“Shajar ad-Durr berarti ‘pohon mutiara’. Sejarah mencatat bahwa dia adalah seorang perempuan cantik, shaleh, dan juga cerdas.”
–O–
Setelah Sultan Saladin (pendiri Dinasti Ayyubiyah) meninggal, persaingan di antara anggota keluarga penguasa dengan cepat melemahkan Dinasti Ayyubiyah dari dalam. Sultan Ayyubiyah terakhir yang memiliki kekuatan nyata di Damaskus dan Kairo adalah as-Salih Ayyub. Pada tahun 1249, di tengah-tengah perebutan kekuasaan yang terjadi di Suriah, sebuah berita sampai ke as-Salih, bahwa pasukan Prancis telah menyerbu Mesir. Dengan sedikit pilihan, as-Salih terpaksa harus kembali ke Mesir, ke ibukota Ayyubiyah di Kairo. Namun, begitu dia meninggalkan Damaskus, salah seorang pamannya malah mengambil alih kekuasaan di Suriah.
Sekembalinya ke Kairo, as-Salih mengamankan diri di dalam Benteng pertahanan — pusat kekuasaan yang sejak dulu dijaga ketat oleh Saladin — karena dia khawatir akan digulingkan oleh Mamluk yang telah dibesarkannya untuk menjadi kekuatan militer yang kuat. As-Salih bahkan tidak mempercayai putra dan pewarisnya, Turanshah, yang dia kirim ke Turki. Turanshah secara signifikan meningkatkan ukuran pasukan Mamluk-nya dengan membeli ribuan budak baru suku Kipchak-Turki.
Peluang berubahnya nasib Mamluk justru terjadi pada saat Prancis melakukan invasi ke Mesir. Invasi ini berada di bawah kepemimpinan Louis IX, yang mana oleh Barat disebut sebagai Perang Salib Ketujuh. Invasi asing ini akan menciptakan ketidakpastian politik yang memberi Mamluk kesempatan untuk mengambil alih kekuasaan.[1]
Shajar ad-Durr, Sultan Pertama Mamluk
Ketika berperang melawan penjajahan Prancis, as-Salih terluka dalam pertempuran. Luka ini menyebabkan kakinya infeksi berat, dia menderita abses. Untuk menyelamatkan nyawanya, dokter mendorongnya untuk melakukan amputasi kaki. Namun sayangnya dia tetap tidak tertolong dan akhirnya meninggal. Dengan meninggalnya as-Salih, maka roda sejarah bergulir kepada Shajar ad-Durr — istri favorit as-Salih, dan kelak wanita ini yang akan menjadi sultan Mamluk pertama.
Shajar ad-Durr berasal dari Armenia atau Turki, sejarah mencatat bahwa dia adalah seorang perempuan cantik, shaleh, dan juga cerdas. Tidak ada yang tahu siapa nama dia sesungguhnya, dan siapa orang tuanya. Shajar ad-Durr sebelumnya adalah seorang budak, dan tidak ada seorang pun yang tertarik pada masanya untuk mencatat asal-usul detail kehidupannya. Namun bahwasanya Shajar ad-Durr ini merupakan seorang perempuan cantik, tampaknya ini memang fakta, paling tidak itu bisa dilihat dari namanya yang berarti “pohon mutiara”. [2]
Sebelum as-Salih meninggal dia telah menandatangani sejumlah besar kertas perintah yang kosong, yang mana memungkinkan Shajar ad-Durr setelah kematian suaminya, untuk dapat terus mengeluarkan keputusan atas nama as-Salih. Shajar ad-Durr hanya berbagi berita tentang kematian as-Salih dengan komandan militernya, dia merahasiakannya dari Turanshah. Pada masa-masa ini Shajar ad-Durr telah berperan menjadi sultan yang seharusnya posisi tersebut adalah milik Turanshah.[3]
Desas-desus tentang kematian as-Salih segera bocor, dan tentara salib merasa yakin bahwa kemenangan mereka sudah dekat. Shajar ad-Durr memainkan skenario bahwa as-Salih masih hidup, dan meskipun berada dalam kondisi sakit dia tetap dapat memberikan perintah, yang mana sebenarnya itu ditulis sendiri oleh Shajar ad-Durr. Strategi ini terbilang sukses, sehingga dapat menaikan moral prajurit Mesir.
Ketika tentara salib menyerang kamp Mesir pada 8 Februari 1250 di daerah al-Mansurah, komandan senior Mamluk yang bernama Baibars yang telah mengambil alih komando terbukti mampu menjadi pemimpin. Pasukan Mamluk sengaja membuka gerbang kota untuk membuat tentara salib berpikir bahwa pasukan Mesir sedang lengah. Pasukan Prancis yang merasa di atas angin menyerbu masuk ke dalam kota, mereka telah termakan oleh perangkap.
Hasilnya adalah pembantaian. Lebih dari 15.000 tentara salib tewas, bersama dengan hampir 400 bangsawan, dan prajurit Templar yang memimpin pasukan. Raja Prancis, Louis IX, dan dua orang saudara laki-lakinya berada di antara sekian banyak yang dijadikan tawanan perang. Perang ini adalah kemenangan besar yang menentukan, dan mengakhiri ancaman apapun dari Eropa selama beberapa dekade.[4]
Tetapi sekembalinya Turanshah dari Turki pada Februari 1250, Shajar ad-Durr dipaksa untuk mengatakan kebenaran. Setelah mengetahui bahwa ayahnya telah mati, maka Turanshah segera mengambil haknya untuk menjadi sultan baru Dinasti Ayyubiyah di Mesir. Turanshah kemudian berniat untuk menggantikan pasukan Mamluk lama dengan Mamluk baru yang telah dibelinya.[5]
Alih-alih membiarkan diri mereka diganti, Mamluk lama menyerang istananya ketika sedang perjamuan. Meskipun tangannya sudah terbelah karena sabetan pedang, Turanshah masih sempat melarikan diri dan mencoba berlindung di sebuah menara di Sungai Nil, tetapi Mamluk membakar menara itu. Dari menara dia lari ke sungai, saat lari tulang rusuknya terpukul oleh tombak. Di sungai dia berdiri dan memohon ampunan untuk hidupnya, bahkan dia juga berkata rela untuk turun tahta. Namun sudah terlambat, Mamluk membalas kata-katanya dengan panah. Baibars kemudian menyusulnya ke sungai dan membabatnya dengan pedang.[6]
Setelah kurang dari tiga bulan berkuasa, Turanshah akhirnya dibunuh oleh Baibars, orang yang berjasa mengalahkan penjajahan Prancis – dan dia loyal terhadap Shajar ad-Durr. Maka dengan matinya Turanshah, garis keturunan Ayyubiyah telah berakhir. Shajar ad-Durr kemudian dijadikan Sultana Mesir pada tanggal 2 Mei 1250, yang menjadi penanda dimulainya kekuasaan Dinasti Mamluk sampai 250 tahun ke depan.[7] (PH)
Bersambung ke:
Asal-Usul Dinasti Mamluk (3): Shajar ad-Durr, Sultan(a) Pertama Mamluk (2)
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 136.
[2] Ciaran Conliffe, “Shajar al-Durr, Queen of Egypt”, dari laman https://www.headstuff.org/culture/history/terrible-people-from-history/shajar-al-durr-queen-egypt/, diakses 6 Juli 2018.
[3] Eamon Gearon, Ibid., hlm 137.
[4] Ciaran Conliffe, Ibid.
[5] Eamon Gearon, Loc. Cit.
[6] Ciaran Conliffe, Ibid.
[7] Eamon Gearon, Loc. Cit.