Dinasti Abbasiyah (12): Menunggangi Revolusi (4)

in Sejarah

Last updated on March 4th, 2019 09:56 am

Awal tahun 132 H, kaum revolusioner berhasil mengusir pasukan Umayyah dan menguasai Kota Kufah. Sejauh itu, sebagian besar masyarakat masih mengira, semua revolusi ini adalah demi hak Ahlul Bait Rasulullah Saw. Tidak banyak yang menyadari, bahwa sebenarnya terdapat dua golongan di antara mereka, yaitu kaum Abbasiyah, dan para pendukung keluarga Ali dan Fatimah.


Gambar ilustrasi. Sumber: artuk.org


Pada bulan Muharram 132 H, pasukan Bani Abbas dari Khurasan berhasil menyeberangi Sungai Eufrat dan menuju Kota Kufah. Abu Muslim memerintahkan mereka agar membawa panji-panji hitam sebagai lambang revolusi kaum Abbasiyah. Sampai titik ini, Abu Muslim masih menyembunyikan maksudnya. Namun alasan untuk mengembalikan hak Ahlul Bait Rasulullah Saw, tetap menjadi jargon utama yang dikobarkan.[1]

Pasukan ini dipimpin seorang jenderal kenamaan bernama Qahtabah bin Shabib. Sebelumnya, Qahtabah telah berhasil menghancurkan inti kekuatan Bani Umayyah di Khurasan dalam pertempuran Jurjan. Dalam pertempuran itu, Qahtabah berhasil menaklukkan kekuatan gabungan bala tentara Umayyah yang dipimpin oleh Nasr bin Sayyar yang didukung oleh tentara dari Suriah dan Kufah. Nasr bin Sayyar kehilangan sekitar 10.000 prajuritnya. Kekalahan ini sekaligus menandai berakhirnya kekuatan Bani Umayyah di Khurasan.[2]

Tapi tak lama setelah berhasil menyebangi Sungai Eufrat, pasukan yang dipimpin Qahtabah diserang oleh pasukan Umayyah, dan Qahtabah gugur dalam serangan tersebut. Setelah itu, pasukan dari Khurasan ini sepakat untuk mengangkat putra Qahtabah yang bernama Hasan, untuk mengambil alih pimpinan. Maka bergeraklah pasukan ini ke Kufah dipimpin oleh Hasan bin Qahtabah.[3]

Di Kufah, tepat pada malam Asyura (10 Muharram 132 H), sebuah gerakan revolusi lainnya muncul dan melakukan pemberontakan. Gerakan ini dipimpin oleh sosok bernama Muhammad bin Khalid. Dia dibina langsung oleh Abu Salamah al-Khallal, seorang yang diketahui sebagai wazir keluarga Rasulullah Saw dari garis Ali dan Fatimah. Abu Salamah rutin berdiskusi dan mengumpulkan para Ahlul Bait Rasulullah Saw untuk mendapat masukan. Termasuk usulan tentang siapa di antara anak keturunan Ali dan Fatimah yang akan dinobatkan sebagai khalifah bila revolusi berhasil.[4]

Dengan kata lain, kelompok ini berbeda dengan gerakan revolusi Abbasiyah, dan menginginkan pemimpin dari garis keturunan Ali dan Fatimah. Hanya saja, tampak hal yang cukup mencurigakan dari gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh Muhammad bin Khalid. Dimana dia dan kelompoknya mengenakan pakaian hitam-hitam – warna yang menjadi simbol Bani Abbas.[5]

Pemberontakan yang dilancarkan oleh Muhammad bin Khalid berhasil mengusir Gubernur Bani Umayyah waktu itu, Abd al-Rahman bin Bashir al-‘Ijli. Dan untuk sementara, dinding kota Kufah berhasil diamankan oleh gerakan revolusioner. Tapi tak lama berselang, tersiar kabar bahwa pasukan Bani Umayyah yang lain, sudah berkumpul di depan kota Kufah dan siap menyerang. Pasukan ini adalah pasukan yang sama yang beberapa hari sebelumnya berhasil membunuh Qahtabah bin Shahib di tepi Sungai Eufrat.[6]

Mendengar adanya pasukan Bani Umayyah yang siap menyerang, para pengikut Muhammad bin Khalid ketakutan, dan melarikan diri. Sehingga hanya menyisakan dirinya dan sedikit pengikutnya di dalam benteng. Abu Salamah yang mengetahui keadaan ini, segera memerintahkan Muhammad bin Khalid agar segera melarikan diri untuk sementara waktu.[7]

Abu Salamah mengirim surat kepada Hasan bin Qahtabah yang sekarang menjadi pimpinan pasukan Khurasan. Dalam suratnya, dia meminta agar Hasan segera tiba di Kufah dan bertempur melawan pasukan Umayyah. Hasan pun menyambut seruan tersebut dan mempercepat laju pasukannya. Tapi sesampainya di Kufah, ternyata pasukan Umayyah sudah pergi. Sehingga pertempuran pun tidak terjadi.[8]

Setelah pasukan Umayyah pergi, praktis Kufah sekarang berada di bawah kendali kaum revolusioner. Hanya saja, tidak banyak yang menyadari, bahwa sebenarnya terdapat dua golongan di antara mereka, yaitu kaum Abbasiyah, dan para pendukung keluarga Ali dan Fatimah. Sejauh itu, sebagian besar mereka masih mengira, semua revolusi ini adalah demi hak Ahlul Bait Rasulullah Saw.[9]

Setelah berhasil menaklukkan Kufah, Hasan bin Qahtabah, wakil Abu Muslim, memasuki kota dengan berjalan di barisan paling depan memimpin pasukannya. Dia kemudian bertanya, “Dimana Abu Salamah, wazir keluarga Muhammad tinggal?” Kemudian orang-orang pun menuntunnya ke sana. Abu Salamah pun menyambut Hasan dan pasukannya dengan suka cita. Melihat Abu Salamah ada di hadapannya, Hasan bin Qahtabah langsung menjemputnya, memberi hormat, lalu mencium tangannya dengan takzim. Hasan lalu berkata pada para pengikut, “bahwa atas perintah Abu Muslim, semua perintah Abu Salamah harus ditaati.” Abu Salamah merasa tersanjung. Tapi menurut Syed Ameer Ali, sejauh itu, Abu Salamah sama sekali belum menyadari maksud kaum Abbasiyah sebenarnya.[10] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, Calcutta, S.K. Lahiri & Co, 1902, hal. 280

[2] Lihat, Huzaifa Aliyu Jangebe, The Legendary Hero of Abbasid Propaganda, IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS) Volume 19, Issue 1, Ver. III (Jan. 2014), PP 05-13 e-ISSN: 2279-0837, p-ISSN: 2279-0845. www.iosrjournals.org.

[3] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVII., The `Abbasid Revolution, Translated by John Alden Williams, State University of New York Press, 1990. Hal. 135-137

[4] Lihat, Huzaifa Aliyu Jangebe, Op Cit

[5] Lihat, The History of al-Tabari, Op Cit, hal. 141

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Ibid, hal. 142

[9] Lihat, Huzaifa Aliyu Jangebe, Op Cit

[10] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, Calcutta, S.K. Lahiri & Co, 1902, hal. 281

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*