Arya Damar dan Era Penyebaran Islam di Nusantara (10)

in Islam Nusantara

Last updated on February 12th, 2019 01:45 pm

Sebagai suplemen dalam rangkaian tulisan ini, dalam edisi kali ini akan di sajikan dialog antara San Ali dengan Ario Abdillah atau Arya Damar dalam Suluk Abdul Jalil karya Agus Sunyoto.

 

 

Bila merujuk pada historiografi nusantara yang ditulis oleh Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo, kompleksitas asal usul yang membentuk pribadi Arya Damar adalah kunci suksesnya dalam nyebarkan ajaran Islam, khususnya di wilayah Palembang dan sekitarnya.[1] Dia adalah pangeran Majapahit yang juga penganut ajaran Syiwa-Buddha aliran Bhirawa-Tantra. Latar belakangnya ini, membawanya pada sejumlah kesuksesan ekspedisi militer di era pemerintahan Rani Suhita, serta membawanya pada kedudukan yang terkemuka di kerajaan Majapahit. Dengan bekal ini pulalah dia berhasil menaklukkan Palembang, dan menjadi sosok paling berpangaruh di wilayah tersebut.

Ketika dia memeluk agama Islam, asal usulnya sebagai orang yang pernah memahami ajaran Syiwa-Buddha aliran Bhirawa-Tantra, membuatnya mampu dengan mudah memahami sudut pandang masyarakat. Dengan pemahamam yang utuh tentang sikap masyarakat yang dihadapinya, tak ayal Arya Damar mampu dengan mudah mempengaruhi  dan mengajak mereka secara damai memeluk Islam.

Lebih jauh, sosok Arya Damar tidak hanya berjasa dalam upaya pengembangan Islam di tanah Palembang dan wilayah lain di sekitarnya. Tapi juga juga seorang ulama yang memiliki ilmu sangat tinggi. Soal ketinggian ilmu agama yang dimiliki Arya Damar agaknya tidak sulit dipahami, mengingat dari didikannya lahir putra-putri yang kelak menjadi tokoh besar dan berpengaruh dalam menyebarkan ajaran Islam di Nusantara.

Namun yang tak kalah menarik dari itu, dalam karyanya yang lain “Suluk Abdul Jalil”, Agus Sunyoto mengisahkan bahwa San Ali, atau yang kemudian dikenal sebagai Syaikh Siti Jenar, sempat menemui ulama besar ini (Arya Damar) sebelum melakukan pengembaraan lebih jauh ke Persia. Ketika bertemu Arya Damar, San Ali diajarkan tentang ilmu-ilmu hakikat yang menuntunnya berjalan – tidak hanya di alam materi – tapi juga di semesta kediriannya.[2]

 

Gambar Ilustrasi. Sumber: evolveandascend.com

 

Sebagai suplemen dalam rangkaian tulisan ini, marilah kita simak cuplikan dialog antara San Ali dengan Ario Abdillah atau Arya Damar dalam Suluk Abdul Jalil:[3]

Ketika San Ali mendekat, Ario Abdillah dengan tanpa menoleh dan tangan tetap mencabuti akar-akaran mendendangkan lagu, “Engkau adalah hijab bagi dirimu sendiri, o manusia, maka keluarlah engkau dari padanya. Pengembaraan adalah pematangan bagi jiwa yang mentah. Jika engkau sudah keluar dari hijabmu maka akan engkau temukan alam semesta di dalam dirimu, ibarat lautan engkau temukan di dalam perahu.” San Ali tercekat. Dia menangkap sasmita tentang kedalaman ajaran di dalam syair lagu itu. Dengan kobaran rasa ingin tahu yang menggelora, dia mendekat dan berkata penuh harap, “O Tuan Manusia Besar yang sudah tercerahkan, berkenankah Tuan mengajari hamba jalan menuju Dia?”

”Aku?” guman Ario Abdillah terperanjat. “Aku mengajarimu jalan menuju Dia?”

“Besar harapan hamba, Tuan mengabulkan keinginan hamba.”

