Dinasti Abbasiyah (13): Menunggangi Revolusi (5)

in Sejarah

Last updated on March 7th, 2019 05:37 am

Setelah persiapan dirasa sempurna, kaum Abbasiyah memanggil penduduk Kufah untuk memilih khalifah kaum Muslim yang baru. Mereka menawarkan nama Abdullah Abu al Abbas, Imam Bani Abbas. Setelah menyampaikan tawaran tersebut, mereka berdebar-debar, menunggu sambutan dari masyarakat.

Gambar ilustrasi. Sumber: www.augustins.org

Setelah Kota Kufah sepenuhnya dikuasai oleh kaum revolusioner pada tahun 132 H, masyarakat menunggu-nunggu apa yang selanjutnya akan terjadi. Semua orang menanti ucapan dari Abu Salamah yang belum lama ini mendadak terkenal karena dianggap sebagai wazir keluarga Muhammad Saw. Tak lama setelah itu, maklumat pun disampaikan atas nama Abu Salamah dan Hasan bin Qahtabah, yang isinya mengundang rakyat Kufah agar berkumpul di Masjid Agung Kufah. Maka keesokan harinya rakyat semua berkumpul di masjid dan berharap ada sebuah pengumuman.[1]

Tapi ternyata, pengumuman yang diharapkan belum juga tiba. Menurut Syed Ameer Ali, mengunduran itu dikarena Hasan dan para pendukungnya masih berpendapat bahwa ini belumlah saat yang tepat untuk mengumumkan maksud mereka yang sebenarnya.[2] Untuk sementara, Abu Salamah memberikan tanggung jawab kepada Muhammad bin Khalid sebagai gubernur, dan dia dipanggil dengan sebutan “Amir” sambil menunggu kepemimmpinan baru yang legitimate.[3]

Di tempat yang lain, Abdullah Abu Al Abbas, Imam baru Bani Abbas, memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya di Humaymah, dan pergi menuju Kufah. Setelah Ibrahim bin Muhammad diringkus oleh Marwan II, situasi di tempat itu menjadi tidak aman bagi Abu al Abbas dan pengikut Abbasiyah. Bersama saudaranya, Abu Ja’far, dia bergegas menuju Kufah. Menurut Tabari, mereka sampai di Kufah pada bulan Safar 132 H. Kedatangan mereka disambut langsung oleh Abu Salamah, dan dijamu di tempat salah satu anggota Bani Hasyim.[4] Sejak itu, Abu al Abbas disembunyikan, seraya menunggu waktu yang tepat untuk hadir ke tengah publik.

Adapun Abu Salamah, yang ketika itu masih menyimpan kesetiaan pada keturunan Ali dan Fatimah, segera mengirim surat kepada Imam Ja’far Al Shadiq. Dalam suratnya dia meminta agar Imam segera datang ke Kufah untuk menerima haknya atas nama Ahlul Bait Rasulullah Saw. Tapi sang Imam, yang paham betul apa yang sebenarnya terjadi, serta mengerti tentang watak orang-orang Kufah, membakar surat tersebut tanpa membukanya.[5]

Di sini, mulai terbuka kedok sebenarnya Abu Salamah. Di waktu yang bersamaan dengan dikirimnya surat kepada Imam Ja’far Al Shadiq, dia ternyata juga mengirim surat yang sama isinya kepada Abdullah Abu al Abbas.[6] Berbeda dengan Imam Ja’far, Abu al Abbas segera menerima undangan tersebut, dan bersedia datang mengambil haknya. Abu Salamah pun menerima Abu al Abbas sebagai pemimpinnya, tanpa menunggu terlebih dahulu surat balasan dari Imam Ja’far yang menjadi junjungannya.[7]

Maka demikianlah, segera setelah itu, maklumat pun kembali di sampaikan kepada penduduk Kufah. Isi maklumatnya masih mengusung jargon yang sama, bahwa atas nama Ahlul Bait, masyarakat diundang ke Masjid Agung Kufah untuk menentukan posisi khalifah kaum Muslimin.[8]

Pada pertengahan bulan Rabiul Awal 132 H, masyarakat Kufah semua berkumpul. Kebetulan hari itu adalah Jumat. Tapi ada yang aneh dengan Jumat kali ini. Kerumunan orang yang ada di Masjid banyak yang mengenakan pakaian hitam. Mereka datang dari segala penjuru, dan ikut membaur bersama masyarakat guna mendengar pengumuman bersejarah ini. Pada saat yang sudah ditentukan, akhirnya Abu Salamah pun muncul. Anehnya, dia juga menggunakan pakaian hitam, yang merupakan warna simbol Bani Abbas. Sedang Abu al Abbas masih tetap di persembunyiannya.[9]

Hari itu, Abu Salamah menjadi orang yang memimpin sholat Jumat. Setelah sholat, dia mulai menyampaikan maksud undangannya pada masyarakat Kufah. “Abu Muslim”, demikian dia berkata, “pembela agama Islam dan pembela hak-hak keluarga Muhammad telah melemparkan Umayyah dari kekuasaan yang lalim. Kini, rakyat perlu memilih seorang imam dan khalifah. Tak ada yang begitu terkenal karena kesalehan dan kecakapannya, dan memiliki semua kebaikan yang harus dipunyai seseorang untuk menduduki jabatan itu, sebagaimana Abu al Abbas. Dan dialah yang diusulkan oleh kaum mukmin untuk dipilih.”[10]

