“Jangan percaya bahwa jenazah yang engkau lihat ini adalah aku.
Aku adalah ruh dan ini tidak lain hanyalah tubuh kasar.
Itu adalah tempat tinggal dan pakaianku untuk sementara waktu….
Aku adalah mutiara yang telah meninggalkan cangkangnya yang terlantar, itu adalah penjaraku, di mana aku menghabiskan waktuku dalam kesedihan.
Aku adalah burung dan inilah kandangku, darinya aku telah terbang pergi dan meninggalkannya sebagai bukti.
Segala puji bagi Tuhan, yang sekarang telah membebaskanku.”
~Catatan al-Ghazali yang ditemukan sesaat setelah kematiannya.
–O–
Al-Ghazali adalah seorang penulis yang produktif, sepanjang hidupnya dia telah menulis lebih dari 70 karya tentang teologi, yurisprudensi, mistisisme, dan filsafat Islam. Dia juga menulis dengan fasih dalam dua bahasa: bahasa ibunya, yaitu bahasa Persia; dan bahasa Arab. Dalam kedua bahasa tersebut, dia bahkan mampu menuliskan banyak perumpamaan-perumpamaan, sebuah tanda bahwa dia sangat menguasai kedua bahasa tersebut.
Karya-karya al-Ghazali yang dianggap penting di antaranya adalah al-Munqidh min al-Dalal (Pembebasan dari Kesalahan); Tahāfut al-Falāsifa (Kerancuan Para Filsuf); dan magnum opus-nya, sebuah studi terperinci tentang Islam yang berjudul Ihya’ ‘Ulum al-Din (Kebangkitan Ilmu Agama).
Pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pribadinya tentang semua hal yang sebelumnya dia anggap benar tertuang dengan jelas dalam karyanya yang berjudul al-Munqidh min al-Dalal (Pembebasan dari Kesalahan), diterbitkan pada tahun 1111, lima tahun sebelum kematiannya. Di dalam buku itu al-Ghazali berkisah tentang pengalaman pribadinya ketika mengalami keputusasaan, kehilangan rasa percaya diri, dan meragukan dan mempertanyakan seluruh keyakinannya.
Al-Munqidh min al-Dalal seolah mengingkari pendekatan al-Ghazali terhadap filsafat yang sebelumnya dia kritik dengan sangat keras dalam sebuah karyanya yang berjudul Tahāfut al-Falāsifa. Dalam al-Munqidh min al-Dalal, al-Ghazali justru menggunakan pendekatan filsafat , yakni keberanian untuk mengetahui, dan keberanian untuk meragukan.
Dalam hal ini, banyak pemikiran filsafat Eropa yang lahir di abad pertengahan—sekitar 500 tahun setelah masa al-Ghazali—hanya mengulang apa yang pernah al-Ghazali kemukakan dalam karyanya. Sebagai contoh, René Descartes, seorang filsuf Perancis pada abad ke-17, kurang lebih menggunakan pendekatan yang sama dengan al-Ghazali, yakni mempertanyakan segala sesuatu. Selain Descartes, ada juga matematikawan Prancis abad ke-17 yang bernama Blaise Pascal, karya mereka memperlihatkan benang merah yang sama dengan karya al-Ghazali dalam al-Munqidh min al-Dalal.
Pengaruh Pemikiran al-Ghazali
Sebagai seorang ulama dan ahli hukum, al-Ghazali seringkali mendapat tantangan besar dalam dinamika kehidupan pada masa itu. Secara politis, salah satu tantangan terbesar al-Ghazali adalah membendung kebangkitan pemikiran-pemikiran yang muncul dari Dinasti Fatimiyah yang bermadzhab Syiah Ismailiyah di Afrika Utara. Ketika menjabat sebagai guru besar di Nizamiyyah, al-Ghazali mendapatkan tugas dari Nizam al-Mulk (Perdana Menteri Dinasti Seljuk) untuk melawan arus pemikiran yang berkembang dari Dinasti Fatimiyah.
Secara internal, para pemikir Sunni ortodoks melihat iman mereka berada di bawah serangan dari tumbuhnya pengaruh filsafat Neoplatonisme dalam teologi Islam. Dalam karyanya yang berjudul Tahāfut al-Falāsifa, al-Ghazali secara habis-habisan menyerang pemikiran yang berasal dari Neoplatonisme.
Dalam konteks ini, yang diserang oleh al-Ghazali adalah pemikiran Ibnu Sina yang bercorak Neoplatonisme dan bentuk-bentuk penalaran deduktif lainnya yang mengatakan bahwa Tuhan telah memberi manusia akal, dan karena akalnya ini lah manusia bisa mengenal Tuhan dan memahami tujuan ilahi.
Di sisi lain, al-Ghazali mempertahankan pendekatan yang lebih ortodoks dengan mengatakan bahwa meskipun akal adalah pemberian dari Tuhan, namun akal sendiri memiliki keterbatasan, sehingga tidak semuanya dapat dipahami melalui akal. Dalam konteks ketuhanan, menurut al-Ghazali, untuk memahami Tuhan, cukuplah dengan keimanan saja.
Setengah abad setelah al-Ghazali meninggal, polymath ternama asal Andalusia yang bernama Ibn Rusyd—di Barat dikenal dengan nama Averroes—mencoba untuk “menantang” pemikiran al-Ghazali dengan pendekatan logika Aristoteles untuk Islam. Namun dia tidak memberikan efek perlawanan yang cukup kuat atas berkembang luasnya pemikiran al-Ghazali.
Al-Ghazali meninggal di pembaringan pada usianya yang ke -52 atau 53 tahun. Ketika itu, di balik kepalanya terdapat selembar kertas tulisan tangan al-Ghazali. Di antara sekian tulisannya, terdapat beberapa baris berikut ini:
“Jangan percaya bahwa jenazah yang engkau lihat ini adalah aku.
Aku adalah ruh dan ini tidak lain hanyalah tubuh kasar.
Itu adalah tempat tinggal dan pakaianku untuk sementara waktu….
Aku adalah mutiara yang telah meninggalkan cangkangnya yang terlantar, itu adalah penjaraku, di mana aku menghabiskan waktuku dalam kesedihan.
Aku adalah burung dan inilah kandangku, darinya aku telah terbang pergi dan meninggalkannya sebagai bukti.
Segala puji bagi Tuhan, yang sekarang telah membebaskanku.”
Seperti yang dikatakan oleh al-Ghazali, “yang sangat penting adalah kata-katanya.” Kata-kata al-Ghazali yang disampaikan melalui karya-karyanya menggema ke dalam dunia Muslim, bahkan masih terasa sampai ke masa kini hampir 1.000 tahun setelah kematiannya. (PH)
Selesai.
Sebelumnya:
Catatan: Artikel ini merupakan adaptasi dan terjemahan bebas dari Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 106-108.