“Kata ‘Mamluk’ berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘seseorang yang dimiliki’, maknanya setara dengan kepemilikan terhadap barang tertentu, atau bila disederhanakan, Mamluk artinya adalah ‘budak’.”
–O–
Kisah tentang Mamluk adalah salah satu kisah yang paling unik dalam sejarah Islam dan Timur Tengah, bagaimana tidak, Dinasti Ayyubiyah (1171–1250) yang telah berkuasa selama 79 tahun di Mesir dapat digantikan oleh sekelompok suku non-Dinasti, yang bahkan pada awalnya mereka adalah budak. Artikel seri Mamluk ini akan membahas tentang siapa Mamluk, dari mana mereka berasal, dan bagaimana mereka dapat naik ke tampuk kekuasaan.
Selain itu, artikel ini juga akan membahas mengenai peran tokoh legendaris perempuan, Sultana Shajar ad-Dur, yang menjadi tokoh sentral transisi dari Ayyubiyah ke Mamluk. Pada bagian terakhir, akan diulas mengenai peristiwa monumental yang disebut dengan Pertempuran Ain Jalut, di mana ketika pertama kalinya dalam sejarah, pasukan raksasa Mongol dapat dikalahkan.
Siapa Mamluk?
Kata “Mamluk” berasal dari bahasa Arab yang berarti “seseorang yang dimiliki”, maknanya setara dengan kepemilikan terhadap barang tertentu, atau bila disederhanakan, Mamluk artinya adalah “budak”. Meskipun Mamluk secara faktanya memang budak, namun penting untuk diketahui bahwa gambaran tentang sosok Mamluk jauh dari gambaran umum tentang budak, yang dalam gambaran masyarakat Barat budak berarti sekelompok orang kulit hitam Afrika yang dirantai dan dibawa melintasi Atlantik menuju Amerika.
Atau sebut saja, tokoh ikonik Islam, seorang mantan budak berkulit hitam yang menjadi muadzin pertama dalam Islam, Bilal bin Rabah. Meskipun budak, Mamluk sebenarnya berkulit putih dan menikmati status sosial yang tinggi dalam masyarakat Mesir karena mereka mendapatkan pelatihan militer yang ekstensif dan juga berbiaya tinggi.
Mamluk tidak hanya ditemukan di Mesir. Pada waktu yang berbeda dalam sejarah, Mamluk juga memantapkan diri mereka sebagai kekuatan yang berkuasa di Irak, Persia, dan juga India. Meskipun Mamluk yang naik ke tampuk kekuasaan di Mesir datang dari berbagai macam tempat, namun biasanya kebanyakan dari mereka adalah orang Turki. Bagi orang Arab, suku-suku non-Muslim di Turki adalah sasaran yang disukai untuk direkrut dan dibeli karena mereka merupakan prajurit berbakat yang memiliki keterampilan menunggang kuda dan bertarung yang mengagumkan.
Mamluk juga kadang-kadang merupakan tawanan perang yang dibawa pulang oleh pasukan yang memenangkan perang – seperti yang dilakukan oleh orang-orang Mongol sekembalinya mereka dari medan perang – atau sebagai tawanan perang yang diperjualbelikan. Setelah seorang Muslim Arab membeli budak Mamluk, budak itu diharapkan untuk masuk Islam juga. Perlu dicatat, bahwa meskipun hukum syariah melarang perbudakan terhadap seseorang yang dari sejak lahir merupakan seorang Muslim yang merdeka, namun seorang budak yang masuk Islam tidak secara otomatis memenangkan hak atas kemerdekaannnya.[1]
Namun demikian, meskipun mereka budak, pada prakteknya para Mamluk dapat memperoleh pendidikan yang layak, termasuk pelajaran agama dan bahasa Arab. Tetapi bagaimanapun, pelatihan berperang, yang di antaranya adalah menunggang kuda atau memanah, merupakan prioritas utama pendidikan untuk Mamluk.[2] Sehingga orang-orang Mamluk terkenal akan keberanian dan keterampilan mereka dalam menggunakan senjata. Secara turun-temurun orang-orang Mamluk mewarisi kemampuan militer, dan mereka terbiasa hidup dengan tradisi-tradisi militeristik.[3]
Pemanfaatan orang-orang Mamluk sebagai komponen utama tentara Muslim, yang nantinya akan menjadi ciri khas peradaban Islam, pertama kalinya terjadi pada awal abad ke-9. Praktek ini dimulai di Baghdad oleh khalifah Abbasiyah pada waktu itu, al-Muʿtaṣim (833–842). Segera setelahnya praktek ini menjadi menyebar ke seluruh dunia Muslim.
Selain itu, di berbagai tempat, output politik yang dihasilkan oleh Mamluk hampir selalu sama: para budak mengeksploitasi kekuatan militer yang diberikan kepada mereka untuk merebut kekuasaan politik yang sah, sering hanya sebentar tetapi kadang-kadang untuk periode waktu yang sangat lama. Dengan demikian, segera setelah pemerintahan al-Muʿtaṣim, kekhalifahan Abbasiyah itu sendiri menjadi korban para jenderal Mamluk Turki, yang mampu melengserkan atau membunuh khalifah hampir tanpa kekebalan hukuman apapun.
Di Baghdad, meskipun sistem kekhalifahan dipertahankan sebagai simbol otoritas yang sah, namun kekuasaan yang sebenarnya ada di tangan para jenderal Mamluk; dan bahkan pada abad ke-13, sebagaimana nanti akan dibahas lebih detail dalam seri artikel ini, Mamluk berhasil membangun dinasti-dinasti mereka sendiri, seperti di Mesir dan di India, di mana sultan-sultannya tentu saja berasal dari kaum budak, atau ahli waris dari mereka.[4] (PH)
Bersambung ke:
Asal-Usul Dinasti Mamluk (2): Shajar ad-Durr, Sultan(a) Pertama Mamluk (1)
Catatan Kaki:
[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 135-136.
[2] Ibid., hlm 136.
[3] Ibid., hlm 234.
[4] “Mamlūk”, dari laman https://www.britannica.com/topic/Mamluk, diakses 4 Juli 2018.