“Al-Ghazali mengkritik filsafat Islam secara keras dengan cara yang sebelumnya tidak pernah ada. Namun, di satu sisi mengkritik, paradoksnya, dia juga justru membuat filsafat menjadi lebih dikenal di dalam Islam.”
–O–
Selain dikenal sebagai sosok yang lebih bersimpati terhadap bentuk mistis Islam yang ditemukan di dalam Tasawuf, al-Ghazali juga menghabiskan lebih banyak waktunya untuk menulis. Karya-karya al-Ghazali lah yang membuatnya sampai hari ini menjadi sosok yang penting. Di antara seluruh karyanya, yang mempunyai pengaruh paling besar adalah Tahāfut al-Falāsifa (Kerancuan Para Filsuf).[1]
Beberapa kalangan di dalam dunia Islam di masa al-Ghazali hidup memiliki kepercayaan bahwa Allah SWT akan mengutus seseorang untuk memperbaharui iman. Tampaknya kekaisaran Seljuk berusaha menghidupkan kepercayaan tersebut dengan membangun narasi bahwa al-Ghazali lah sang pembaharu (mujuaddid) pada abad ke-5 tahun Hijriyah. Dengan demikian, apapun yang al-Ghazali katakan, atau tulis, pada waktu itu diposisikan menjadi otoritas tertinggi dibanding ulama mana pun.[2]
Dengan dukungan penuh dari penguasa, maka dapat dijelaskan dengan mudah kenapa Tahāfut al-Falāsifa—yang diterbitkan Al-Ghazali saat berusia sekitar 33 tahun—dapat menjadi salah satu buku paling penting yang pernah ditulis. Pada akhirnya, karya tersebut akan menentukan bagaimana perkembangan teologi Islam ke depannya.[3]
Titik tekan dari buku Tahāfut al-Falāsifa adalah kritik terhadap perkembangan filsafat di masa sebelumnya yang dia anggap tidak memiliki komponen keimanan, yang mana padahal menurut al-Ghazali keimanan adalah elemen terpenting dari agama. Secara spesifik, yang dikritik adalah ide-ide Neoplatonis yang terinspirasi dari Plato (filsuf Yunani).[4]
Bagaimanapun, Tahāfut al-Falāsifa merupakan titik balik dalam sejarah intelektual dunia secara umum dan juga sejarah Islam pada khususnya pada abad pertengahan. Karya tersebut membahas konflik di antara ilmu kalam dan filsafat. Namun, bukan berarti al-Ghazali mengatakan para filsuf itu atheis—jauh dari itu, kritik al-Ghazali adalah bahwa seluruh sistem pemikiran filosofis para filsuf bergantung pada penegasan keberadaan Tuhan, yang darinya semua eksistensi lainnya terpancar. Tapi, menurut para filsuf, para makhluk ciptaan Tuhan ini merupakan konsekuensi dari esensi Ilahi, seolah-olah para makhluk merupakan “kebutuhan” dari kekuasaan Tuhan.[5]
Hal itulah yang dikritik oleh al-Ghazali, bahwa sudut pandang filsuf tersebut melihat Tuhan layaknya benda mati. Al-Ghazali mengumpamakan bahwa Tuhan dalam sudut pandang filsuf seperti benda mati, misalnya seperti matahari yang secara alamiah memancarkan cahaya. Dengan kata lain, Tuhan menciptakan makhluk dengan kebutuhan yang sama seperti benda mati yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi tertentu dari keberadaannya, yang tentu saja berada di luar kendalinya.[6]
Al-Ghazali menilai bahwa ide-ide tersebut berarti menyangkal otoritas ilahi tentang kehidupan, kehendak, kekuatan, dan pengetahuan. Al-Ghazali menilai bahwa Tuhan dalam sudut pandang filsuf di masa itu bukanlah seperti Tuhan yang digambarkan di dalam al-Quran. Namun terlepas dari itu semua, al-Ghazali mengatakan bahwa yang menjadi permasalahan bukanlah pertanyaan tentang eksistensi Tuhan, melainkan tentang sifat ke-Tuhanan.[7]
Pemikir Muslim terkemuka yang terpengaruh oleh teologi Neoplatonis adalah Ibnu Sina (di Barat dikenal dengan nama Avicenna). Karya filsafat Ibnu Sina merupakan sebuah karya yang berusaha untuk mendamaikan filsafat rasional dengan teologi Islam. Tujuannya adalah untuk membuktikan keberadaan Tuhan melalui akal dan logika saja, dan itulah yang ditentang al-Ghazali. Tahāfut al-Falāsifa ditulis dalam 20 bab, masing-masing bab merupakan sanggahan terhadap gagasan Ibnu Sina dan para pengikutnya.[8]
