Mozaik Peradaban Islam

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (9)

in Islam Nusantara

Last updated on August 31st, 2018 10:43 am

Dalam analisis Engseng Ho, jalan damai diaspora para Habib itulah, yang menjadi pembeda karakter diaspora perdagangan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa. Alih-alih menggunakan jalan damai, bangsa-bangsa Eropa justru melakukan akumulasi dan eksplorasi sumber daya alam daerah-daerah subur di Samudera Hindia. Akumulasi inilah yang kemudian menyebabkan kolonialisasi berabad-abad, termasuk di Indonesia. Sebut saja diaspora sejenis sebagai “diaspora kolonialisasi”.

—Ο—

 

Terkait dengan kiprah keturunan Arab di Nusantara, setidaknya terdapat dua periodesasi yang bisa kita pilah untuk menjelaskan perbedaan corak kiprah mereka. Pertama, periode dari abad ke 14 M hingga abad ke-17 M; Kedua, periode dari abad ke 17 hingga abad 20 M atau masa pergerakan nasional.

Pada periode pertama yang berlangsung pada abad ke-14 M, ditandai dengan kedatangan tokoh-tokoh asyrâf, keturunan ‘Ali dan Fâthimah binti Rasulullah SAW. yang lazim dikenal dengan sebutan ‘alawiyin. Pada periode ini, para keturunan Arab dari Hadramaut berhasil melesakkan nilai-nilai luhur Islam hingga menembus ke jantung kebudayaan nusantara. Tak ayal, dalam waktu singkat dakwah Islam berkembang sedemikian rupa sehingga dapat tersebar di seluruh penjuru Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Perkembangan tersebut mencapai puncaknya pada abad ke-15 hingga abad ke-17 M.

Mengenai kegiatan dan upaya-upaya positif yang mereka lakukan, pengarang Al-Madkhal ilâ Târîkh Al-Islâm bi Al-Syarq Al-Aqshâ mengatakan sebagai berikut, “Islam datang ke pulau-pulau yang jauh ini dibawa oleh orang-orang berakhlak mulia, bermoral tinggi, cerdik pandai, dan semangat kerja keras. Sementara itu, bangsa-bangsa yang menerima kedatangan mereka memiliki hati yang jernih sehingga dengan suka cita menerima ajakan mereka dan menyatakan beriman. Mereka adalah keturunan ‘Ali dan Fâthimah binti Rasulullah SAW. yang menginjakkan kaki di wilayah- wilayah yang belum pernah terjamah oleh tangan Barat. Mereka melakukan itu bukan dengan membawa bala tentara, melainkan semangat iman; bukan pula kekuatan, melainkan sikap percaya diri dan keimanan. Tiada mereka berbekal, kecuali tawakal; tiada perahu motor, tiada pula angkatan perang, yang mereka bawa hanya iman dan Alquran. Mereka berhasil mencapai tujuan yang tak dapat dicapai beribu pasukan dengan segala perbekalan dan fasilitas lengkap sekalipun, padahal mereka hanya beberapa orang.”[1]

Husain Al-Amin, sebagaimana dikutip oleh Musa Kazhim melukiskan sebagai berikut, “Migrasi tahap kedua ini (Abad 14 M), di samping kontribusinya terhadap penyebaran Islam, juga telah melahirkan kepustakaan yang melimpah, tetapi tidak ditakdirkan populer karena kebanyakan cendekiawan dan intelektual Arab tidak mengetahuinya sama sekali.” Orang-orang Indonesia mengenal dai-dai dari ‘Alawiyin ini dengan sebutan “wali-wali”, sedangkan di Jawa khususnya, mereka dikenal dengan nama Sunan yang dengan semangat yang tinggi mampu mengangkat bangsa-bangsa di wilayah itu dari lembah pemujaan berhala kepada kemuliaan tauhid.

Sebagaimana sejarah mencatat, salah satu kelas ulama paling terkemuka pada periode pertama ini – khususnya di pulau Jawa – adalah para Wali Songo. Menurut versi Haba’ib, nasab hampir semua Wali Songo bersambung hingga ke Syeik Jumadil Kubra. Dengan kata lain, mereka adalah anak keturunan kaum Alawiyin yang berasal dari Hadramaut. Bisa dikatakan, kiprah mereka menandai dimulainya babak sejarah peradaban Islam Nusantara. berikut ini secara singkat uraian tentang Wali Songo menurut Musa Kazhim:[2]

