Dinasti Abbasiyah (14): Abdullah Abu al Abbas (As-Saffah) (1)

in Sejarah

Last updated on March 8th, 2019 07:02 am

Dalam pidato pertamanya, As-Saffah berkata, “…Warga Kufah sekalian, kalian adalah pelabuhan cinta kami dan rumah idaman kasih kami. Karena itu, janganlah kalian melakukan hal-hal yang bertentangan dengan itu, jangan pula kalian tergoda dengan tindakan para pembangkang…, sebab aku adalah As-Saffahul Mubih (Si penumpah darah yang membolehkan) dan Ats-Tsairul Mubir (Si pembalas dendam yang mewujudkan tekadnya).” Dari sinilah dia kemudian dikenal dengan julukan “As-Saffah”.

Nama lengkapnya, Abdullah Abu al Abbas bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim, atau lebih dikenal dengan sebutan Abu al Abbas. Dia dilahirkan pada tahun 104 H di Al-Humaimah, sebuah tempat di dekat Al-Baiqa’ (sekarang wilayah Suriah). Adapun ibunya, bernama Raithah Al-Haritsiyah. Abu al Abbas tumbuh dan berkembang di Al-Humaimah, sampai dia dibaiat sebagai Khalifah pertama Abbasiyah pada tahun 132 H/750 M, di Kufah (Irak).[1]

Tidak banyak yang diketahui tentang masa kecil dan pertumbuhannya. Tapi menurut riwayat yang dirujuk Imam Al-Suyuthi, Rasulullah Saw sudah pernah meramalkan tentang kehadiran sosok ini. Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata bahwa awal mula khalifah Bani Abbas adalah saat Rasulullah Saw memberitahukan kepada Abbas, pamannya, bahwa khalifah akan dipegang oleh anak cucunya. Sejak itu Bani Abbas menunggu-nunggu datangnya khalifah tersebut.[2]

Imam Ahmad, di dalam Musnadnya, dan Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Akan muncul penguasa dari kalangan keluarga ku pada suatu zaman yang carut-marut dan penuh fitnah. Dia disebut As-Saffah. Dia suka mendermakan harta dalam jumlah banyak.”[3]

Rusydin bin Kuraib menceritakan bahwa Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin al Hanafiyah pergi ke Syam. Dia bertemu dengan Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas lalu berkata, “Paman, aku punya informasi untuk mu. Ku harap engkau memberitahukan hal ini kepada siapa saja. Sesungguhnya, perkara yang diperebutkan manusia (khilafah) akan berada di tangan kalian (Bani Abbas).” Muhammad berkata, “Aku sudah tahu tentang hal itu. Karena itu, ku harap kalian tidak memberitahukan hal tersebut kepada siapapun.”[4]

Menariknya, tidak banyak diketahui pula peran penting Abu al Abbas dalam proses revolusi Bani Abbas. Besar kemungkin dia hanya menemani ayah (Muhammad bin Ali) dan kakaknya (Ibrahim bin Muhammad) yang menjadi imam sebelum dia. Dari sinilah dia mengetahui proses revolusi dan langkah-langkah politik yang sedang dan akan diambil. Dan pada tahun 132 H, ketika semua prasyarat sudah terkumpul, dia dilantik sebagai khalifah di Masjid Jami Kufah.

Imam al Suyuthi meriwayatkan isi khutbah khalifah pertama Abbasiyah ini, sebagai berikut:

“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Islam sebagai pilihan bagi diri-Nya. Dia agungkan, muliakan, dan pilihkan bagi kita. Dia kukuhkan kita dengannya dan menjadikan kita sebagai pemeluknya. Allah telah menjadikan kita sebagai gua, benteng, dan penyangga, serta tiangnya.”

Berikutnya disebutkannya kemuliaan nasab keluarga-keluarga mereka hingga dia berkata;

“Setelah Allah memanggil Nabi-Nya, para sahabatnya memegang khalifah. Namun, setelah itu Bani Harb dan Bani Marwan menunggangi kekuasaan dengan cara kejam dan zalim. Allah membiarkan kekuasaan itu di tangan mereka untuk beberapa waktu hingga akhirnya mereka membuat Allah murka. Allah lalu membalas kejahatan mereka dengan perantara tangan kami. Allah kembalikan hak kami, agar lewat tangan kamilah Dia selamatkan orang-orang yang dipinggirkan dan dilemahkan di muka bumi. Allah menutup khalifah ini dengan kami sebagaimana Dia membukanya. Tidak ada taufik bagi kami sebagai Ahlul Bait, kecuali dari Allah.”

