Al-Tahtawi; Islam dan Patriotisme (1)

in Studi Islam

Last updated on November 6th, 2017 12:08 am

Kebijaksanaan Raja dikatakan telah cocok, jika putera-puteri tanah air dipersatukan oleh bahasa mereka, oleh kesetiaan mereka kepada seorang raja yang berkuasa secara sah, oleh kepatuhan mereka kepada hukum (Syariat) Tuhan dan oleh kepatuhan mereka kepada kekuasaan politik yang memegang pemerintahan. Ini semua adalah sebagian dari ketentuan-ketentuan Tuhan yang diberikan kepada umat manusia dengan tujuan agar mereka saling bekerja sama membangun tanah air mereka dan bergaul satu sama lain sebagai anggota-anggota dari satu keluarga yang utuh.

Tuhan menghendaki agar tanah air itu, demikian untuk mudahnya, terletak di tanah tempat tinggal ayah, ibu dan guru, serta merupakan tempat kebahagiaan yang dinikmati oleh seganap warganya. Jadi tidak dapat dibenarkan jika suatu bangsa dipecah-pecah menjadi kelompok-kelompok kecil atas dasar perbedaan pendapat yang timbul dari adanya perasaan tergabung (partisanship, ta’ashshub), yang karenanya bisa menimbulkan ketegangan-ketegangan, permusuhan dan persaingan yang tidak wajar; dan konsekuensinya tanah air tidak aman dan tenteram.

Inilah yang seharusnya diwujudkan sedemikian rupa karena hukum (syariat) Islam dan kekuasaan pollitik yang menempatkan sertiap orang pada kedudukan yang sama, menghendaki agar mereka bersatu padu tekad dan saling menyadari bahwa tak seorang pun di antara musuh mereka yang mau menyelamatkan mereka dari perpecahan itu. Mereka harus bersikap waspada terhadap orang-orang seperti itu, supaya kedaulatan mereka tidak tumbang dan ketertiban tidak terganggu. Musuh yang sebenarnya adalah orang yang tidak menghendaki rakyat bersikap setia dan patuh kepada tanah air dan tidak menghendaki mereka mendapakan kenikmatan yang sempurna dari kemerdekaan itu.

Setiap putra tanah air (patriot) –baik putra asli maupun pendatang yang telah dinaturalisasikan sebagai warga Negara- mempunyai ikatan yang sama dengan tanah air itu, yang dinyatakan dalam berbagai macam cara. Kadang-kadang terlihat dalam istilah-istilah yang menunjukan secara jelas tanah air itu sendiri, misalnya sebutan “orang Mesir” (Egyptian, al-Misry), atau istilah-istilah yang menunjukan kebangsaannya sehingga ia diberi atribut dengan kata sifat yang diturunkan dari kata tersebut, atau bisa juga digambarkan dengan istilah-istilah yang menunjukan ide tanah airnya itu sehingga karenanya ia disebut “patriot” atau putra tanah air. Ini berarti bahwa ia memperoleh kenikmatan dari hak-hak yang dimiliki tanah airnya itu; dan yang terbesar di antara kenikmatan-kenikmatan itu adalah kemerdakaannya yang sempurna di tengah-tengah masyarakat.

Patriot ini, walau penggambaran itu hanya bisa digunakan bila ia patuh dan setia kepada hukum yang berlaku serta bersedia membantu pelaksanaannya sehingga tujuan Negara dapat tercapai, akan mendapatkan jaminan dari Negara untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga Negara. Dalam pengertian seperti inilah ia berhak disebut patriot atau putra tanah air, dalam arti bahwa ia diperhitungkan sebagai anggota masyarakat dan memperoleh kedudukan-kedudukan tertentu sebagaimana anggota tubuh. Hak inilah yang diakui sebagai hak yang paling besar pada bangsa-bangsa beradab. Rakyat dari banyak Negara telah melupakan hak itu, padahal sebenarnya hak ini merupakan salah satu ciri utama dari peradaban.

