Mozaik Peradaban Islam

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (10)

in Islam Nusantara

Last updated on September 10th, 2018 10:32 am

Orang-orang Arab ini – khususnya para Habib – tidak hanya berpengaruh secara teknis di tengah masyarakat, tapi juga secara intelektual dan spiritual. Inilah faktor yang paling ditakuti dan sekaligus dibenci oleh bangsa kolonial dari orang Arab di Nusantara.”

—Ο—

 

Sebagaimana sudah disebutkan pada edisi sebelumnya, bahwa kiprah orang-orang Arab, khususnya kaum Alwiyin pada periode abad ke 14 hingga ke 17 masehi sangat terasa dan dicatat baik oleh babad lokal, hingga catatan para penjelajah dari China dan Eropa. Merekalah yang dianggap sebagai orang-orang yang berhasil menyebarkan Islam di Nusantara.

Berdasarkan hasil penelitian L. W. C. van den Berg pada tahun 1886 M, dia memperkirakan bahwa tidak bisa dipungkiri Islam yang ada di Nusantara dibawa oleh orang-orang Arab, yang menurut pendapatnya adalah para pedagang. Namun orang-orang Arab yang datang pada periode awal ini tidak hadir sebagai kelompok yang ekslusif di Nusantara. Hasil penelitian Berg menyebutkan orang-orang Arab ini melebur dengan kebudayaan setempat, mereka membaur dan menikah dengan masyarakat pribumi. Sehingga banyak di antara berketurunan Arab pada abad ke 18 merupakan generasi ke sekian dari nenek moyang mereka, dan tidak lagi menunjukkan ciri-ciri budaya khas Arab. [1]

Van den  Berg menuturkan, peleburan orang-orang Arab yang datang ke nusantara pada periode abad ke 14 hingga 17 masehi ini bisa dibuktikan dengan tidak ditemukannya koloni-koloni bangsa Arab sebagaimana yang ia temukan pada abad ke 19 M. Menurutnya, bila memang orang-orang Arab pada masa sebelum abad ke 19 memang ekslusif dan mendirikan koloni, seharusnya jejak peninggalan mereka bisa ditemukan – sebagaimana orang China yang bisa dilacak keberadaan koloni-koloninya baik dalam catatan sejarah ataupun sisa peninggalannya.[2]

Karel A. Steenbrink dalam kata pengantar buku “Orang Arab di Nusantara” karya L. W. C. van den Berg, menyampaikan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Berg sebenarnya merupakan hal yang diperlukan oleh bangsa kolonial kala itu. Karena mereka menilai salah satu kekuatan rakyat di Nusantara adalah pengaruh agama Islam yang mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat, dan semua ini di motori oleh orang-orang Arab tersebut. Oleh sebab itu, melacak geneologi orang-orang Arab – termasuk juga anatomi kekuatan kelompok mereka adalah satu hal yang krusial guna mendukung kesuksesan kolonialisasi mereka.[3]

Tapi sebagaimana diungkapkan oleh Steenbrink, bahwa hasil penelitian van den Berg malah menyebabkan terjadinya kebingungan di dalam pemikiran bangsa Eropa kala itu. Dimana mereka mengalami kesulitan dalam melacak secara definitif kekuatan orang-orang Arab ini. Karena sifat mereka yang begitu cair dengan masyarakat, namun sangat berpengaruh terhadap sikap politis masyarakat pribumi.  Sebagaimana yang diungkap van den  Berg dalam hasil penelitiannya:

Bahkan pada zaman yang lebih modern, saya kira kita tidak dapat berbicara mengenai koloni Arab sebelum abad 19. Meskipun sebelum abad itu, sejumlah orang Arab telah menetap di pelabuhan-pelabuhan penting Nusantara dan beberapa diantaranya bahkan mempunyai pengaruh yang mencolok atas masa depan politis golongan Pribumi dan pendirian koloni-koloni Arab.”[4]

Senada dengan hal tersebut, menurut Musa Kazhim, para Habib telah mewarnai daerah-daerah di Indonesia sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, seperti Portugis dan Belanda. Kebanyakan mereka diberi kepercayaan oleh raja-raja setempat sebagai syahbandar, seorang diplomat ekonomi yang bertugas mengatur gerak perdagangan antara kerajaan setempat dengan para importir. Pada masa pemerintah kolonial Portugis dan Belanda, jabatan syahbandar diubah menjadi kapiten atau letnan, yang tidak sekedar menjadi makelar ekonomi, tetapi juga makelar budaya, penghubung antara masyarakat lokal dengan pemerintah kolonial. Bukan hanya para Habib, jabatan kapiten atau letnan juga dipercayakan kepada elite Tionghoa dan Melayu.[5]

Tapi tidak hanya itu. Menurut Musa Kazhim, kiprah sesungguhnya orang-orang Arab pada periode ini tidak hanya pada kecakapan mereka mengelola pelabuhan. Hal yang paling penting justru karena orang-orang Arab ini, khususnya para Habib, membuat simpul-simpul jaringan intelektual di daerah-daerah tempat mereka berdiaspora. Ini sangat kontras dengan yang dilakukan oleh bangsa Eropa yang justru mengeruk kekayaan alam di Nusantara.[6]

Dalam kerangka ini, para Habib tersebut tidak hanya berpengaruh secara teknis di tengah masyarakat, tapi juga secara intelektual dan spiritual. Inilah faktor yang paling ditakuti dan sekaligus dibenci oleh bangsa kolonial dari orang-orang Arab di Nusantara. Sebagaimana dikutip dari Karel A. Steenbrink, respon pemerintah kolonial Belanda ketika Van den Berg dalam hasil penelitiannya mengusulkan agar mereka (aparat pemerintah Belanda) menghentikan sikap paranoid kepada orang Arab dan Islam, sebagai berikut:[7]

Kalau ia merasa sentiment sepeti itu, ya, boleh saja secara pribadi. Tetapi jangan ia meminta supaya simpati ini dari semua pegawai, hal ini mustahil! Orang Eropa di Hindia Belanda semua membenci kepada orang Arab. Kebencian ini sama saja dengan kebencian orang Eropa kepada kaum Yahudi. Prasangka ini begitu kuat, sehingga orang yang berpendidikan baik, tingkah lakunya baik, belum tentu akan diterima oleh orang Eropa dalam pergaulannya. Hal itu sama dengan orang Arab di sini…. Pendek kata, orang Arab yang tinggal di Nusantara tidak mendapat simpati dari orang Eropa, malah ia menjadi objek kebencian dan permusuhan. Rasa benci ini tidak bisa diatasi melalui membaca karangan Mr. Van den Berg.” Demikian sebagaimana dikutip dari Steenbrink. (AL)

Bersambung…

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (11)

Sebelumnya:

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (9)

Catatan kaki:

[1] Lihat, L. W. C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara, Jakarta, Komunitas Bambu, 2010, hal, 95

[2] Ibid

[3] Lihat, Karel A. Steenbrink, “Si Glamour-Boy Penasihat Ahli Gubernur Jenderal Hindia Belanda”, dalam L. W. C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara, Jakarta, Komunitas Bambu, 2010, hal. xix

[4] Ibid

[5] Lihat, Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya Dalam Dakwah Damai Di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hal. 17

[6] Ibid

[7] Lihat, Karel A. Steenbrink, Op Cit

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*