“Salah satu pertanyaan yang layak diutarakan adalah bagaimana orang-orang Arab – yang juga merupakan orang asing di Nusantara – dapat dengan cepat meraih posisi-posisi puncak dalam sistem pemerintahan di Nusantara secara damai? Bahkan tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya menjadi bagian dari keluarga kerajaan yang kemudian mewarisi tahta ningrat di sejumlah wilayah.”
—Ο—
Sebagaimana sudah diurai pada edisi sebelumnya, periode kedatangan orang-orang Arab ke Nusantara yang terjadi antara abad 12 hingga 17 Masehi, telah secara signifikan mewarnai wajah peradaban Nusantara. Hampir semua sejarawan sepakat, bahwa orang-orang Arab, khususnya anak keturunan kaum Alawiyin dari Hadramaut inilah yang menjadi pionir utama tersebarnya Islam di Nusantara. Pada akhir masa kejayaan Majapahit, Islam di Nusantara sudah menjadi sistem nilai yang melebur dengan kebudayaan masyarakat. Menariknya, sistem nilai tersebut diadopsi secara merata oleh masyarakat di hampir semua pulau-pulau besar yang ada di Nusantara.
Sebagaimana dikatakan oleh Musa Kazhim, bahwa terjadinya fenomena pemerataan ajaran Islam di Nusantara karena didukung setidaknya oleh dua sistem jaringan; pertama, jaringan profesional; kedua, jaringan intelektual atau keilmuan.[1]
Terkait jaringan keilmuan, Azyumardi Azra (2004), Ulrike Freitag (1999), dan Michael R. Feener (2004) telah memetakan jaringan-jaringan itu secara rinci. Paling tidak, ada tiga pola simpul jaringan intelektual para Habib. Pertama, jaringan intelektual antara Mekkah dan Nusantara, yang sekarang dikenal sebagai Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Kedua, jaringan intelektual antara Hadhramaut dan Asia Tenggara. Terakhir, pusat-pusat studi Islam di kerajaan-kerajaan lokal di daerah-daerah Asia Tenggara, seperti Riau dan Sumenep.[2]
Adapun terkait dengan jaringan professional yang dimaksud, Musa Kazhim menyatakan bahwa pada masa awal kedatangannya, orang-orang Arab yang beragama Islam ini banyak yang didaulat oleh para raja setempat untuk menjadi penguasa pelabuhan (syahbandar). Dan ini terjadi di hampir semua wilayah, khususnya di Pulau Sumatera dan Jawa.[3]
Tampaknya fenomena ini terjadi karena adanya tuntutan kompetensi dan profesionalitas yang terbangun di perairan global pada masa itu. Di mana orang-orang Islam umumnya menguasai sebagian besar pelabuhan yang ada di dunia mulai dari laut Mediterania, hingga Malaka dan Champa.
Selama lebih dari 700 tahun, imperium Islam telah menjadi kekuatan adidaya global. Sebagaimana layaknya sebuah negara adidaya, dinasti-dinasti Islam yang muncul sepanjang 700 tahun itu menjadi poros utama peradaban manusia. Mereka menjadi pemegang otoritas moral dan intelektual di seluruh kawasan. Dan hal ini tentunya turut mempengaruhi lingua franca perdagangan dan komunikasi global pada masa itu.
Seperti dikisahkan oleh Prof. Slamet Muljana, bahwa pada sekitar abad ke-15 dan ke-16 Masehi, Malaka yang merupakan pusat perkembangan Islam di Nusantara, menjadi kawasan penting dalam konstelasi jalur perdagangan yang menghubungkan wilayah timur dan barat dunia. Hampir semua komoditi yang bergerak di Samudera Hindia akan melakukan transit di Malaka. Meski pada waktu itu perairan laut nusantara masih dikuasai oleh Majapahit, namun untuk urusan perdagangan internasional, mereka sangat bergantung dengan Malaka yang dikuasai oleh orang-orang Islam. [4]
Tentang situasi Malaka pada masa itu, Prof. Slamet Muljana menggambarkannya sebagai berikut: [5]
“Pada tahun 1414, Raja Muar yang bernama Parameswara dan beristrikan putri dari Pasai, atas bujukan sang permaisuri masuk Islam dan bergelar Megat Iskandar Syah. Peristiwa tersebut memberikan dorongan yang terlalu kuat untuk persebaran agama Islam di kalangan rakyat Malaka khususnya, dan di kalangan penduduk pedalaman Malaya pada umumnya. Para pedagang yang datang dari negara-negara di pantai Laut Selatan dan Tiongkok, serta pedagang yang datang dari Indonesia, menyaksikan agama Islam berkembang biak dan bertumbuh subur di Kota pelabuhan Malaka. Perkenalan mereka dengan agama Islam di Malaka sangat intensif. Kota pelabuhan Malaka menjadi kota dagang Islam di Asia Tenggara.
Namun, perlu diketahui bahwa kota pelabuhan Malaka menjalankan (sistem) dagang perantara. Pedagang perantara pada umumnya tidak banyak mengadakan pelayaran ke sumber barang dagangan. Mereka cukup menetap di kota Malaka untuk menerima barang dagangan itu dari para pedagangan asing yang datang memperdagangkan hasil buminya di Malaka. Jadi, mereka tidak usah berlayar sendiri ke Tiongkok untuk memperoleh barang-barang Tiongkok dan hasil buminya. Juga tidak usah berlayar sendiri ke Indonesia Timur untuk membeli rempah-rempah di Kepulauan Maluku. Barang-barang itu datang sendiri ke kota Malaka. Dengan jalan demikian, para pedagang kota pelabuhan Malaka tidak menjadi pedagang saingan para pedagang asing yang datang dari pantai-pantai Laut Selatan, Tiongkok dan Indonesia. Lagi pula, para pedagang itu di negerinya masing-masing ingin sepenuhnya menguasai hasil bumi yang diperdagangkan, untuk memperoleh keuntungan yang besar. Mereka tidak ingin melihat pedagang lain sebagai saingannya. Segala barang dagangan yang mereka perlukan, dibelinya di kota pelabuhan Malaka dan diangkut ke negerinya masing-masing. Demikianlah, mereka datang ke Malaka membawa hasil bumi negerinya masing-masing, dan bertolak dari Malaka dengan mengangkut barang-barang yang diperlukan oleh penduduk negerinya masing-masing.”
Dengan demikian bisa dimengerti bila banyak raja-raja lokal di Nusantara, mempercayakan pelabuhannya untuk dikelola oleh orang-orang Arab yang juga pemeluk agama Islam. Selain karena kecakapannya, orang-orang Arab ini memiliki pengetahuan yang luas dan jejaring kekerabatan di sejumlah wilayah di sepanjang jalur perdagangan Samudera Hindia. Ini tentu saja sebuah kompetensi yang sangat dibutuhkan oleh raja-raja lokal untuk menembus pasar dunia. (AL)
Bersambung ke:
Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (12)
Sebelumnya:
Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (10)
Catatan kaki:
[1] Lihat, Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya Dalam Dakwah Damai Di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hal. 17
[2] Ibid. hal. 14-15
[3] Ibid
[4] Lihat, Prof. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindi-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LKiS, 2005, hal. 144-146
[5] Ibid, hal. 147-148