Secara keseluruhan, dari 20 bab yang ditulis oleh al-Ghazali, 17 di antaranya membahas kesalahan-kesalahan Ibnu Sina yang masih dalam batas toleransi dan dapat “dimaafkan”. Sementara 3 bab terakhir merupakan kritikan keras al-Ghazali terhadap Ibnu Sina karena berbahaya bagi keimanan dan menyesatkan.[9] Berikut ini adalah penjelasan dari 3 bab terakhir tersebut:
Pertama, dilihat dari sudut pandang al-Ghazali, para filsuf melihat bahwa dunia ini abadi. Dalam artian, di mana ada Tuhan, maka di sana ada penciptaan. Bagi al-Ghazali, ini sama sekali tidak dapat diterima karena bertentangan dengan keyakinan Islam bahwa Tuhan menciptakan dunia pada suatu waktu, dan sebelumnya tidak ada.[10]
Kedua, al-Ghazali mengecam bahwa para filsuf “tidak agamis”, karena beranggapan bahwa Tuhan tidak mengetahui segalanya. Al-Ghazali mengutuk pandangan ini secara mutlak, karena gagasan tentang ke-MahaTahuan Allah adalah salah satu ajaran sentral di dalam teologi Islam.[11]
Ketiga, pandangan filsuf yang mempertanyakan tentang dibangkitkannya tubuh material pada hari kebangkitan adalah perilaku bid’ah. Bagi al-Ghazali, dibangkitkannya tubuh material manusia pada hari kebangkitan pada saat kiamat adalah keyakinan dalam Islam yang tidak terbantahkan.[12] Sekedar pembanding, para filsuf menganggap bahwa jiwa manusia bukanlah sesuatu yang material (immaterial), maka, manusia ketika dibangkitkan bukan dalam wujud material. Hal inilah yang ditentang al-Ghazali, menurutnya, dibangkitkannya tubuh manusia adalah tetap memungkinkan. Ayat al-Quran yang menceritakan tentang dibangkitkannya tubuh manusia adalah sesuatu yang eksplisit dan mesti dipahami secara harfiah, bukan secara metafora.[13]
Tahāfut al-Falāsifa adalah sebuah karya al-Ghazali yang mengkritik filsafat Islam secara keras dengan cara yang sebelumnya tidak pernah ada. Namun, di satu sisi mengkritik, paradoksnya, dia juga justru membuat filsafat menjadi lebih dikenal di dalam Islam. Al-Ghazali membuat sebuah buku tentang penyanggahan terhadap filsuf Islam, namun berarti dia juga mesti menjelaskan apa saja ide-ide filsafat Islam tersebut.[14]
Dalam hal ini al-Ghazali adalah guru yang sangat baik, dia mampu menjelaskan ide-ide filsafat dengan sangat jelas dan sangat baik sehingga ide-ide filsafat dapat dicerna oleh siapapun, bahkan oleh seorang awam. Secara tidak sengaja, Tahāfut al-Falāsifa justru membantu menyebarkan ide-ide filsafat, dan juga melahirkan tradisi baru dalam pembahasan ilmu kalam. Setelah al-Ghazali, lama sekali tidak ada lagi teolog Islam yang membahas diskusi tentang teori-teori filsafat secara mendetail.[15] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 105.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Michael E. Marmura, (Brigham Young University Press: Utah, 2000), pengantar oleh penerjemah hlm xv.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Eamon Gearon, Ibid., hlm 106.
[9] Ibid.
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Al-Ghazali, Ibid., hlm xxi.
[14] Ibid., hlm xv
[15] Ibid., hlm vv-xvi
Lucu dan anehnya Al ghazali mengkritik filsafat dengan filsafat. Jadi sebetulnya dia tidak nyerang filsafat. Malah dia sedang berfilsafat..
#mazhabkepanjen
Lucu dan anehnya Al ghazali mengkritik filsafat dengan filsafat. Jadi sebetulnya dia tidak nyerang filsafat. Malah dia sedang berfilsafat..
#mazhabkepanjen
Bagus, Imam Ghazali memahamkan keterbatasan akal manusia dan menggunakan akal dalam memahami sesuatu sesuai petunjuk Sang Pencipta manusia.
Akal manusia sendiri tak mampu mengetahui gambaran punggung jasad manusianya tanpa bantuan sesuatu.