Yang telah terjadi dimasa lampau adalah bahwa para penguasa memerintah dengan menuruti kemauan pribadinya sebagaimana terlintas dalam fikirannya dan melakukan segala sesuatu sesuai dengan kemauannya itu. Pada masa itu rakyat tidak memperoleh saluran yang yang memberikan sanggahan atau beroposisi dengan penguasa dan juga tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana dikehendaki oleh Syariat itu. Mereka tidak dapat memberitahu raja tentang adanya hal-hal yang tidak sesuai. Juga tidak dapat mengungkapkan penilaiannya secara tertulis terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pemerintahannya itu. Pendek kata mereka tidak dapat mengemukakan  pendapat mereka dengan cara apa pun.

Akibatnya  mereka seperti orang asing yang tidak tahu menahu dengan persoalan-persoalan pemerintah. Mereka tidak diberi peranan atau jabatan apa pun, selain daripada kedudukan sebagai orang rendahan yang tidak memiliki apa-apa. Sekarang ide-ide telah berubah dan keadaan yang menyedihkan ini telah terkikis dari putra-putri tanah air. Pada masa sekarang jiwa patriot sejati dapat diisi dengan perasaan cinta kepada tanah air, karena ia telah diperhitungkan sebagai anggota tanah air itu.

Mutu patriotisme bukan saja menuntut orang agar berusaha memperoleh haknya yang layak dari tanah airnya, tetapi juga menuntut agar ia melaksanakan kewajibannya terhadap tanah airnya itu. Jika seorang putra tanah air tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya berarti ia telah kehilangan hak-haknya sebagai warga Negara.

Bangsa Romawi di masa dahulu menuntut agar setiap warga negaranya yang telah mencapai dua puluh tahun untuk mengucapkan sumpah setia bahwa ia akan membela tanah air dan pemerintahnya, dan mereka terikat dengan sumpahnya itu. Teks sumpah setia itu berbunyi sebagai berikut :

“saya bersaksi kepada Tuhan bahwa saya secara sukarela akan memanggul senjata demi kejayaan tanah air dan rakyatnya, kapan saja ada kesempatan bagi saya untuk memberikan bantuan kepada keduanya itu. Dan saya bersumpah di hadapan Tuhan bahwa saya akan bertempur, sendirian ataupun bersama pasukan, untuk membela tanah air dan agama….”

Dari sini dapat difahami betapa besarnya rasa cinta bangsa Romawi itu kepada tanah air mereka dan mengapa mereka mampu menguasai semua Negara di dunia (pada waktu itu). Ketika mutu patriotisme ini menurun, kegagalan melanda anggota masyarakat bangsa ini dan keadaan mereka menjadi mundur. Keutuhan mereka sebagai bangsa tercabik-cabik oleh timbulnya banyak pertikaian di antara para penguasa dan juga oleh semakin banyaknya penguasa-penguasa itu sendiri.

Setelah diperintah oleh seorang Kaisar, mereka terpecah menjadi Romawi Timur dan Romawi Barat. Masing-masing diperintah oleh Kaisar tersendiri, Kaisar Roma dan Kaisar Konstantinopel (Istambul). Dari satu kekuatan besar mereka berubah menjadi dua kekuatan lemah. Mereka menderita kekalahan dalam semua peperangan yang mereka lakukan, dan akhirnya setelah mencapai puncak kejayaannya, mereka jatuh sama sekali tanpa bekas. Demikianlah keadaan suatu bangsa dengan pemerintahan yang terpecah-pecah dan masyarakat yang tidak bersatu padu. (SI)

Bersambung ke:

Al-Tahtawi; Islam dan Patriotisme (2)

Sumber:

Rifa’ah Badawi Rafi at-Tahtawi, Tanah Air dan Perasaan Cinta Kepada Tanah Air, di dalam buku John J. Donohoe dan John L. Esposioto, Islam dan Pembaharuan; Ensiklopedi Masalah-Masalah, CV. Rajawali, Jakarta, 1984

Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1975

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*