Mozaik Peradaban Islam

Ayuba Suleiman Diallo (2): Hafiz Alquran

in Tokoh

Last updated on November 20th, 2019 11:48 am

Pada usia 15, Ayuba telah hafal seluruh isi Alquran dan menguasai fikih mazhab Maliki. Suatu waktu, dalam misi perjalanan dagang, Ayuba ditangkap dan dijual sebagai budak. Orang terhormat ini direndahkan.

Lukisan Ayuba Suleiman Diallo, koleksi milik The New York Public
Library, Schomburg Center for Research in Black Culture, Photographs and
Prints Division

Di Afrika Barat, terdapat sebuah suku Muslim terbesar yang bernama Fulani, mereka juga kadang disebut sebagai suku Peul atau Fulbe. Orang-orang ini, tersebar di banyak bagian Afrika Barat, mulai dari Danau Chad di timur hingga ke pantai Atlantik. Mereka utamanya terkonsentrasi di Nigeria, Mali, Guinea, Kamerun, Senegal, dan Niger.[1]

Meski tidak diketahui dengan pasti, namun mereka dipertimbangkan sebagai penduduk asli Afrika Barat dan Afrika Utara yang sudah ada dari sejak zaman kuno. Mereka juga dikatakan sebagai suku pertama di Afrika Barat yang memeluk Islam. Secara umum orang-orang Fulani dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu (1) Orang-orang Nomaden/Penggembala Mbororo, (2) orang-orang semi-nomaden, dan (3) penduduk urban yang menetap.[2]

Suku Nomaden Fulani pada masa kini di Nigeria. Foto: Luis Tato/AFP

Sebagai suku Muslim, orang-orang Fulani mengamalkan tradisi-tradisi di dalam Islam. Mereka salat wajib lima kali dalam sehari, belajar melafalkan Alquran dengan hati, dan memberikan sedekah kepada yang membutuhkan. Dalam setiap tahunnya, setiap bulan Ramadan mereka berpuasa. Dan setidaknya sekali dalam seumur hidup, mereka melakukan ziarah ke tanah suci Islam di Makkah.[3]

Pada tahun 1700, di tengah-tengah lingkungan seperti ini, di kota Bundu, wilayah Senegambia (sekarang Senegal), lahirlah seorang anak yang diberi nama Ayuba Suleiman Diallo. Dia merupakan anak dari keluarga bangsawan Fulani yang sejahtera dan terhormat. Ayahnya, Suleiman, adalah seorang ulama Muslim yang sangat dihormati. Dia diberi kepercayaan untuk menjadi guru bagi pangeran, putra sang Raja. Ketika ayahnya mengajar sang Pangeran, Ayuba juga hadir di dalam kelasnya.[4]

Di tengah-tengah kehidupan istana dan dikelilingi oleh para ulama terkemuka, pada usia yang masih sangat muda, Ayuba telah menghafal seluruh isi Alquran, dia adalah seorang hafiz.[5] Catatan sejarah lain mengatakan bahwa pada waktu itu usianya baru 15 tahun, dan selain sebagai hafiz, dia juga telah menguasai fikih mazhab Maliki.[6] Dengan kemampuan seperti itu, Ayuba diberi kepercayaan untuk membantu tugas-tugas ayahnya sebagai Imam.[7]

Suleiman, ayah Ayuba, selain sebagai ulama, juga adalah sosok yang berperan penting dalam kancah perpolitikkan, dia telah membantu mendirikan kota Bundu, kota tempat di mana Ayuba dibesarkan. Bundu adalah kota Islam orang-orang Fulani, sebuah kota yang diperjuangkan melalui “Fula Pertama”, atau jihad orang-orang Fulani.[8]

Melalui peristiwa itu, orang-orang Fulani menjadikan kota tersebut sebagai negara-kota Islam. Peristiwa ini terjadi 10 tahun sebelum Ayuba dilahirkan.[9] Sebelumnya, Bundu berada di bawah kendali seorang raja dari Mande.[10]

Menginjak usia 31, Ayuba telah mencapai kemapanan, dia memiliki dua istri dan empat anak: Abdullah, Ibrahim, Sambo, dan Fatimah. Pada titik inilah, di puncak masa mudanya, hidupnya akan berubah secara dramatis. Pada tahun 1731, dia melakukan misi perjalanan dagang ke Gambia di pantai Atlantik, di mana Portugis dan Inggris telah mendirikan pelabuhan komersial. Ayuba datang ke sana dengan seorang penerjemah, Loumein Yoas, untuk membeli kertas,[11] dan menjual dua orang budak.[12]

Secara tradisional, orang-orang Fulani sebenarnya terbiasa membeli kertas dari Afrika Utara dan Timur Tengah, tetapi sekarang kertas itu dapat dibeli dengan lebih mudah dari orang-orang Eropa. Tetapi tidak semua orang Eropa datang ke sana untuk menjual kertas, banyak di antara mereka yang datang ke sana untuk membeli (atau menangkap) budak.

Setelah membeli kertas dan menjual dua orang budaknya, dalam perjalanan pulang ke Bundu, sebelum mereka mencapai tujuan, Ayuba dan Loumein ditangkap oleh para pedagang budak dari suku Afrika lainnya, yaitu suku Mandingo. Orang-orang ini kemudian menggunduli kepala Ayuba dan memangkas habis janggutnya.

Bagi Ayuba, diperlakukan seperti ini sama saja dengan penghinaan, meskipun para penculiknya mungkin saja tidak memikirkan hal-hal semacam itu – kehormatan – yang mereka pikirkan adalah hal-hal praktis, yaitu bagaimana membuat tawanan mereka seolah-olah adalah hasil tangkapan perang, sehingga mereka nantinya dapat dengan lebih mudah dijual sebagai budak.[13] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Encyclopaedia Britannica, “Fulani”, dari laman https://www.britannica.com/topic/Fulani, diakses 15 November 2019.

[2] Pray Africa, “The Fulani of Niger”, dari laman https://prayafrica.org/project/fulani-west-africa/, diakses 15 November 2019.

[3] Countries and Their Culture, “Fulani”, dari laman https://www.everyculture.com/wc/Germany-to-Jamaica/Fulani.html, diakses 15 November 2019.

[4] Lowcountry Digital History Initiative, “Ayyuba Suleiman Diallo (Job Ben Solomon) (1701-1773)”, dari laman https://ldhi.library.cofc.edu/exhibits/show/african-muslims-in-the-south/five-african-muslims/ayyuba-suleiman-diallo, diakses 15 November 2019.

[5] Ibid.

[6] OnePath Network, “The incredible journey of an African Muslim Slave – Ayuba Suleiman Diallo”, dari laman https://www.youtube.com/watch?v=qp5TvIyJHoQ, diakses 15 November 2019.

[7] Lowcountry Digital History Initiative, Loc.Cit.

[8] Ibid.

[9] Sylviane A. Diouf, Servants of Allah: African Muslims Enslaved in the Americas (New York University Press, 2013), hlm 41.

[10] Lowcountry Digital History Initiative, Loc.Cit.

[11] Hassam Munir, “’Allah. Muhammad.’ Ayuba Diallo’s Long Journey Back to Africa”, dari laman http://www.ihistory.co/slave-of-allah-alone-ayuba-diallos-return-to-africa/, diakses 15 November 2019.

[12] Sylviane A. Diouf, Op.Cit., hlm 191-192.

[13] Hassam Munir, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*