Mozaik Peradaban Islam

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (12)

in Islam Nusantara

Last updated on September 20th, 2018 01:03 pm

Pada sekitar abad ke 18, keturunan Alawiyin telah mengalami asimilasi dengan masyarakat lokal. Mereka memperoleh kedudukan yang memungkinkan kiprahnya terlihat nyata dalam masyarakat. Secara spekulatif penulis menilai bahwa kehadiran kaum Alawiyin yang merata dan berpengaruh di hampir setiap kepulauan besar di Nusantara inilah yang menjadi racikan pertama anatomi keindonesiaan hari ini.”

—Ο—

 

Sketsa Pelabuhan Batavia pada 1780. Saat itu Batavia beralih ke tangan penguasa Eropa setelah Malaka terlebih dulu jatuh. Sumber gambar: republika.co.id

Sebagaimana sudah diulas pada edisi sebelumnya, bahwa eksistensi Malaka yang menerapkan satu mekanisme perdagangan tidak langsung, telah memutus jalur perdagangan kuno yang kompleks dan jauh; seperti hubungan dagang antara China-Arab, Nusantara-China, dan Nusantara-Arab.

Menurut Ismail Farjie Alatas, sebagai konsekuesi dari keberadaan Malaka, adalah terbentuknya divisi pelayaran dalam tiga rute yang lebih singkat. Barang-barang dari pantai Arabia dibawa oleh para pedagang Arab ke pelabuhan Cambay di Gujarat dan diambil alih oleh para pedagang Gujarat yang membawanya ke Malaka. Dari Malaka, kemudian barang-barang tersebut dibawa oleh para pedagang China ke daratan Tiongkok. Disintegrasi rute perdagangan langsung ini berdampak positif bagi para pedagang. Selain mereduksi waktu pelayaran, disintegrasi juga berarti percepatan pengembalian modal dagang.[1]

Salah satu dampak dari situasi di atas, pada abad ke-16 kesultanan Gujarat dan Malaka mencapai zaman keemasannya. Kerajaan-kerajaan di kedua wilayah ini memiliki pandangan yang terbuka dan kosmopolitan. Guna meningkatkan reputasinya, para sultan mulai mengundang dan membiayai kehidupan para ulama dari berbagai kawasan di Samudera Hindia. Mereka diminta mengajar dan menjaga fungsi hukum Islam. Dalam kondisi inilah kemudian, para keturunan Arab, khususnya yang berasal dari Hadramaut atau kaum Alawiyin, mulai menancapkan eksistensinya secara regional.

Sebagaimana yang diungkapkan Ismail Fajrie Alatas, “Kesuksesan perdagangan internasional dan terbentuknya jaringan ulama tidak hanya membantu proses Islamisasi, namun juga mengubah karakter kota-kota pelabuhan menjadi ranah interkoneksi yang berbudaya tinggi sekaligus cair. Sebuah ranah hibrida dimana ‘rute’ hidup dan pengalaman belajar di beberapa tempat berbeda menjadi sama penting, atau malah lebih penting, dari asal usul geografis. Walaupun Malaka akhirnya diduduki oleh Portugis di awal abad ke-16, fungsi kulturalnya dilanjutkan oleh beberapa kesultanan lain, seperti Aceh. Alhasil, abad ke-16 menyaksikan terbentuknya sebuah ranah sosio-kultural kosmopolitan yang dapat dilukiskan – menggunakan terminologi sejarawan Marshall Hodgson – sebagai ‘Islamicate’. Ranah kelautan yang didominasi oleh perdagangan internasional dan jaringan ulama inilah yang menghubungkan kota-kota dari kawasan Hijaz hingga ke Kepulauan Nusantara dalam sebuah untaian kultural. Dalam ranah inilah, komunitas Hadrami – khususnya kaum Sayid – mulai mengambil peran.”[2]

