Dalam historiografi lokal di Palembang, Arya Damar diidentifikasi sebagai nenek moyang dari Sri Paduka Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam Kiai Mas Endi bin Pangeran Ratu Mangkurat Siding Pesarian, yang tidak lain adalah Raja pertama Kesultanan Palembang Darussalam.
Meski Arya Damar hidup pada era emas pernyebaran Islam di nusantara, tapi informasi mengenai sosoknya masih diselimuti banyak misteri. Hal ini bukan disebabkan minimnya informasi mengenai sosoknya. Sebaliknya, nama tokoh ini justru tercatat di banyak naskah sejarah, baik yang berasal dari Nusantara maupun Cina. Hanya saja – sebagaimana sudah dijelaskan pada edisi sebelumnya – informasi mengenai sosok ini tumpang tindih, dan saling menegasikan satu sama lain.
Selain tentang asal usul, salah satu persoalan yang juga penting, adalah tentang kapan dan bagaimana Arya Damar memeluk agama Islam? Terkait hal ini, tidak banyak sumber yang menjelaskannya secara rinci. Meski demikian, secara umum sejarawan sepakat bahwa sosok Arya Damar adalah Muslim. Dan dia adalah salah satu pionir yang cukup berjasa dalam proses penyebaran Islam di Nusantara, khususnya daerah Palembang dan sekitarnya.
Bila merujuk pada naskah Cina, besar kemungkina Arya Damar sudah memeluk Islam sejak kecil, karena dia memiliki ibu seorang putri cina, yang kemungkinan seorang Muslimah. Tapi bila merujuk pada kronik nusantara, keislaman Arya Damar justru terjadi setelah dia menjadi adipati Palembang.
Sebagaimana yang dikisahkan oleh Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo. Sejak kecil sampai sebelum menjabat sebagai penguasa Palembang, Arya Damar masih menganut keyakinan Syiwa-Buddha aliran Bhirawa-Tantra, yang dalam upacara mistisnya mereka menggunakan korban manusia.[1] Ketika menjabat sebagai penguasa Palembang, Arya Damar bertemu dengan Sunan Ampel yang datang dari Campa. Atas jasa Sunan Ampel, Arya Damar memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Ario Abdillah.
Sama halnya dengan keislaman Arya Damar, kiprah Arya Damar sebagai sosok yang menyebarkan Islam di tanah Palembang juga masih diliputi keraguan. Meski begitu, lagi-lagi, nama ini dikenal luas dalam naskah sejarah sebagai nenek moyang dari raja-raja Palembang. Dan menariknya, dalam salah satu web sejarah, kanzunqalam.com, dikatakan bahwa meskipun nama “Adipati Arya Damar” banyak beredar dalam naskah-naskah kuno di Pulau Jawa, justru nama tersebut tidak sama sekali disinggung dalam Naskah Sejarah Melayu.[2]
Sebagaimana diulas lebih jauh dalam web tersebut, bahwa dari berbagai kisah yang ada di masyarakat, setidaknya ada 5 tokoh, yang di-identifikasikan sebagai Arya Damar, yaitu :[3]
Pertama, Adityawarman, yang dikenal sebagai putera pejabat kerajaan Majapahit bernama Adwaya Brahman, sementara ibunya bernama Dara Jingga, seorang putri Kerajaan Darmasraya.[4] Adityawarman menjabat sebagai Adipati Palembang pada tahun 1308 M.