“Tidak ada yang bisa mengajari manusia menuju jalan-Nya kecuali Dia sendiri, dengan jalan-jalan yang ditentukan-Nya.”

“Namun, Tuan?”

“Siapakah engkau dan dari manakah asalmu, o Anak Muda?” “Hamba San Ali putera angkat Ki Danusela, Kuwu Caruban.”

“Kalau begitu, engkau masih kemenakanku sendiri karena Ki Danusela adalah saudara tiriku;’ Ario Abdillah mengangkat alis kanannya.

“Benar Tuanku, hamba bahkan telah berjumpa dengan Pamanda Raden Kusen, putera Tuanku, di Caruban,” San Ali menjelaskan.

Ario Abdillah menunduk. Diam. Sejenak kemudian dia berkata, ”Apa yang bisa kuajarkan kepadamu, o Anak, jika engkau memiliki jalan sendiri menuju Dia?”

“Itu benar, o Tuanku. Namun, Tuan bisa menceritakan perjalanan Tuan sehingga hamba bisa mengambil hikmah di balik cerita Tuan. Hal itu akan hamba jadikan pedoman dalam perjalanan hamba menuju Dia.”

”Ada banyak orang berkata tentang aku, namun apa yang mereka katakan itu pada hakikatnya tidak tepat sebagaimana aku mengatakan tentang diriku. Akhirnya, aku pun bingung tentang siapa yang paling benar mengatakan tentang aku. Lantaran itu, o Anak, kutinggalkan segala perkataan tentang aku, karena itu semua akan semakin membingungkan aku-ku. Dan ketahuilah, o Anak, ketika engkau berkata tentang jalanku maka saat itulah engkau telah memunculkan keakuan, baik keakuanmu maupun keakuanku; yang ujung dari semuaitu adalah sia-sia.”

”Apakah engkau melihat guna dan manfaat ketika kuceritakan bagaimana kegagahan dan keperkasaanku menghancurkan musuh di medan laga, kalau pada dasarnya justru kepahitan yang kudapati dari cerita itu? Adakah guna dan manfaat ketika kuceritakan kepiawaian dan kebijaksanaanku mengatur negeri, kalau pada dasarnya justru kegetiran yang kurasakan? Adakah guna dan manfaat ketika kuceritakan bagaimana seharusnya aku merasakan kepuasan karena keturunanku menjadi penguasa negeri, kalau akhirnya yang kudapat justru kekecewaan?”

“Ketahuilah, o Anak, bahwa keperkasaan, kegagahan, kepintaran, kebajikan, kepuasan diri, dan segala macam penilaian yang mengarah pada pepujian diri adalah hampa semata dengan tepi kepedihan yang menyiksa. Sebab, saat engkau terperangkap pada penilaian baik atau buruk tentang sesuatu mengenai aku-mu atau aku-ku atau aku siapa saja, maka saat itulah telah terjadi pengakuan terhadap sesuatu yang bukan haknya. Dan, mengaku yang bukan hak adalah kepedihan tanpa tepi.”

“Segala sesuatu yang tergelar di alam semesta adalah milik-Nya tanpa kecuali: bumi, bulan, matahari, hewan, manusia, tumbuhan, jin, setan, iblis, malaikat, surga, dan neraka. Puji-pujian, kemuliaan, kebesaran, keagungan, dan segala sesuatu sekecil apa pun adalah milik-Nya. Segala adalah milik-Nya. Engkau tak memiliki apa pun baik kekayaan duniawi, keluarga, tubuh, nyawa, ruh, dan bahkan iman sekalipun; semua adalah milik-Nya.”

“Kenangkanlah liku-liku jalan yang pernah kulewati sejak aku dilahirkan dari rahim ibundaku, di mana ajaran kebenaran yang kukenal awal sekali ketika aku masih kecil adalah Bhairawa-Tantra yang penuh lumuran darah dan kematian. Saat itu, sangat kuyakini kebenaran ajaran dari leluhurku itu sebagai jalan menuju-Nya. Berbagai kesulitan yang kuhadapi dapat kuatasi dengan ilmu-ilmu yang kupelajari dari ajaran itu. Tetapi, di saat aku berada di puncak kemenangan, tiba-tiba Dia memberikan cahaya iman ke dalam jiwaku. Ku tinggalkanlah segala apa yang pernah kuraih sebagai kebanggaan masa mudaku itu.”

