Peradaban, Islam dan Penalaran
Peradaban pada suatu tanah air memerlukan pengabdian dari rakyat yang bertempat tinggal di wilayah tanah air itu berupa instrumen-instrumen yang perlu untuk memperbaiki keadaan mereka secara moral maupun spiritual. Itulah pernyataan yang menunjukan betapa tingginya keinginan mereka untuk memperbaiki moral, kebiasaan, dan pendidikan mereka, dan juga merupakan indikasi akan betapa besarnya kemampuan mereka untuk melakukan hal-hal yang bernilai tinggi, mendambakan kesempuranaan dalam peradaban dan meningkatkan taraf hidup mereka. Inilah makna peradaban sebenarnya yang memikirkan kepentingan bangsa yang mendiami tanah air itu, tetapi individu-individu dalam bangsa beradab itu berbeda-beda satu sama lain dalam tingkat kemajuan dan keberhasilan mereka masing-masing. Jadi peradaban dalam pengertian ganda dapat diterapkan baik kepada bangsa-bangsa maupun kepada perorangan-perorangan.
Lawan dari peradaban adalah kebiadaban (crudity : kesewenang-wenangan); yaitu tidak adanya usaha untuk meningkatkan taraf hidup. Tidak diragukan lagi bahwa tugas para rasul Tuhan yang membawa hukum-hukum-Nya merupakan landasan pokok bagi peradaban yang benar, yang merupakan norma dan pola dari segala macam peradaban. Peradaban yang dikembangkan Islam dengan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang dibawanya membudayakan Negara-negara di dunia ini tanpa ada kecualinya serta menyebarluaskan cahaya petunjuk (dari Allah) keseluruh penjuru dunia ini. Rasulullah bersabda: “saya telah membawakan kamu hukum Tuhan yang murni yang belum pernah dibawakan oleh nabi-nabi sebelumku, tidak juga saudaraku Musa dan saudara-saudaraku para nabi yang lain. Pada masaku berusahalah untuk mengikuti hukumku itu saja”.
Siapa saja yang telah mendalami Ilmu Fiqih (Hukum Islam) dan telah memahami larangan-larangan dan perintah-perintah yang ada di dalamnya, akan menilai bahwa kesimpulan-kesimpulan rasional yang diambil oleh para pemikir di kalangan bangsa-bangsa berperadaban lain, yang merupakan landasan bagi pembentukan hukum dan peraturan mereka, jarang menyamai prinsi-prinsip hukum (Islam) ini, prinsip-prinsip yang menjadi dasar dari pembentukan setiap cabang Ilmu Fiqih dan juga peraturan dasar tentang hubungan kemanusiaan.
Konsekuensinya, apa yang kami sebut dengan Ilmu Fiqih itu, mereka sebut hukum-hukum alam atau hukum-hukum naluri. Ini semua yang berupa aturan-aturan rasional, mengemukakan penilaian baik dan buruk, sebagai dasar dari hukum-hukum sipil mereka. Apa yang kami sebut cabang-cabang Ilmu Hukum Islam (fiqih), mereka katakan sebagai hukum-hukum sipil atau peraturan-peraturan. Apa yang kami sebut dengan keadilan dan perbuatan baik (amal saleh), mereka sebut kebebasan dan persamaan. Rasa cinta kepada agama dan kesadaran untuk melindunginya, yang secara ketat dipegangi oleh umat Islam dan yang telah memberikan kekuatan dan kemampuan kepada mereka melebihi bangsa-bangsa yang lain, mereka sebut dengan rasa cinta kepada tanah air.
Sedangkan di kalangan kita, kaum Muslimin, rasa cinta kepada tanah air itu hanya merupakan satu cabang dari iman, dan kesadaran untuk membela agama adalah intinya. Setiap kerajaan Islam merupakan tanag air bagi semua orang yang memeluk Islam; sebab Negara itu menggabungkan antara agama dan rasa cinta kepada tanah air. Pembelaan terhadapnya merupakan kewajiban bagi para warga negaranya dengan alasan dua aspek tersebut diatas. Namun bisanya orang merasa terikat dengan agama karena begitu pentingnya kekuatan agama itu, seiring sejalan dengan kemauan tanah airnya.
Kesetiaan kepada tanah air tertentu dapat dihidupkan semata-mata dengan perasaann kesamaan dalam kebangsaan dan kekeluargaan, dimana orang dapat berbicara atas dasar sentimen mereka, apakah Qays, bangsa Yaman, bangsa Mesir ataukah bangsa Syam (Syiria). Akan tetapi dalam suatu tanah air semua orang ditempatkan pada kedudukan yang sama, sehingga anda akan mendapatkan dua kelompok yang berbeda satu sama lain bersatu padu menghadapi pihak asing dalam rangka mempertahankan tanah air mereka, agama mereka ataupun sanak keluarga mereka.
Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari peradaban adalah banyak, dan semua ilmu pengetahuan tentang kehidupan baik yang serasi maupun yang penuh permusuhan menyangkut keuntungan-keuntungan itu. Dengan pemikiran ini sementara orang lantas mengatakan: kapan saja garis edar kerajaan-kerajaan di bumi melebar, peperangan dan serangan-serangan berkurang, penaklukan-penaklukan menjadi lebih manusiawi, kekalahan dan kemenangan menjadi langka, sehingga pada akhirnya semua itu akan berhenti sama sekali. Tindakan tirani yang tidak mengenal hukum dan perbudakan terhapus sama sekali, demikian juga kemiskinan dan kekacauan berubah. (SI)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Sumber:
Rifa’ah Badawi Rafi at-Tahtawi, Tanah Air dan Perasaan Cinta Kepada Tanah Air, di dalam buku John J. Donohoe dan John L. Esposioto, Islam dan Pembaharuan; Ensiklopedi Masalah-Masalah, CV. Rajawali, Jakarta, 1984
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1975