  1. Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M), tokoh pertama yang memperkenalkan Islam di Jawa dan yang pertama mendirikan pesantren, yakni sebuah sistem pendidikan yang menyiapkan murid-muridnya menjadi ulama syariat dan mubalig. Ia dimakamkan di Gresik, Jawa Timur, dan sampai kini makamnya masih tetap menjadi tempat ziarah.[3]
  2. Sunan Ampel Raden Rahmat. Dia pergi ke Gresik mengunjungi Maulana Malik pada tahun 804 H/1401 M. Makamnya menjadi bukti keagungan perjuangannya demi agama Islam dan umatnya.
  3. Sunan Bonang Maulana Makhdam Ibrahim. Putra Sunan Ampel ini dilahirkan pada 1465 M dan wafat 1525 M. Dia mendirikan pesantren di tempat tinggalnya. Dia juga adalah salah seorang pendiri Kerajaan Demak.
  4. Sunan Giri ibn Maulana Ishaq yang bergelar Sultan ‘Abd Al-Faqih. Nama aslinya Muhammad ‘Ain Al-Yaqin dan termasuk keturunan Imam Al-Muhajir yang terpopuler. Dia sempat belajar pada Sunan Ampel. Karena karisma dan kepribadiannya yang agung, dia bergelar Sultan, walaupun tidak menjalankan kekuasaan politik.
  5. Sunan Drajat Maulana Syarifuddin, seorang dai besar yang juga merupakan salah seorang pendiri Kerajaan Demak.
  6. Sunan Kalijaga Maulana Muhammad Syahid, seorang dai yang banyak bepergian, penulis nasihat-nasihat keagamaan yang dituangkan dalam bentuk wayang. Dia mengadopsi seni Jawa sebagai salah satu cara memperkenalkan ajaran tauhid.
  7. Sunan Kudus Maulana Ja‘far Al-Shadiq ibn Sunan ‘Utsman. Kegiatannya berpusat di Kudus, Jawa Tengah. Berkat ketinggian ilmu dan kecerdasan pemahamannya, oleh orang-orang Jawa dijuluki walinya ilmu. Ide pemberian nama Kota Kudus yang diusulkannya dimaksudkan untuk mendapat berkah dari Bait Al-Muqaddas (Palestina).
  8. Sunan Muria Maulana Raden ‘Umar Sa‘id putra Maulana Ja‘far Al-Shadiq. Ia bergelar Sunan Muria karena dimakamkan di dataran tinggi Muria, Jawa Tengah.
  9. Sunan Gunung Djati Maulana Al-Syarif Hidayatullah, penyebar Islam terbesar di Jawa Barat. Dia wafat dan dimakamkan di Gunung Djati yang terletak tidak jauh dari Kota Cirebon. Syarif ini adalah keturunan Rasulullah Saw. yang tumbuh dewasa di Kerajaan Pasai Sumatra Utara. Dia juga seorang ulama besar dan ksatria pembawa Islam yang memasuki Jawa Barat, penakluk kerajaan Hindu Padjadjaran dan pendiri dua Kerajaan Islam: Banten dan Cirebon. Dia membangun Kota Jakarta dan menjadikannya sebagai benteng pertahanan melawan penjajahan Portugal. Dia dilahirkan di Pasai, tetapi tidak diketahui tanggal kelahirannya. Dia meninggalkan tanah airnya berangkat ke Al- Haramain untuk menuntut ilmu. Ketika kembali, dia langsung menuju Jawa, tempat dia berhasil menaklukkan kerajaan Hindu yang sudah lama memperluas pengaruh agamanya.

Menariknya, pada era yang relative sama, ekspedisi bangsa Eropa ke wilayah Timur juga dimulai. Tapi bedanya, orang-orang Arab ini datang dengan membawa nilai luhur, perdamaian, dan bersedia melebur dengan masyarakat setempat. Sedang orang-orang Eropa tersebut justru melacak potensi ekonomi dan mencari celah untuk meraup sebesar-besarnya komoditi unggulan yang dimiliki masyarakat Nusantara.

Dalam analisis Engseng Ho, jalan damai diaspora para Habib itulah, yang menjadi pembeda karakter diaspora perdagangan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa. Alih-alih menggunakan jalan damai, bangsa-bangsa Eropa justru melakukan akumulasi dan eksplorasi sumber daya alam daerah-daerah subur di Samudera Hindia. Akumulasi inilah yang kemudian menyebabkan kolonialisasi berabad-abad, termasuk di Indonesia. Sebut saja diaspora sejenis sebagai “diaspora kolonialisasi”.[4] (AL)

 

Bersambung…

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (10)

Sebelumnya:

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (8)

Catatan kaki:

[1] Lihat, Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya Dalam Dakwah Damai Di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hal. 16

[2]  Ibid, hal. 18-19

[3] Agak sedikit berbeda dengan versi haba’ib, Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo menempatkan Syeik Siti Jenar dalam salah satu jajaran Wali Songo, bukan Maulana Malik Ibrahim – yang ditempatkannya sebagai salah satu ulama perintis di Pulau Jawa, satu rangkaianan dengan Syeik Jumadil Kubra, Syeik Syamsudin Al Wasil, dan Syeik Hasanussin Quro. Lihat, Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018

[4] Engseng Ho, The graves of Tarim : Genealogy and Mobility Across The Indian Ocean, London, University of California Press, Ltd, 2006

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*