“Warga Kufah sekalian, kalian adalah pelabuhan cinta kami dan rumah idaman kasih kami. Karena itu, janganlah kalian melakukan hal-hal yang bertentangan dengan itu, jangan pula kalian tergoda dengan tindakan para pembangkang. Sesungguhnya, kalian adalah orang paling bahagia dengan adanya kami di antara kalian. Kalian adalah orang paling mulia di mata kami dan kami telah memberi jaminan pembagian harta seratus persen. Karena itu, bersiap-siaplah, sebab aku adalah as-Saffahul Mubih (si penumpah darah yang membolehkan) dan ats-Tsairul Mubir (si pembalas dendam yang mewujudkan tekadnya).” Dari sinilah dia kemudian dikenal dengan julukan “As-Saffah” (orang yang menumpahkan darah).”

Menurut Tabari, ketika menyampaikan khotbah pertama tersebut, Abu al Abbas sedang dalam kondisi sakit demam. Dan sampai pada kalimat terakhir itu, demamnya makin meningkat, hingga akhirnya dia tidak sanggup berdiri. Melihat ini, naiklah Daud bin Ali, yang tidak lain adalah pamannya. Dia melanjutkan Khutbah dan berkata pada hadirin:[5]

“Demi Allah, gerakan yang telah kami lakukan ini sama sekali tidak bertujuan untuk menumpuk harta benda, menggali sungai, membangun istana atau mengumpulkan emas atau perak. Tapi sesungguhnya kami telah bertindak demi memprotes perampasan hak kami, dan demi membela putra-putra paman kami (yakni keluarga Abu Thalib), dan karena buruknya perlakuan Bani Umayyah terhadap kalian, penghinaan mereka terhadap kalian dan monopoli mereka dengan tunjangan dan harta yang menjadi hak kalian. Maka dengan ini kami berjanji kepada kalian, demi kesetiaan kami kepada Allah dan rasul-Nya dan demi kehormatan Abbas, untuk memerintah di kalangan kalian sesuai dengan apa yang diturunkan Allah, melaksanakan kitab Allah dan berjalan – baik di kalangan umum maupun khusus – dengan teladan Rasulullah Saw.”[6]

Setelah menyampaikan pidato dan janji politiknya di hadapan masyarakat Kufah, Abu al Abbas segera beristirahat di istana gubernur Kufah. Kemudian saudaranya, Abu Ja’far, ditunjuk untuk mewakilinya mengambil sumpah dari masyarakat hingga larut malam. Sedangkan Abu Salamah, tokoh kunci dalam proses pelantikan bersejarah itu, seketika kehilangan fungsi pentingnya. Sebagian pendapat ada yang mengatakan, bahwa Abu Salamah mulai menyesali dan kurang simpatik pada kepemimpinan baru ini.[7] Tapi apa mau dikata, semua sudah terjadi.

Segera setelah selesai dilantik, Abu al Abbas As-Saffah langsung menunjuk anggota keluarganya menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Dia lalu memilih beberapa jenderal yang ditugaskan untuk menaklukkan dan menguasai sejumlah wilayah, mulai dari Mesir, Irak, Suriah, Hijaz, dan semua wilayah kekuasaan Bani Umayyah. Adapun Abu Muslim al Khurasani, ditetapkan sebagai gubernur Khurasan, sekaligus penasehat utama Abu al Abbas As Shaffah.[8] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Imam Al Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, Jakarta, Qisthi Press, 2017, hal. 277

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVII., The `Abbasid Revolution, Translated by John Alden Williams, State University of New York Press, 1990. Hal. 154

[6] Ibid, hal. 155. Lihat juga, Abul A’la Al-Maududi, “Khalifah dan Kerajaan; Konsep Pemerintahan Islam serta Studi Kritis terhadap ‘Kerajaan’ Bani Umayyah dan Abbasiyah.” Bandung, Kharisma, 2007, hal. 226-227.

[7] Lihat, Huzaifa Aliyu Jangebe, The Legendary Hero of Abbasid Propaganda, IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS) Volume 19, Issue 1, Ver. III (Jan. 2014), PP 05-13 e-ISSN: 2279-0837, p-ISSN: 2279-0845. www.iosrjournals.org

[8] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*