“Dengan pengalaman hidup yang kulewati ini, o Anak, aku makin sadar bahwa segala sesuatu tanpa kecuali adalah milik-Nya. Karena itu, hari-hariku sekarang ini kuhabiskan untuk menunggu Dia mengambil milik-Nya yang kini telah lapuk dan renta dimakan zaman. Dan lantaran itu, kutinggalkan segala sesuatu yang pernah kuanggap sebagai milikku di dunia ini. Kuhadapkan pikiran dan perasaanku hanya kepada-Nya, agar saat Dia mengambilku, seutuhnya diriku kembali kepada-Nya tanpa beban apa pun dari dunia yang pernah kutinggali ini.”

“Jika Tuan ingin kembali hanya kepada-Nya, hamba yakin itu akan terjadi. Namun, mohon Tuan jelaskan kepada hamba bagaimana dengan nasib uwak dan ibunda Tuan yang tetap tinggal di dalam kegelapan ajaran najis itu?” kata San Ali.

“O Anak,” sahut Ario Abdillah dengan suara berat. “Engkau tidak bisa menilai sesuatu ajaran sebagai sesuatu yang najis atau suci. Sebab, semua itu berasal dari-Nya. Semua milik-Nya. Perbedaan yang engkau lihat sebenarnya hanya pada tingkat penampakan indriawi belaka; hakikatnya adalah sama, yakni menuju hanya kepada-Nya. Yang gelap maupun yang terang, semua menuju kepada-Nya.”

“Hamba kurang paham dengan penjelasan itu, o Tuan.” San Ali penasaran.

“Ketahuilah, o Anak, bahwa Dia bukan hanya pemilik segala sesuatu yang tergelar di alam semesta. Dia menata dan mengatur semuanya. Jika engkau sekarang ini berada di dalam golongan muslim yang dianugerahi iman maka sesungguhnya engkau berada dalam golongan yang tercerahkan oleh cahaya salah satu nama indah-Nya, yakni al-Hadi, Yang Memberi Petunjuk, yang dari-Nya mengalir para malaikat, nabi, rasul, wali, dan orang-orang saleh.”

“Sementara jika engkau berada di dalam golongan di luar penganut ajaran Islam yang engkau nilai najis karena berlumuran darah, maka sesungguhnya engkau berada di dalam golongan yang terbimbing oleh salah satu nama indah-Nya, yakni al-Mudhill, Yang Menyesatkan, yang dari-Nya mengalir iblis, setan, penyembah berhala, pemuja kegelapan, dan pengorban darah. Tetapi, semua itu bersumber dari-Nya dan bermuara kepada-Nya. Dialah Yang Tunggal, yang memiliki kekuasaan mutlak menggolongkan orang ke dalam pancaran masing-masing nama-Nya. Dia pula yang berkuasa mutlak membimbing orang ke jalan terang atau menyesatkan orang ke jalan gelap, tanpa ada yang bisa mengganggu gugat.” “Sudah tertulis di dalam dalil: Nurun ‘ala nurin yahdi Allahu linurihi man yasya ‘u. Cahaya di atas cahaya, Dia membimbing dengan cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. Tertulis pula dalil: Man yahdi Allahu fala mudhilla lahu wa man yudhlilhu fala hadiya lahu. Siapa yang ditunjuki Allah, engkau tidak bisa menyesatkannya; dan siapa yang disesatkan Allah, tak bisa engkau menunjukinya. Jadi, jalan terang atau gelap, pada hakikatnya tergantung mutlak pada kehendak-Nya.”

