Mozaik Peradaban Islam

Perjalanan Intelektual Imam Bukhari (13): Kritik terhadap Sahih al-Bukhari (1): Sudut Pandang Non-Muslim

in Tokoh

Last updated on October 11th, 2021 12:25 pm

Bagaimana bisa hadis yang baru dicatat sekitar dua abad setelah wafatnya Nabi dianggap asli? Bisa saja hadis-hadis tersebut digunakan untuk kepentingan politis.

Profesor Albert Hourani. Foto: tarihhaber.net

Meskipun Bukhari disebut-sebut sebagai orang pertama yang menerapkan standar baru dalam metode pengumpulan hadis, bahkan melebihi ulama pengumpul hadis lainnya, namun bukan berarti hasil karyanya ini bebas dari kritik. Kritik terhadap Sahih al-Bukhari datang bukan hanya dari kalangan non-Muslim saja, tetapi juga dari kalangan ulama Muslim itu sendiri.

Untuk menambah wawasan, artikel kali ini akan mengulas kritik-kritik yang ditujukan kepada Sahih al-Bukhari. Sebagai pembukaan, kita akan melihat kritik terhadap hadis dari kalangan non-Muslim sebagaimana disarikan oleh Profesor Eamonn Gearon dari Johns Hopkins University, dia adalah sejarawan Islam kontemporer dari dunia Barat yang cukup ternama. Di bawah ini adalah pemaparannya.

Bagi orang-orang di luar Islam, atau pengamat hadis dari kalangan orientalis, dengan rentang waktu pengumpulan sekitar dua abad setelah wafatnya Nabi, pertanyaan terpenting mengenai hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Bukhari—pertanyaan yang kemungkinan besar tidak akan pernah mereka dapatkan jawaban yang sepenuhnya memuaskan—adalah mengenai keaslian (kesahihan) hadis-hadis tersebut.

Apakah hadis-hadis ini sekadar klaim? Apakah hadis-hadis ini adalah benar-benar kata-kata dan tindakan Nabi Muhammad saw? Para cendekiawan Barat, terutama non-Muslim, merasa kesulitan untuk memilih di antara keduanya. Bagi mereka, hadis-hadis itu mungkin sahih, tapi mungkin juga tidak.

Sahih Bukhari, setidaknya dari perspektif non-Muslim abad ke-21, menampilkan beberapa hadis yang mereka anggap lebih menarik ketimbang hadis-hadis lainnya, sebab di antara hadis-hadis tersebut banyak yang mengungkapkan tentang kebaikan, kasih sayang, dan cinta untuk orang lain.

Tetapi di lain sisi, ada juga sejumlah hadis yang mereka anggap menyampaikan pesan yang lebih keras—termasuk hadis yang mungkin tidak pantas atau hanya salah—serta beberapa yang dianggap tidak masuk akal.

Bagi sebagian ilmuwan di era modern, metode pengumpulan hadis Bukhari tidak memenuhi standar ilmiah saat ini. Bagi mereka, ketimbang mempersoalkan keaslian hadis-hadis tersebut, yang lebih pasti dan penting adalah melihat dampak kumpulan Sahih Bukhari bagi pemeluk Islam selama berabad-abad.

Sejarawan dunia Arab, Profesor Albert Hourani dari St. Antony’s College, Oxford, pernah menulis pendapatnya tentang hadis:

“Yang tidak kalah pentingnya dari pertanyaan tentang asal-usulnya adalah cara penggunaannya. Pada saat-saat ketegangan politik, ketika musuh berada di pintu gerbang, penguasa mungkin meminta (ulama) untuk membacakan (hadis-hadis) pilihan dari Bukhari di Masjid Agung, sebagai semacam jaminan atas apa yang telah Tuhan lakukan untuk umatnya.”

Albert Hourani, dengan kata lain, hendak mengatakan, bahwa bisa saja hadis-hadis tersebut dimanfaatkan sekadar untuk kepentingan politis.

Hal penting lainnya tentang hadis yang masih relevan dengan Islam saat ini adalah kenyataan bahwa Muslim Sunni dan Syiah terus mengikuti tradisi hadis yang berbeda. Kumpulan hadis Sunni dan Syiah berbeda karena masing-masing tidak mempercayai kualitas atau latar belakang para perawi yang berbeda mazhab.

Dalam konteks ini ada perawi yang sejak awal sejarah Islam dianggap berpihak kepada Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab untuk menjadi khalifah pertama dan kedua, atau penerus Nabi Muhammad saw setelah wafatnya.

Di sisi lain, ada juga pihak-pihak yang mendukung Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Nabi Muhammad, untuk menjadi khalifah pertama yang sah. Meskipun pada akhirnya Ali akan menjadi khalifah ketiga setelah wafatnya Nabi Muhammad, tetapi perselisihan kepemimpinan ini tetap menjadi inti dari perpecahan Sunni dan Syiah yang berlangsung lama.

Para pengkritik hadis—dan para penolak hadis, demikian mereka kadang-kadang disebut—ada bukan hanya di luar Islam tetapi juga di dalam orang-orang Islam itu sendiri. Para penolak hadis percaya bahwa Al-Qur’an saja sudah cukup.

Para penolak hadis ini, yang menyatakan bahwa Al-Qur’an sudah cukup, menunjukkan pengabaian total terhadap teks apa pun di luar atau di luar pernyataan keimanan utama Islam, termasuk hadis yang datang sesudah Al-Qur’an.[1]

Demikianlah pemaparan tentang kritik hadis menurut Eamonn Gearon. Jika kita menyimak seri-seri sebelumnya dari seri artikel ini, kita dapat melihat bahwa apa yang disampaikan oleh Eamonn Gearon adalah buah kekurangtahuannya tentang metode seutuhnya yang digunakan oleh Bukhari. Tetapi, apapun itu, bisa jadi apa yang disampaikannya adalah memang fakta bagaimana para non-Muslim di dunia Barat melihat kedudukan hadis bagi Muslim itu sendiri.

Ke depan, kita akan mengulas kritik-kritik terhadap hadis Bukhari yang datang dari kalangan ulama Muslim itu sendiri. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Eamonn Gearon, The History and Achievements of the Islamic Golden Age (The Great Courses: Virginia, 2017), hlm 60-61.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*