“Adalah Turki dan Persia, dua negara di masa lalu yang memiliki nama paling termasyur dalam sejarah kaligrafi. Tetapi jangan salah, di masa kekinian Indonesia juga dapat mengambil peran sebagai salah satu negara yang membuat suatu terobosan baru dalam sejarah kaligrafi dan berkelas dunia. Di Palembang, Sumatra Selatan, terdapat sebuah Al-Quran yang terbuat dari ukiran kayu yang apabila disatukan, ukuran keseluruhannya mencapai sekitar 40 kubik.”
–O–
Al-Quran pada hakikatnya merupakan sekumpulan ayat berbahasa Arab yang merupakan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Selepas wafatnya Nabi Muhammad, ada kekhawatiran Al-Quran akan menghilang karena banyaknya sahabat penghapal Al-Quran yang gugur dalam peperangan. Atas ide Umar bin Khatthab, Abu Bakar as-Shiddiq (Khalifah pertama) memerintahkan agar Al-Quran dikodifikasikan.[1]
Al-Quran yang tadinya terserak dan tersimpan di berbagai media seperti pelepah kurma, kulit hewan, tulang belulang, dan bebatuan dikumpulkan. Proses pengkodifikasian ini selesai pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan (Khalifah ketiga). Sebelumnya Ustman membentuk suatu kepanitiaan yang bertugas membukukan, menyalin lembaran-lembaran yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar menjadi beberapa mushaf. Utsman menasihati panitia ini agar mengambil pedoman bacaan kepada mereka yang hafal al-Quran, serta bila ada pertikaian antara mereka mengenai bacaan, maka haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab al-Quran itu diturunkan menurut dialek mereka.[2]
Setelah tugas itu selesai, Utsman memerintahkan mengumpulkan semua lembaran yang bertuliskan al-Quran yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Lima mushaf yang ditulis panitia penulisan empat diantaranya dikirim ke Makkah, Syam, Basrah dan Kuffah. Satu mushaf lagi ditinggalkan di Madinah untuk Utsman sendiri, dan mushaf itu dinamai dengan Mushaf al-Imam.[3]
Dalam perkembangannya, metode penyalinan Al-Quran tidak hanya sebatas menyalin saja, namun juga melibatkan unsur seni di dalamnya, yaitu seni kaligrafi. Kaligrafi adalah seni menuliskan teks ke dalam bentuk lukisan menggunakan pena, kuas, atau alat tulis lainnya ke media tertentu. Awalnya kaligrafi dituangkan ke media kertas papyrus, namun seiring dengan perkembangan waktu, media kaligrafi juga ditemukan di media lainnya yang lebih bervariasi seperti batu, dinding, koin, sutra, kertas kanvas, perhiasan, plat kuningan, kaca, keramik, dan lainnya.[4]
Teknik menulis kaligrafi bukanlah sesuatu yang asal-asalan, ada alasan tertentu dibalik setiap teknik, ada geometri yang akurat, ada kaidah-kaidah ketat di dalamnya, ada kesepakatan tidak tertulis diantara para seniman kaligrafi: seindah, sevariatif, serumit apapun kaligrafi, jangan sampai mengubah makna dan teks asli Alquran. Bahkan di awal perkembangan pencatatan Alquran ke dalam media tulis, kaligrafi difungsikan sebagai alat bantu untuk membaca Al-quran agar tidak salah ucap yang bisa mengakibatkan perubahan makna. Di antara sumbangan kaligrafi untuk pencatatan Alquran adalah munculnya tanda baca dan pewarnaan tertentu supaya orang tidak salah dalam membaca Alquran. Kaligrafi untuk tujuan pencatatan Al-Quran pertama kali dibuat di masa kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan (685-705).[5]
Abad ke-16 adalah permulaan dari seni kaligrafi Islam menjadi bentuk risalah, di mana gaya-gaya dalam kaligrafi sudah menemukan formulasi bakunya. Al-Quran dan puisi-puisi Islam dituangkan secara massif dituangkan ke dalam bentuk kaligrafi dengan kekhasan gaya kaligrafi dari berbagai aliran. Semenjak itu seni kaligrafi telah memainkan peran penting bagi perkembangan kebudayaan Islam. Seni kaligrafi Islam boleh dibilang memiliki lingkup tidak terbatas, variasi serta aplikasi pemakaiannya bisa dituangkan ke media seni tulis apapun.[6]
Al-Quran Al-Akbar, Palembang, Indonesia
Adalah Turki dan Persia, dua negara di masa lalu yang memiliki nama paling termasyur dalam sejarah kaligrafi. Tetapi jangan salah, di masa kekinian Indonesia juga dapat mengambil peran sebagai salah satu negara yang membuat suatu terobosan baru dalam sejarah kaligrafi dan berkelas dunia. Di Palembang, Sumatra Selatan, terdapat sebuah Al-Quran yang terbuat dari ukiran kayu yang apabila disatukan, ukuran keseluruhannya mencapai sekitar 40 kubik.
Pengerjaan Al-Quran ini memakan waktu selama sekitar 6 tahun untuk dapat diselesaikan, yang secara teknis pekerjaan membutuhkan 17 orang pengrajin yang terdiri dari 4 orang penulis, 7 orang pengukir, dan 6 orang pemelitur. Biaya yang dibutuhkan untuk mengerjakan proyek raksasa ini adalah sebesar 1,2 miliar Rupiah.
Al-Quran yang dinamai Al-Akbar ini dibuat dalam bentuk lembaran-lembaran kayu yang masing-masing lembarnya berukuran 177 x 140x 2,5 cm. Totalnya terdapat 630 lembar. Selain ayat suci Al-Quran, setiap lembarnya juga dihiasi dengan ukiran khas Palembang yang bermotif tetumbuhan. Tidak seperti Al-Quran biasa yang ditulis di dalam media kertas, Al-Quran Al-Akbar huruf-hurufnya timbul sehingga dapat diraba dengan tangan. Tidak menutup kemungkinan orang yang tidak memiliki penglihatan pun dapat berkunjung ke sini dan turut “menikmati” nilai seni dari Al-Quran Al-Akbar.
Reporter Gana Islamika, pada 16 November 2017 berkesempatan datang langsung ke lokasi dan menemui penggagas serta pembuatnya, Ustadz Syofwatillah Mohzaib. Pria yang juga anggota DPR RI ini menemui reporter Gana Islamika di sela-sela kesibukannya setelah menerima kunjungan dari rombongan Majelis Ulama Indonesia asal Jakarta. Dia kemudian bercerita mengenai seluk beluk bagaimana proses pembuatan Al-Quran Al-Akbar ini. Simak kisah selengkapnya dan photo-photo lainnya pada artikel selanjutnya. (PH)
Bersambung ke:
Catatan Kaki:
[1] Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an, Cet. I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 27, dalam “Pengumpulan Mushaf Al-Quran”, dari laman https://ganaislamika.com/pengumpulan-mushaf-al-quran/, diakses 29 November 2017.
[2] Ibid., hlm 35.
[3] “Pengumpulan Mushaf Al-Quran”, Ibid.
[4] Annemarie Schimmel, Calligraphy and Islamic Culture, (London: I.B Tauris & Co Ltd, 1990), hlm. 1
[5] Ibid., hlm 4
[6] Ibid., hlm 1.