“Dalam mimpinya, Abdul Muthalib mendapat perintah menggali kembali sumur Zamzam. Persoalannya, letak sumur Zamzam tersebut tepat berada di antara dua berhala yang biasa disembah oleh masyarakat setempat, yang bernama Ashaf dan Nallah”
—Ο—
Di Mekkah, nama Abdul Muthalib semakin masyhur sebagai sosok yang bijaksana dan dermawan. Martabat dan kemuliaan akhlaknya tak bisa disaingi oleh siapapun di kota itu. Secara umum, meski tidak mengetahui asal usul Abdul Muthalib, masyarakat Mekkah melihat bahwa dialah pewaris sah kepemimpinan Hasyim dan Qushay di kota itu. Maka ketika Muthalib dikabarkan meninggal dunia di Kazwan, Yaman, pada akhir tahun 520 M, tidak ada sosok yang layak menggantikan posisinya kecuali Abdul Muthalib. Meskipun Bani Umayyah begitu ingin mengambil posisi tersebut, namun nyaris tidak mungkin bagi mereka menampilkan sosok yang mampu menyaingi kompetensi Abdul Muthalib.
Setelah Muthalib wafat, Abdul Muthalib kemudian memimpin Mekkah. Di suatu malam, ia tiba-tiba membayangkan matahari sudah terbit. Sontak ia lalu beranjak dari tempat tidurnya. Tapi alangkah terkejutnya ia, ketika menyadari ternyata waktu itu masih malam. Ia keluar dari kemah, lalu melihat keheningan yang luar biasa menyelimuti gurun pasir yang membentang. Lalu ia kembali ke tempat tidurnya dan bermimpi, ada suatu yang memerintahkannya melakukan hal yang sangat penting. “Galilah Zamzam!”, kata suara tersebut. Namun ia bingung memahami apakah itu Zamzam?
Abdul Muthalib lalu bangun untuk kedua kalinya. Ia tidak bisa tidur lagi. Hanya berusaha memahami maksud dari mimpinya. Di tengah keheningan malam itu, ia keluar dari kemahnya, sambil mengingat-ingat tentang satu kisah kuno soal sebuah sumur pertama di kota itu. Konon sumur itu memancarkan air yang segar setelah leluhurnya, Ismail menghentak-hentakkan kakinya ke bumi. Tapi sumur itu sudah tidak digunakan dan akhirnya ditutup seiring perjalanan zaman. Tapi apa nilai sumur itu sekarang? Bukankah sudah cukup banyak sumur di kota ini? Bahkan air di Mekkah, sejauh ini bisa mencukupi untuk melayani para peziarah yang datang ke kota itu.
Namun perintah dalam mimpinya begitu nyata, dan ia tidak mungkin mengabaikannya. Persoalannya, letak sumur kuno yang dimaksud itu sekarang posisinya tepat berada di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf dan Nallah. Berhala ini tidak hanya disembah oleh masyarakat Mekkah, bahkan peziarah yang datangpun ikut mengagungkannya. Akan terjadi resistensi yang luar biasa bila ia memaksakan diri membongkarnya demi untuk menggali sumur tua. Dan benar saja, ketika ia memaksakan diri menggali sumur tua tersebut, para pemimpinan kabilah berikut keluarganya menetang usaha Abdul Muthalib. Ketika itu ia hanya berdua dengan putra tertuanya, Harits dan harus berhadapan dengan semua kabilah.[1]
Masyarakat Mekkah memang masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai ashobiyah (fanatik kesukuan). Dari landasan inilah semua perangkat aturan bermasyarakat diambil dan disepakati. Karena dasar perhitungannya adalah kesukuan, maka kuantitas keturunan (umumnya laki-laki) dan harta akan menjadi variable penting yang menentukan kedudukan seseorang di antara kaumnya. Inilah yang dihadapi Abdul Muthalib. Ia hanya memiliki satu orang anak, di tengah-tengah kabilah yang begitu banyak dan fanatik pada agama dan klannya. Sedang misinya, adalah menggali sumur yang letaknya berada diantara dua berhala yang begitu dipuja dan diagungkan di kota itu.
Menyadari kelemahan ini, ia akhirnya bergegas ke Ka’bah dan bermunajad kepada Allah SWT. Lalu ia mengajukan nazar yang begitu terkenal, “Ya Allah, jika aku mendapat sepuluh anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa, sehingga mereka mampu melindungiku saat aku menggali sumur Zamzam, maka aku akan menyembelih salah seorang dari mereka di sisi Ka’bah sebagai bentuk kurban.” Langitpun terbuka bagi nazar Abdul Muthalib. Satu persatu anaknya lahir setiap tahun, hingga akhirnya mencapai jumlah 10. Dan yang terkecil waktu itu bernama Abdullah, sosok yang paling cemerlang dari semuanya, dan Abdul Muthalib sangat menyayanginya.[2]
Seiring dengan bertambahnya jumlah putranya, bertambah pula kemasyhuran Abdul Muthalib. Anak-anak yang dimilikinya memang bukan orang sembarangan. Setiap mereka adalah pemuda-pemuda yang menonjol di masyarakat, baik dalam hal keberanian, ketangkasan, kecerdasan, kebijaksanaan, dan kemuliaan akhlak. Maka tidak mengherankan ketika itu, Abdul Muthalib dengan mudah menjalankan misinya menggali kembali sumur Zamzam. Tidak ada satupun kabilah yang berani menetang usahanya. Dan benarlah mimpi tersebut, sumur Zamzam kembali memancar, dan menjadi sumur yang paling produktif dengan jumlah air yang melimpah.