Masih menurut Ismail Fajrie Alatas, ada beberapa faktor yang memfasilitasi kaum Alawiyin untuk bermukim di banyak wilayah kawasan Samudera Hindia dan memudahkan mereka mendaki tangga sosial. Pertama, kemampuan bepergian yang dimudahkan oleh jaringan perdagangan. Kedua, hubungan intelektual mereka dengan jaringan ulama yang menjadikan mereka bagian dari sebuah komunitas intelektual internasional, sehingga kadar keulamaan mereka mudah dikenali. Dalam hal ini, faktor terpenting adalah keanggotaan mereka dalam mahzab Syafi’i yang mendominasi pesisir Samudera Hindia. Ketiga, penguasaan terhadap bahasa dan sastra Arab menjamin penghormatan para penguasa kepada mereka. Keempat, karakter kosmopolitan dari lokalitas tempat mereka berimigrasi memudahkan mereka berintegrasi dengan masyarakat tanpa harus dicap sebagai golongan asing. Lautan Nusantara, contohnya, adalah sebuah ranah “pluralisme cair”.[3]

Namun menurut Ismail Fajrie Alatas, faktor terpenting yang memfasilitasi proses integrasi Kaum Alawiyin di kawasan Samudera Hindia, terlebih lagi Nusantara, adalah sisilah mereka. Silsilah kaum Alawiyin yang bersambung ke Rasulullah SAW merupakan satu hal yang prestisius di mata para sultan Melayu, yang menganggap diri mereka sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain yang namanya tersebut dalam al-Quran.[4]

Dalam pandangan struktural yang berbasis silsilah ini, kedudukan kaum Alawiyin yang bersambung hingga Rasulullah SAW, dianggap lebih prestisius dari sultan-sultan Melayu. Bingkai kekerabatan ini, menyediakan jalur cepat bagi kaum Alawiyin memanjat tangga sosial melalui perkawinan dengan para keluarga kerajaan. Silsilah emas yang mereka miliki, dianggap sebagai “hadiah berharga” yang diberikan kaum Alawiyin kepada para penguasa lokal di Nusantara.[5]

Pada tahap selanjutnya, melalui hasil perkawinan dua sisilah ningrat tersebut, kemudian melahirkan generasi kedua kaum Alawiyin yang menurut Ismail Fajrie Alatas memiliki karakter dasar hibrida. Karakter dasar ini yang kemudian mendukung proses terbentuknya kultur ‘Hadrami hibrida’ di Nusantara. Dalam proses interaksinya dengan kehidupan masyarakat di Nusantara, mereka menduduki posisi-posisi penting dalam urusan politik dan kemasyarakatan. Pada sekitar abad ke-18, para keturunan Alawiyin ini sudah umum terlihat menjalani berbagai profesi penting, mulai dari ulama, pedagang, penguasa lokal, dan bahkan Sultan.[6]

Keberadaan mereka pada posisi-posisi penting tersebut, menjadikan kultur hadrami hibrida sangat mewarnai kebudayaan sosial masyarakat, pendidikan, nilai-nilai spiritual, perekonomian, hingga keputusan-keputusan politik di Nusantara. Tanpa bermaksud mengecilkan kiprah dari kelompok masyarakat lainnya di Nusantara, secara spekulatif penulis menilai bahwa kehadiran kaum Alawiyin yang merata dan berpengaruh di hampir setiap kepulauan besar di Nusantara inilah yang menjadi racikan pertama anatomi keindonesiaan hari ini. (AL)

Bersambung ke:

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (13)

Sebelumnya:

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (11)

Catatan kaki:

[1] Lihat, Ismail Farie Alatas, “Menjadi Arab: Komunitas Hadrami, Ilmu Pngetahuan Kolonial dan Enisitas”, dalam L. W. C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara, Jakarta, Komunitas Bambu, 2010, hal. xxx

[2] Ibid, hal. xxxi

[3] Ibid. hal. xxxi-xxxii

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Ibid, hal. xxxiii

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*