetapi dapatkan anda menyangkal bahwa sebagian besar orang Palestina, yang berbicara bahasa Arab, baik muslim maupun kristen, merupakan keturunan langsung dari penduduk asli: asli dalam arti pernah tinggal di negara ini berabad-abad sebelum orang Ibrani datang ke sini?’[4]

Dг. Weizmann tersenyum dengan sopan mendengar semburan saya dan mengalihkan pembicaraan ke topik lain.”[5] (PH)

Bersambung ke:

Memahami Zionisme (6): Keberagaman Rakyat Palestina

Sebelumnya:

Memahami Zionisme (4): Siapa “Kanaan” di dalam Alkitab?

Catatan Kaki:

[1] Yasir Qadhi, “Leopold Weiss”, dari laman https://www.facebook.com/yasir.qadhi/posts/10155529980948300, diakses 27 Desember 2017.

[2] Lebih lengkap mengenai penaklukkan keturunan Abraham yang menaklukkan Kanaan, lihat Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, (Mizan: Bandung, 2002), hlm 38.

[3] Lebih lengkap mengenai penaklukkan bangsa Arab ke Spanyol, lihat “Penaklukan Andalusia (1)”, dari laman https://ganaislamika.com/penaklukan-andalusia-1/”, diakses 27 Desember 2017.

[4] Lebih lengkap mengenai tinjauan biblikal dan arkeologis mengenai suku-suku asli Kanaan, lihat “Memahami Zionisme (4): Siapa “Kanaan” di dalam Alkitab?”, dari laman https://ganaislamika.com/memahami-zionisme-4-siapa-kanaan-di-dalam-alkitab/, diakses 27 Desember 2017.

[5] Muhammad Asad, The Road tо Makkah, (Islamic Book Service: New Delhi, 2004), hlm 94-95.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*