Mozaik Peradaban Islam

Perjalanan Intelektual Imam Bukhari (12): Keragaman Perawi (6)

in Tokoh

Last updated on September 28th, 2021 02:01 pm

Hubungan guru dan murid di antara mazhan Syiah dan Sunni, dan sebaliknya, dalam pengumpulan hadis, adalah suatu bukti yang tidak terbantahkan bahwa ulama-ulama pada masa Bukhari dan sebelumnya, meskipun berbeda mereka dapat hidup harmonis.

Ilustrasi Bukhari. Foto: Google/Unknown

Demikianlah kita telah memaparkan bahwasanya Bukhari terbukti memasukkan riwayat dari periwayat yang berlainan mazhab ke dalam sahihnya. Di antara mazhab-mazhab yang mereka anut adalah Syiah, Qadariyah, Nasibah, Khawarij, Murjiah, dan Rafidah.

Dalam kasus yang lebih spesifik, Alwi bin Husin menyimpulkan, bahwa di dalam Sahih Bukhari terdapat 32 periwayat Syiah (moderat) dan 24 periwayat Syiah yang berlebihan (dalam hal ini orang-orang Rafidah dan para propagandis Rafidah), sehingga total dari orang-orang Syiah tersebut sebanyak 56 orang.[1]

Fakta di atas menunjukkan, bahwa Bukhari, dalam menentukan layak atau tidaknya riwayat seseorang untuk dapat dimasukkan ke dalam sahihnya, tidak dilihat berdasarkan mazhab yang dianut oleh orang yang bersangkutan, melainkan melalui syarat-syarat lainnya seperti adil, jujur, dan akurat.

Hal lainnya yang patut menjadi perhatian adalah, bahwa ulama-ulama pada masa itu, meskipun memiliki pandangan yang berbeda terhadap agama – yaitu mazhab – toh mereka masih bisa dapat hidup harmonis.

Keharmonisan di antara mereka dapat dibuktikan dengan ditetapkan syarat lainnya oleh Bukhari, bahwa keabsahan rantai periwayatan hanya dapat diterima apabila di antara penyampai dan penerima hadis harus terjadi pertemuan, dan pertemuan tersebut bukan pertemuan yang sambil lalu.

Jenis pertemuan yang dimaksud oleh Bukhari adalah hubungan sebagai guru dan murid di antara penyampai dan penerima hadis, dan ini mesti berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Dalam pemaparan yang disampaikan oleh al-Hazimi (548-584), bahkan kualitas pertemuan antara guru dan murid itu selain memiliki waktu bersama yang cukup lama, sang murid bahkan mesti menemani gurunya ke mana pun dia pergi.[2]

Al-Suyuti pun juga mengelaborasi output dari hubungan guru dan murid tersebut, menurutnya, jika menelisik metode Bukhari dalam menyeleksi setiap periwayat, maka periwayat yang memiliki hubungan terbanyak dengan gurunya, juga memahami narasi, adalah para periwayat yang akan mengisi kitab Sahih Bukhari dan diletakkan pada posisi primer (usul).[3]

Jika kita melihat rantai sanad riwayat Bukhari, sebagaimana telah diungkapkan di atas, dia memiliki banyak guru hadis dari orang Syiah. Sebagaimana syarat yang dia tetapkan, maka dia pun mesti memiliki hubungan guru dan murid yang berkualitas. Sehingga tidak mengherankan jika Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun dalam pengumpulan hadis-hadisnya.[4]

Bukhari adalah seorang Sunni, tapi dia memiliki banyak guru hadis orang Syiah. Begitu pula dengan guru-guru Syiahnya, mereka memiliki guru-guru Sunni. Artinya, kendatipun berbeda, ulama-ulama pada masa itu bisa hidup bersama, berdampingan, dan harmonis, bahkan sudah pada tingkatan sebagai guru dan murid, yang ke mana pun gurunya pergi sang murid akan menemani.

Dengan rantai sanad yang saling menyambung, lintas generasi, dan lintas mazhab seperti ini, maka mau tidak mau kita mesti mengakui, bagaimanapun berbedanya mazhab Syiah, mereka telah hadir dan berperan aktif dalam melestarikan sabda-sabda Nabi saw sejak awal Islam hingga masa pengkodifikasian kitab-kitab hadis Sunni, bahkan hingga ke era setelahnya.[5]

Adapun mengenai pelabelan bahwa para penganut Syiah adalah ahli bidah dan riwayat dari mereka mesti ditolak, merupakan hasil pemikiran dari para kritikus hadis yang datang belakangan, bukan pada masa-masa Bukhari hidup.

Bahkan, orang-orang yang menolak ini, terhadap terminologi Syiah, kapan Syiah muncul, dan apa penyebabnya, mereka tidak memiliki kata sepakat. Dan ini akan berdampak pula pada kredibilitas para periwayat jika istilah bidah dijadikan parameter diterima atau ditolaknya riwayat mereka. Bahkan istilah Rafidah (Syiah berlebihan) telah pupus keberadaannya sebelum dilahirkan. Demikian menurut Alwi.[6]

Sebagai kesimpulan, pendapat yang mengatakan bahwa narasi dari para periwayat yang berbeda mazhab mesti ditolak, secara akademis tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana Bukhari sendiri dalam metodenya tidak menjadikan “keyakinan periwayat” sebagai parameter untuk diterima atau ditolaknya narasi mereka, termasuk narasi yang datang dari kelompok Syiah dengan berbagai tingkatannya. Keberadaan para periwayat Syiah justru memperkokoh validitas Sahih Bukhari.

Keberadaan para periwayat Syiah dalam Sahih Bukhari bukanlah sesuatu yang terlewatkan, atau kelalaian Bukhari, apalagi karena ketidaktahuan, melainkan Bukhari dapat menilai bahwa mereka dapat berlaku objektif, apapun mazhab mereka, sehingga akhirnya riwayat mereka dimuat di dalam sahihnya.[7] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Alwi bin Husin, Periwayat Syiah dalam Kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim (Ufuk Press: Jakarta, 2019), hlm 349.

[2] Muhammad Mustafa al-Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (American Trust Publication: USA, 1977), hlm 89-91.

[3] Alwi bin Husin, Op.Cit., hlm 47.

[4] G.H.A. Juynboll, Muslim tradition Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith (Cambridge University Press: Cambridge, 1983), hlm 22.

[5] Alwi bin Husin, Op.Cit., hlm 68.

[6] Ibid., hlm 78.

[7] Ibid., hlm 350.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*