Mozaik Peradaban Islam

Perjalanan Intelektual Imam Bukhari (16): Kritik terhadap Sahih al-Bukhari (4): Abu Rayyah, Sang Penggugat Abu Hurairah (2)

in Tokoh

Last updated on October 16th, 2021 02:57 pm

Sistem keadilan para sahabat harus digugurkan, karena di antara mereka pun terjadi perdebatan dan kecurigaan mengenai pemalsuan dan bertambahnya hadis.

Foto ilustrasi. Kredit: Unknown/Google

Adhwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah

Artikel kali ini masih membahas seputar kritik hadis dari Abu Rayyah. Kita akan mengulas mengenai buku pertamanya yang berjudul Adhwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (terbit 1958).  Secara garis besar buku itumembahas beberapa persoalan utama:

  1. Periwayatan hadis dengan makna, bukan dengan lafadz.
  2. Keadilan para sahabat.
  3. Pemalsuan hadis.  
  4. Riwayat Israiliyyat.
  5. Kredibilitas Abu Hurairah.
  6. Kodifikasi Alquran.
  7. Kodifikasi hadis.
  8. Al-Jarh wa al-Ta’dil.  
  9. Hadis ahad.
  10. Beberapa catatan penting.[1]

Dari kesepuluh poin di atas, kita tidak akan membahas semuanya secara berurutan, sebab di antara poin-poin tersebut banyak yang saling berkaitan satu sama lain. Di bawah ini adalah uraiannya.

Periwayatan Hadis dengan Makna, Bukan dengan Lafadz

Abu Rayyah mengkritik metode periwayatan hadis dengan makna yang lebih mendominasi metode periwayatan daripada periwayatan hadis dengan lafadz, sebagaimana dibolehkan oleh mayoritas ulama.

Menurutnya, periwayatan hadis dengan makna hanya terjadi karena hilangnya lafadz-lafadz asli dan dengan adanya kelupaan (terhadap lafadz asli) sehingga mendorong seseorang untuk mengubahnya, sepanjang menurut dia maknanya tidak berubah. Abu Rayyah berpendapat, jika lafadz asli tetap terjaga, maka tidak perlu ada perubahan, dan meriwayatkan lafadz asli itu tentunya lebih baik ketimbang mengubahnya meskipun dengan makna yang sama.

Karena kelonggaran ini, maka redaksi hadis yang dianggap mutawatir sekali pun ada yang lafadz-nya berbeda. Abu Rayyah seakan-akan ingin menyatakan bahwa dengan dibolehkannya periwatan hadis dengan makna, maka pintu-pintu perselisihan antara umat Islam akan terbuka lebar.

Abu Rayyah mencontohkan hal ini dalam perselisihan dalam ibadah. Dia menyodorkan bukti, bahwa terdapat sembilan varian lafadz tasyahhud dari para sahabat yang berbeda-beda satu sama lainnya.

Seandainya varian lafadz tasyahhud ini termasuk hadis qawli (hadis yang berasal dari ucapan Nabi Muhammad saw sendiri, bukan perbuatan atau sikapnya), maka hal ini bisa dimaklumi. Tetapi, menurut Abu Rayyah, varian lafadz tersebut termasuk amal ibadah mutawatir yang dilakukan semua sahabat pada setiap kesempatan.

Menariknya, masih menurut Abu Rayyah, bahwa setiap sahabat bersaksi bahwa Rasulullah lah yang telah mengajarkan mereka, sebagaimana beliau sendiri yang mengajari mereka Alquran. Sebagai akibatnya, para ulama berbeda pendapat tentang status tasyahhud dan hukumnya dalam salat. Dan pada gilirannya, umat Islam pun terpecah belah dibuatnya.[2]

Keadilan para Sahabat (1)

Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah saw, beriman kepadanya, dan meninggal dalam keadaan Islam. Jadi, yang dapat dianggap sebagai sahabat adalah mereka yang memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini:

  1. Bertemu dengan Nabi saw dan menerima dakwahnya (baik lama atau pun sebentar)
  2. Meriwayatkan hadis dari Nabi saw ataupun tidak
  3. Ikut ber-baiat (menyatakan kesetiaan) pada Nabi saw ataupun tidak
  4. Sempat melihat Nabi saw, sekalipun tidak pernah duduk menemani atau tidak pernah melihat Nabi karena sebab tertentu (seperti orang buta).