Kedua, Arya Dillah (Jaka Dillah), yang lahir tahun 1415, dan merupakan anak Prabu Wikramawardhana (memerintah Majapahit, 1389-1429). Kisah tentang sosok Arya Dillah ini mirip dengan kisah tentang Arya Damar dalam naskah Jawa. Mungkin ini sebabnya nama ini diidentikkan dengan nama Arya Damar.[5]
Ketiga, Arya Palembang (Abdullah Azmatkhan). Dalam catatan Sayyid Bahruddin Azmatkhan, orang yang dimaksud sebagai Arya Palembang dalam catatan itu, kemungkinan adalah Arya Damar yang dikatakan sebagai anak keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Di dalam Naskah Mertasinga Arya Palembang menikahi Nyai Ratna Subanci, selir Kerajaan Majapahit yang hijrah ke Palembang. kisah tentang sosok Nyai Ratna Subanci ini sangat mirip dengan kisah Subaci dalam sejarah Jawa. Mungkin ini pula sebabnya sosok Arya Palembang, diidentikkan dengan Arya Damar.[6]
Keempat, Pangeran Sukemilung (Si Pahit Lidah/Serunting Sakti). Pangeran Sukemilung adalah anak dari Ratu Raja Muda (Ratu Kebuyutan). Di dalam naskah Sumatera Selatan, Pangeran Sukemilung (Arya Damar) dikisahkan memiliki istri bernama Maharatu Putri Semidang Biduk Putri Sultan Moeghni. Masa kepemimpinannya diperkirakan sebelum era Syahbandar Pai Lian Bang (sekitar tahun 1485 M).[7]
Kelima, Pangeran Guru. Sosok ini adalah seorang tokoh perantauan dari tanah Jawa. Pangeran Guru dikenal memiliki kesaktiaan dan membuka padepokan di Palembang. Tokoh yang hidup di era akhir Kerajaan Majapahit ini dalam Babad Dermayu di-identifikasi sebagai Arya Damar, meskipun Pangeran Guru sendiri belum pernah menjabat sebagai Adipati. Pangeran Guru diceritakan pada tahun 1527, tewas terbunuh setelah adu kesaktian dengan Endang Darma.[8]
Demikianlah lima sosok yang diperkirakan sebagai Arya Damar dalam kanzunqalam.com. Dari pemaparan singkat di atas, sangat sulit bagi kita untuk memastikan identitas sosok yang asli dari kelimanya. Kalaupun kita mengkonfirmasi kebenaran informasi tersebut dengan naskah-naskah Jawa dan Cina, agaknya masih sulit untuk menemukan kebenarannya secara pasti. Mengingat, sebagaimana sudah pernah di bahas sebelumnya, narasi dalam naskah-naskah tersebut juga masih simpang siur. Tapi terlepas dari itu, secara geneologis, Arya Damar diidentifikasi sebagai nenek moyang dari Sri Paduka Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam Kiai Mas Endi bin Pangeran Ratu Mangkurat Siding Pesarian, yang tidak lain adalah Sultan pertama Kesultanan Palembang Darussalam yang memerintah tahun 1069 – 1118 H atau 1659/ 3 Maret 1666 – 1706 M).[9] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 97
[2] Lihat, https://kanzunqalam.com/2017/05/04/misteri-5-sosok-arya-damar-dalam-sejarah-melayu-palembang/, diakses 7 Januari 2019
[3] Lihat, Ibid
[4] Di kisahkan Adityawarman berjasa dalam menumpas para pepatih di wilayah situlembang, kemudian diangkat menjadi Adipati Palembang pada tahun 1308 M. Roda pemerintahan di Palembang, lebih banyak dijalankan oleh istrinya Ciu Chen, dikarenakan Adityawarman sering berpergian dalam menjalankan tugasnya sebagai Pejabat Tinggi Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1347 M, bersama istrinya yang lain Puti Jamilan, Adityawarman pindah ke pedalaman, untuk membangun kembali Kerajaan Pagaruyung. Pemerintahan di Palembang, ia serahkan kepada anak-anaknya dari Puteri Ciu Chen, dibantu Patih Palembang bernama Arya Sampang. Lihat, Ibid
[5] Mirip dengan yang dikisahkan dalam historiografi Jawa, ketika menjabat menjadi Adipati Palembang, dia kedatangan mubaligh Muslim bernama Ali Rahmatullah (Sunan Ampel), yang membimbingnya menjadi seorang mualaf. Dalam buku Suluk Abdul Jalil: perjalanan ruhani Syaikh Siti Jenar, tulisan Agus Sunyoto, tercatat Aria Dillah memiliki istri, bernama Nyimas Sahilan binti Syarif Husein Hidayatullah (Menak Usang Sekampung), dari istrinya ini Aria Dillah memiliki putera bernama Raden Sahun. Dalam naskah Mertasinga, Ario Dillah memiliki seorang puteri yang kemudian menikah dengan Arya Palembang. Lihat, Ibid
[6] Kedatangan Nyai Ratna Subanci ke Palembang, dalam upaya meyelamatkan bayi putera dari Putri Champa, yang bernama Raden Hasan (Raden Fattah). Sejarah mencatat, kelak di kemudian hari, sekitar tahun 1478 M, Raden Fattah diangkat menjadi Sultan Demak oleh Walisongo. Lihat, Ibid
[7] Lihat, Ibid
[8] Lihat, Ibid
[9] Lihat, https://sultanpalembang.com/latar-belakang/, diakses 7 Januari 2019