Al-Ghazali (1): Remaja Jenius

in Monumental

Last updated on March 1st, 2018 02:05 pm

“Sewaktu remaja, al-Ghazali mengalami perampokan. Buku dan catatan pelajarannya termasuk yang diambil. Sejak itu, dia bertekad untuk menghapal seluruh pelajaran dan catatannya di dalam kepala saja.”

–O–

Salah satu hal yang menarik dari agama Islam adalah, dalam konteks perkembangan keilmuan, dia tidak berhenti pada saat Nabi Muhammad SAW meninggal. Berabad-abad setelahnya, Islam banyak melahirkan ulama-ulama dan ilmuwan-ilmuwan besar yang sangat berjasa bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu nama ulama besar yang tercatat dalam sejarah Islam adalah al-Ghazali.

Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, atau lebih terkenal dengan nama Al-Ghazali, lahir sekitar tahun 1058 M di kota Tus, Persia, di Khurasan, yang sekarang merupakan provinsi paling timur laut di Iran. Secara historis, kota ini terbentang sampai ke Afghanistan, dan negara-negara pusat Asia modern seperti Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.[1]

Nama keluarganya menunjukkan bahwa keluarganya memiliki profesi sebagai pemintal wol. Riwayat menyatakan bahwa ayahnya meninggal saat masih muda, sehingga al-Ghazali dan adik laki-lakinya dibesarkan oleh seorang sufi setempat. Jika riwayat itu benar, maka fakta tersebut bisa dengan baik menjelaskan keterikatan yang dimiliki oleh kedua bersaudara tersebut terhadap bentuk mistis, bahkan esoteris, dari ajaran Islam.[2]

Artikel terkait:

Al-Ghazali terkenal dengan daya ingatnya yang luar biasa (prodigious memory). Suatu hari, beginilah ceritanya, saat masih remaja, dia kembali ke rumah dari kota terdekat saat diserang oleh perampok. Selain mengambil barang-barang bawaannya, mereka juga mengambil buku catatan dan pelajarannya. Al-Ghazali merasa sangat kehilangan, sehingga setelah kejadian tersebut dia bersumpah bahwa di masa depan dia akan mengingat saja seluruh pembelajarannya, termasuk catatan-catatannya.[3]

Pada awalnya, al-Ghazali mempelajari ilmu tentang hukum Islam di kota dekat Nishapur yang merupakan ibu kota provinsi. Kemudian pada tahun 1085, ketika al-Ghazali berusia sekitar 28 tahun, dia meninggalkan Nishapur dan berangkat menuju kota Isfahan, yang juga di Persia, atau di masa kini merupakan salah satu kota di Iran. Pada waktu itu Isfahan adalah ibu kota sekaligus perluasan dari kekuasaan Kekaisaran Seljuk di bawah kepemimpinan Sultan Malik Shah.[4]

Secara etnis, Kekaisaran Seljuk adalah orang-orang Turki, orang-orang ini mulai menapakkan dirinya menuju tangga kekuasaan ketika Dinasti Abbasiyah menunjukkan tanda-tanda menuju keruntuhan. Pada waktu itu Dinasti Abbasiyah terlalu mengandalkan pertahanannya terhadap dukungan militer dari orang-orang Seljuk. Di sisi lain, Dinasti Syiah Fatimiyah di Kairo memposisikan diri mereka sebagai rival terhadap Abbasiyah dalam hal otoritas keagamaan.[5]

 

Guru Besar Nizamiyyah

Dengan situasi seperti itu, Dinasti Seljuk mendirikan banyak institusi pendidikan di seluruh wilayah kekuasaan mereka dengan motif utamanya sebagian besar adalah sebagai bentuk persaingan terhadap Fatimiyah di Kairo. Secara umum, institusi-institusi tersebut disebut dengan Nizamiyyah—diambil dari nama Nizam al-Mulk, seorang Perdana Menteri senior di pemerintahan kesultanan Seljuk—yang berpusat di Baghdad.[6]

Nizam al-Mulk sebagai perdana menteri pada waktu itu bertekad untuk menyebarkan ilmu dan pengetahuan bagi rakyatnya. Dia melakukan banyak hal untuk memenuhi tujuannya dan membangun beberapa sekolah di desa-desa di mana dia secara pribadi menghabiskan 6.000 dinar emas dan juga memberikan sepersepuluh dari kekayaannya untuk mendirikan perpustakaan dan perguruan tinggi. Dan yang terpenting adalah dia mendirikan Nizamiyyah yang berpusat di Baghdad.[7]

Nizamiyyah mulai dibangun pada tahun 1065 M dengan biaya 200.000 dinar emas, dan selesai pada tahun 1067 M. Nizamiyyah diresmikan dengan upacara agung, sejarah mengatakan pada waktu itu semua orang di Baghdad dan keluarga kerajaan menghadiri upacara tersebut. Peristiwa tersebut menggambarkan antusiasme umat Islam terhadap pengembangan ilmu dan pengetahuan.[8]

Abu Ishaq, dinominasikan untuk jabatan kepala (semacam rektor) di Nizamiyyah. Selama kesultanan Baghdad berkuasa, Nizamiyyah banyak menghasilkan lulusan ternama, di antaranya adalah Sa’adi, seorang penyair Persia yang legendaris.[9]

Artikel terkait:

Bagi para ilmuwan dan ulama pada saat itu, tidak ada kehormatan yang lebih besar selain menjadi pengajar di Nizamiyyah. Konon, Nizamiyyah membiarkan posisi kosong selama 200 tahun pada salah satu subjek karena belum ada orang yang dianggap kapabel untuk mengajar subjek tersebut.[10]

Ketika masih di Isfahan, pengetahuan dan kemampuan al-Ghazali sebagai seorang pengajar telah menarik perhatian dari Nizam al-Mulk. Dia sangat terkesan dengan wawasan dan pengetahuan al-Ghazali tentang Islam. Nizam al-Mulk memberi serangkaian gelar kepada al-Ghazali, di antaranya adalah “Pencerah Iman” dan “Pemimpin Agama Terbesar”.[11]

Al-Ghazali kemudian mendapatkan promosi, dia diminta untuk pindah ke Baghdad dan diangkat menjadi Guru Besar teologi dan filsafat di Nizamiyyah. Sebagai sekolah teologi Sunni yang paling bergengsi pada saat itu, secara eksplisit Nizamiyyah didirikan untuk melawan ancaman dari ide-ide yang berkembang pesat dari universitas yang didirikan oleh Dinasti Fatimiyah yang bermadzhab Syiah-Ismailiyah di Kairo, universitas tersebut dikenal dengan nama al-Azhar.[12] (PH)

Bersambung ke:

Al-Ghazali (2): Pengembaraan

Catatan Kaki:

[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 102.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid., hlm 102-103

[5] Ibid., hlm 103

[6] Ibid.

[7] Muhammad Mufatteh, The Role Of Islamic Scientists In The Advancement Of Science, (Tehran: Islamic Thought Foundation, 1408 H), hlm 10.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Eamon Gearon, Loc. Cit.

[12] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*