Sedangkan yang dimaksud dengan ‘adil dalam periwayatan hadis adalah perawi yang dianggap dhabith (kuat hapalan), tidak ada ‘illat (cacat), dan syadz (diragukan). Dengan demikian, yang dimaksud dengan keadilan sahabat adalah setiap sahabat yang meriwayatkan hadis, riwayatnya dianggap sahih terlepas dari dusta, kecacatan, dan lain sebagainya.

Adapun mengenai keadilan sahabat, Abu Rayyah memberikan pendapat yang menurutnya berkaitan dengan hadis ini:

Telah memberitakan pada kami Muhammad bin Isya, telah menceritakan pada kami Husyaim, telah memberitakan pada kami Abu Zubair dari Jabir berkata, bersabda Rasulullah saw, “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka tempatnya neraka.” (HR Bukhari No. 1291)

Menurut Abu Rayyah, kata مُتَعَمِّدًا (dengan sengaja) dalam hadis tersebut tidak terdapat dalam berbagai versi lain yang sampai kepada kita dari para sahabat besar. Abu Rayyah menyatakan bahwa kata itu dapat dimasukkan dengan cara idraj[3] dengan alasan untuk membebaskan para sahabat dari kesalahan.

Dengan demikian, meskipun seandainya ada sahabat yang memang melakukan kesalahan, maka mereka dapat terbebas dari kesalahannya karena bukan atas dasar kesengajaan. Atau bisa juga hal ini berlaku terhadap orang-orang yang menduga-duga tentang Nabi Muhammad saw, dan meskipun mereka salah, mereka masih dapat terbebas dari kesalahan dengan alasan bahwa apa yang mereka lakukan demi memajukan jalan Islam.

Masih menurut Abu Rayyah, lafadz مُتَعَمِّدًا dalam hadis tersebut statusnya lemah, ia tidak kuat dalam riwayat sahabat besar. Abu Rayyah menegaskan bahwa tidak seorang pun yang mengatakan مُتَعَمِّدًا dari periwayat Imam hadis kecuali dari Ibnu Zubair.

Abu Rayyah menyatakan bahwa suatu kidzb (kebohongan) telah terjadi di kalangan para sahabat. Jika memang demikian, maka semua hadis dari mereka harus diuji ulang, sedangkan hal itu tidak mungkin dilakukan.

Argumen lain yang coba dikemukakan Abu Rayyah adalah untuk mengugurkan sistem keadilan para sahabat secara kolektif, karena di kalangan para sahabat pun terjadi perdebatan dan kecurigaan mengenai pemalsuan dan bertambahnya hadis.[4] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Badri Khaeruman, Kontroversi Sahabat Nabi: Studi Kritis Pemikiran Abu Rayyah Mengenai Abu Hurairah dan Peranannya dalam Periwayatan Hadis (LP2M UIN Bandung: Bandung, 2021), hlm 105.

[2] Ibid., hlm 105-106.

[3] Idraj adalah sisipan kata yang terdapat dalam matan hadis. Idraj terjadi dengan tujuan memberikan penjelasan terhadap lafadz matan (teks) hadis yang sulit, hukum-hukum tertentu atau mengambil hukum dari hadis Nabi Muhammad saw.Tujuan ini menyebabkan dibolehkannya terjadinya idraj dalam hadis dengan cacatan bahwa redaksi idraj tersebut benar-benar diketahui bukan dari Nabi Muhammad saw.Di luar tujuan tersebut, idraj dihukumi haram dan status hadisnya menjadi dha’if.

[4] Nurkholis Sofwan, Kontroversi Pemikiran Hadits Mahmud Abu Rayyah (Jurnal Al-Ashriyyah, Vol. 5 No. 2 Oktober 2019), hlm 80-81.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*