Sampai di situ, Abu Salamah dan kaum Abbasiyah ragu-ragu akan sambutan rakyat. Mereka takut jika rakyat Kufah pun tidak setuju dengan pengkhianatan mereka terhadap keluarga Ali bin Abi Thalib. Tapi sebagaimana dikatakan oleh Syed Ameer Ali, karakter masyarakat Kufah yang tak teguh pada pendirian itu, yang telah lama terkenal, kini kembali terbukti. Meski berkali-kali mereka mengangkat senjata untuk membela kepentingan keluarga Fatimah, tapi berkali-kali juga mereka mengkhianati orang yang mereka beri janji untuk ditolong atau orang-orang yang telah mereka seru untuk menolong mereka.[11]

“Selain sering terombang ambing dalam keinginan yang cepat berubah, orang-orang Kufah juga sering tampil sebagai pembela kebenaran; sama seringnya tampil sebagai seorang pengkhianat. Setelah pembantaian di padang Karbala, mereka begitu terpukul oleh rasa sesal hingga dua puluh ribu orang di antara mereka bermalam di makam Al Husein sambil berdoa dan meminta maaf, setelah itu menyerbu pasukan Yazid yang berdiri berlapis-lapis. Tapi penyesalan mereka itu tidak berlangsung lama. Mereka mudah berubah pendirian dan tempramental, tak punya keyakinan dan tak dapat dipercaya, hanya Hajjaj bin Yusuf, “Cemeti Tuhan”,[12] yang bisa mengatur mereka.”[13] Demikian penuturan Syed Ameer Ali tentang watak masyarakat Kufah.

Dan agaknya, anggapan tentang watak masyarakat Kufah itu tidak sepenuhnya salah. Karena Abu Salamah dan kaum Abbasiyah, tidak perlu menunggu lama untuk memastikan keragu-raguan mereka. Hanya sesaat setelah Abu Salamah mengusulkan Abu al Abbas sebagai khalifah, masyaraka Kufah pun bersorak dan mengumandangkan takbir sebagai tanda persetujuan mereka atas usulan tersebut.[14]

Melihat sambutan ini, kaum Abbasiyah adalah pihak yang paling berbahagia hari itu. Mereka segera mengirimkan kurir untuk memanggil Abu al Abbas, dan memintanya keluar dari persembunyian untuk datang ke Masjid Agung Kufah. Abu al Abbas pun segera bergegas menyambut takdirnya. Ketika dia sampai ke halaman masjid, semua orang mengerubunginya. Mereka berdesakan untuk menyalami tangannya sebagai tanda sumpah setia pada kepemimpinannya. Pemilihan pun selesai, dan Abu al Abbas dipersilahkan naik ke atas mimbar untuk menyampaikan Khotbah.[15]

Sejak saat itu, Abdullah Abu al Abbas bin Muhammad bin Ali bin Abdallah bin al-Abbas bin Abdul Muthalib bin Hashim menjadi imam sekaligus khalifah kaum Muslimin. Menurut riwayat Tabari, hari itu adalah Jumat, 13 Rabiul Awal 132 H  atau sekitar akhir tahun 749 M.[16] Selain sebagai hari pelantikan khalifah pertama Abbasiyah, hari itu sekaligus menandai lahirnya Dinasti Abbasiyah. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, Calcutta, S.K. Lahiri & Co, 1902, hal. 281

[2] Ibid

[3] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVII., The `Abbasid Revolution, Translated by John Alden Williams, State University of New York Press, 1990. Hal. 142

[4] Ibid, hal. 150

[5] Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit

[6] Pendapat lain ada juga yang mengatakan, bahwa pada saat itu Abu Salamah juga mengirimkan surat kepada keturunan Ali dan Fatimah yang lain, dan menyatakan hal serupa. Hanya saja, tak satupun dari mereka yang bersedia datang. Melihat ini, maka Abu Salamah tidak memiliki pilihan lain, selain Abu al Abbas. Lihat, Huzaifa Aliyu Jangebe, The Legendary Hero of Abbasid Propaganda, IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS) Volume 19, Issue 1, Ver. III (Jan. 2014), PP 05-13 e-ISSN: 2279-0837, p-ISSN: 2279-0845. www.iosrjournals.org.

[7] Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit, hal. 282

[8] Ibid

[9] Ibid

[10] Ibid

[11] Ibid

[12] Hajjaj bin Yusuf adalah salah satu Gubernur Dinasti Umayyah yang pernah dipercaya untuk memerintah wilayah Timur kekuasaan Bani Umayyah. Termasuk dalam wilayah itu adalah Persia dan Khurasan. Dia terkenal karena kekejamannya dan kebijakannya yang tidak kenal kasihan kepada rakyat. Sehingga banyak rakyat yang mengeluh karena ulahnya. Umar bin Abdul Aziz, ketika masih menjabat sebagai gubernur Madinah, pernah mengadukan prilaku Hajjaj bin Yusuf kepada Khalifah Walid bin Abdul Malik. Tapi diluar dugaan, justru Umar bin Abdul Aziz lah yang dipecat dari jabatannya. Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, hal. 184-185

[13] Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit

[14] Ibid

[15] Ibid

[16] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVII., Op Cit, hal. 145

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*