Setelah sumur Zamzam selesai digali, Abdul Muthalib merekonstruksi sistem pemerintahan di Mekkah agar tidak terjadi sengketa di kemudian hari. Ketika itu, pemerintahan kota Mekkah berada di tangan sebuah oligarki yang terdiri dari anggota terkemuka anak keturunan Qushay bin Kilab. Setiap keluarga merasa berhak atas mengelolaan kota. Untuk itu, Abdul Muthalib membentuk badan pemerintahan yang diisi oleh 10 orang perwakilan yang disebut Sharif. Kesepuluh orang itu akan menduduki tempat tertinggi dalam Negara dan memegang sebuah jabatan yang akan mereka warisi secara turun temurun. Kesepuluh jabatan itu antara lain:[3]
- Hijaba, pemangku Ka’bah, jabatan keagamaan yang amat penting. Jabatan ini diberikan kepada keluarga Abd Al Dar, dan ketika penduduk Mekkah masuk Islam, jabatan itu dipegang oleh Utsman bin Thalha.
- Sikaya, atau pengawas sumur suci Zamzam dan semua mata air yang diperuntukkan bagi jamaah haji. Jabatan ini dipegang oleh keluarga Hasyim. Ketika Mekkah ditaklukkan, jabatan ini dipegang oleh Abbas, paman Muhammad SAW.
- Diyat, kekuasaan kehakiman di bidang perdata maupun pidana. Posisi ini dipegang oleh keluarga Taym ibn Murra Dan. Ketika masa Islam, jabatan ini dipegang oleh Abdullah ibn Kuhafa, yang dipanggil Abu Bakr.
- Sifarah, atau kedutaan. Orang yang memegang jabatan ini adalah duta besar yang memiliki kekuasaan penuh dari masyarakat Mekkah untuk mewakili mereka dalam melakukan musyawarah, perundingan dan perjanjian dengan suku-suku lain di sekitar Mekkah. Jabatan ini dipegang oleh Umar Bin Khattab.
- Liwa, atau penjaga panji-panji peperangan. Kepala panji-panji itu secara otomatis menjabat sebagai panglima perang angkatan bersenjata Mekkah. Posisi ini dipegang oleh keluarga Umayyah, dan sosok yang menjadi pemanggu jabatan ini Abu Sufyan bin Harb. Kelak dengan jabatannya ini, Abu Sufyan memobilisasi kaum kafir Mekkah untuk melawan dahwah Nabi Muhammad SAW.
- Rifada, yang bertugas memungut pajak untuk diberikan kepada fakir miskin. Jabatan ini sudah ada sejak zaman Qushai bin Kilab. Uang hasil pajak ini selain digunakan untuk merawat kaum duafah di Kota Mekkah, juga digunakan untuk melayani kebutuhan para peziarah dari luar Mekkah. Jabatan ini dipegang oleh Abdul Muthalib. Setelah itu, jabatan ini meralih ke Abu Thalib, dan setelah Islam menaklukkan Mekkah, dipegang oleh Harist bin Amr.
- Nadwa, ketua badan legislatif. Pemegang jabatan ini merupakan penasehat utama Negara. Berdasarkan nasehat darinyalah semua keputusan publik ditetapkan. Pada masa Islam, jabatan ini dipegang oleh Asad, dari keluarga ‘Abd Al ‘Uzza bin Qushay.
- Khaimmah, atau pengurus Rumah Majelis. Kedudukan ini memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk memanggil semua anggota majelis tinggi untuk bermusyawarah, termasuk juga memanggil pasukan militer. Jabatan ini dipegang oleh Khalid bin Walid dari keluarga Yakhzum bin Marra.
- Khazina, atau pengurus keuangan negara. Jabatan ini dipegang oleh Harist bin Kais dari keluarga Hasan bin Ka’ab.
- Azlam, yang tugasnya mengurus panah dewa. Ini semacam jabatan spiritual tertinggi di kota ini. Pemangku jabatan ini adalah orang yang dipercaya mengerti kehendak-kehendak para dewa. Panah-panah yang dimaksud adalah untuk mengundi satu keputusan, yang hasilnya akan dianggap sebagai keputusan dewa dewi. Jabatan ini dipegang oleh Safwan, saudara Abu Sufyan.
Tapi menurut Syed Ameer Ali, meski jabatan-jabatan ini sudah didistribusikan kepada setiap klan, kewibawaan Abdul Muthalib tidak terusik sedikitpun. Dengan kebijaksanaan yang tinggi dan didukung oleh putra-putranya banyak dan gagah perkasa, pengaruh Abdul Muthalib nyaris tak tertandingi sebagai satu-satunya pemimpin di kota ini. Tinggal satu masalahnya, ia harus memenuhi nazarnya kepada Allah SWT. (AL)
Bersambung..
Sebelumnya
Catatan kaki:
[1] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume One, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 91
[2] Ibid
[3] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Yogyakarta, Navila, 2008, Hal. 8-9