“Engkau menganggap suci ajaran agamamu karena engkau berada di dalam pandangan agamamu yang menganggap ajaran lain sesat dan najis. Tetapi, jika engkau berada di dalam ajaran lain maka ajaran yang lain itu akan menilai sesat dan najis agamamu. Dia memang menempatkan sudut pandang yang berbeda bagi tiap-tiap umat untuk memandang kenyataan yang tergelar di hadapannya. Dengan sudut pandang itulah masing-masing manusia memiliki perbedaan dalam memandang kebenaran agama yang dianutnya. Semuanya, terutama yang awam, memiliki penilaian bahwa agama yang dianutnya itulah yang paling baik. …”

Sebagaimana kemudian dikisahkan dalam Suluk Abdul Jalil, bahwa setelah itu San Ali diajak oleh Arya Damar menemui sejumlah mahluk lain, memasuki satu dimensi ke dimensi lain, dan terus naik dari satu alam ke alam lain, sambil secara terus menerus San Ali dijelaskan tentang semua hal yang dialaminya. Hingga di ujung pertemuan itu dikisahkan:[4]

“Jalan ini memang harus engkau lalui, o Anak, agar terpatri di dalam jiwa dan pikiranmu bahwa Gusti Allah itu Mahaagung, Mahakuasa, dan Maha Pencipta. Keagungan-Nya tanpa batas. KekuasaanNya tanpa batas. Ciptaan-Nya juga diketahui tanpa batas. Artinya, dalam pencarian mengenal Dia, hendaknya cakrawala pikiranmu menjadi luas seperti hamparan langit. Dia bukan hanya Gusti Allah yang disembah umat Islam, melainkan Dia adalah Tuhan yang disembah seluruh umat manusia, hewan, tumbuhan, jin, malaikat, setan, iblis, bulan, bintang, matahari, dan berbagai makhluk ciptaan-Nya yang tak kita ketahui. Makhluk-makhluk itu hanyalah sebagian kecil saja dari ciptaan-Nya.”

San Ali tertunduk diam. Kata-kata yang diucapkan Ario Abdillah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan penjelasan guru agungnya, namun kenyataan tentang makhluk-makhluk selain manusia benar-benar mencengangkan dan hampir membuatnya tergelincir dari tujuan semula. Ario Abdillah akhirnya berterus terang bahwa tujuannya bertemu Kala Hiwang dan Kala Hingsa di dasar bumi itu sebenarnya hendak berpamitan.

“Usiaku sudah lanjut. Sudah saatnya aku kembali kepada-Nya.”

“Bukankah Tuanku masih kuat dan sehat?” tanya San Ali. “Hamba tak yakin barang sepuluh atau lima belas tahun lagi Tuanku bakal meninggal dunia.”

“Tidak,” sahut Ario Abdillah, “Usiaku tinggal sepekan. Pada tanggal ke sembilan, hari Soma Manis (Senin Legi), bulan Waishaka, saat pecat sawet (pukul 10.00), lima hari lagi, itulah saatku meninggalkan dunia ini. Karena itu, cepat-cepatlah engkau pergi dari sini karena aku tidak ingin menyisakan sesuatu di hati dan pikiran selain Dia.”

”Tuanku,” sergah San Ali heran, “Bagaimana Tuan bisa tahu dengan sangat jelas saat kematian Tuan?”

”Tidak perlu kujelaskan, tetapi jika engkau teguh pada tekadmu dan setia pada jalanmu maka engkau akan dianugerahi-Nya pengetahuan seperti itu,” sahut Ario Abdillah sambil menutup mata dan mulai mengatur napas serta melafalkan zikir.

“Hamba mohon doa restu, Tuanku,” kata San Ali mencium kaki Ario Abdillah. Dia rasakan ada rongga kosong di dadanya, seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga, meski tidak tahu gerangan apa yang hilang itu. Sesaat dia merasa kehangatan membasahi pipinya. Sadarlah dia bahwa diam-diam titik-titik air bening telah menetes dari kelopak matanya. (AL)

 

Selesai…

Sebelumnya:

Arya Damar dan Era Penyebaran Islam di Nusantara (9)

Catatan kaki:

[1] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 96-100

[2] Lihat, Agus Sunyoto, “Suluk Abdul Jalil: Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar”, Yogyakarya, LkiS, 2011, hal. 117-144

[3] Lihat, Ibid, hal. 123-131

[4] Lihat, Ibid, hal, 142-144

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*