Mozaik Peradaban Islam

Ayuba Suleiman Diallo (1): Bangsawan Afrika yang Menjadi Budak di Amerika

in Tokoh

Last updated on November 15th, 2019 11:11 am

Tahun 1730, Ayuba yang seorang bangsawan ditangkap, digunduli, dan dijual sebagai budak ke Amerika. Hidupnya berubah total. Di Amerika, ketika sedang salat dia diganggu bocah kulit putih, dan dilempari kotoran berkali-kali.

Lukisan Ayuba Suleiman Diallo karya William Hoare (antara sekitar tahun 1707 hingga sekitar tahun 1792)

Ayuba Suleiman Diallo adalah seorang bangsawan Muslim asli asal Afrika Barat. Dia berkulit hitam. Namun pada tahun 1730 atau 1731, nasib Ayuba yang waktu itu masih berusia 31 tahun secara dramatis berubah total, dia ditangkap dan dijual sebagai budak ke Amerika Utara (sekarang Amerika Serikat).

Sebagai budak, rambut dan janggutnya digunduli sehingga sebagai seorang bangsawan dia merasa terhina. Meskipun masih dalam perdebatan, beberapa menganggap bahwa Ayuba adalah Muslim pertama yang berada di Amerika. Kelak, kehidupannya di Dunia Barat sebagai budak akan menginspirasi begitu banyak orang.[1]

Sebelum masuk kepada kisah Ayuba, penulis akan menggambarkan terlebih dahulu situasi di Afrika Barat pada masa-masa itu.

Penyebaran Islam di Afrika Barat

Sejak tahun 1501, keberadaan agama Islam di Afrika Barat sudah mencapai pada tahap kemapanan. Namun apabila dilacak lebih jauh ke belakang, Islam sebenarnya sudah masuk ke Benua Afrika dari sejak tahun 660, yakni di Afrika Utara. Melalui Bagian selatan Sahara, yang menjadi batas antara Afrika Barat dan Afrika Utara, Islam sudah dikenal dari sejak abad ke-8 melalui kontak dengan pedagang dari utara.

Namun, Islam, yakni mazhab Suni, mulai menyebar setelah dua penguasa di Afrika Barat, yakni War Diaby dan Kosoy pada abad ke-11 memutuskan untuk memeluk agama Islam. War Diaby (atau War Jabi) adalah raja Kerajaan Takrur (sekarang berada di Senegal Utara) yang setelah memeluk Islam menerapkan hukum Islam atau syariat di kerajaannya. Dengan demikian, Takrur menjadi kerajaan pertama di Afrika Barat yang menjadi negara Islam.[2]

Sedangkan Kosoy (atau Za Kusoy), adalah raja pertama dari kerajaan tua, Songhay (sekarang berada di Mali dan Sudah Barat), yang memutuskan masuk Islam. Di bawah kepemimpinannya, dia menjadikan kerajaan kecil di Gao menjadi negara Islam. Pada masa kekuasaannya, Kosoy berhasil menarik para pedagang dari Afrika Utara untuk mendatangi kerajaannya.[3]

Dalam waktu lima puluh tahun sejak itu, Islam kemudian berkembang lebih jauh mulai dari tepi Sungai Senegal di barat hingga ke pantai Danau Chad di timur. Kemudian pada abad ke-14, para pedagang dan ulama dari Mali mulai memperkenalkan Islam ke Nigeria Utara – di sana para Muslim dikenal dengan sebutan Malé, atau orang-orang yang datang dari Mali .

Berbeda dengan kedatangannya di Afrika Utara, yakni Islam dibawa oleh orang-orang Arab dengan cara ekspansi militer, penyebaran Islam di sub-Sahara Afrika kebanyakan terjadi dengan cara-cara yang damai dan tidak menarik perhatian. Perang agama atau jihad di Afrika Barat, baru terjadi belakangan, yakni pada abad ke-18 dan terutama pada ke-19.

Para penyebar agama Islam di Afrika Barat adalah penduduk asli, yaitu para pedagang pribumi, ulama, dan penguasa, dan oleh karenanya orang-orang yang belum masuk Islam pun beranggapan bahwa Islam secara sosial dan kultural dekat dengan mereka. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa budaya dan adat tradisional Afrika seperti kurban hewan, sunat, poligami, doa bersama, ramalan-ramalan orang suci, dan pembuatan talisman, juga ada di dalam agama Islam.

Kedekatan-kedekatan semacam itu, dan juga toleransi Islam terhadap ritual-ritual dan kepercayaan tradisional, pada akhirnya mempermudah penyebaran Islam. Sehingga banyak orang Afrika sendiri yang menganggap bahwa Islam sejatinya adalah agama orang-orang Afrika.

Islam dan Muslim dengan cepat kemudian menjadi bagian integral dari lanskap Afrika Barat, tetapi Islam pada waktu itu bukanlah agama mayoritas, namun para pengikutnya hidup berdampingan dengan non-Muslim. Seperti halnya agama apa pun, Islam di Afrika juga memiliki beragam pengikut – moderat, fundamentalis, sekadar identitas, dan kaum sufi mistik.

Hal lainnya yang juga mendorong penyebaran Islam secara lebih cepat adalah karena Islam dianggap identik dengan kemajuan dan peradaban yang lebih besar. Para Muslim Afrika Barat memiliki ikatan ekonomi, agama, dan budaya ke dunia yang lebih luas dan langsung, yakni dengan Maghrib, Mesir, dan Timur Tengah.

Kerajaan-kerajaan Muslim seperti Kanem dan Mali telah menjalin hubungan diplomatik dengan Maroko, Tunisia, Mesir, dan Aljazair. Para peziarah dalam perjalanannya ke Makkah akan singgah di Mesir. Sultan Kanem, Mai Dunama Dibbalemi (berkuasa sekitar 1221 – 1259), membangun sebuah sekolah di Kairo untuk rakyatnya yang belajar di sana.

Mansa Musa dari Mali, dalam perjalanan hajinya ke Makkah pada tahun 1324, menghabiskan begitu banyak emas sehingga dia seorang diri dapat membuat pasar emas goyang. Sekembalinya dari sana dia membawa para ahli hukum dan para sayyid, yakni keturunan Nabi Muhammad. Selain itu dia juga membawa arsitek Muslim asal Spanyol dan mengirim banyak pelajar ke Afrika Utara.

Pada waktu itu terjadi pertukaran ahli tafsir, cendekiawan, ahli hukum, dan ahli ilmu kalam yang terus-menerus antara sub-Sahara Afrika, Maghrib, dan Timur Tengah. Selain itu, dapat dipastikan hampir semua Muslim dapat membaca, karena dalam salat dan membaca Alquran, orang-orang Islam harus dapat menguasai bahasa Arab.

Perkembangan lebih jauhnya adalah, para komunitas Muslim mendirikan sekolah-sekolah dan Madrasah. Bukan hanya para orang tua Muslim, orang tua non-Muslim pun mengirimkan anak-anaknya untuk belajar kepada marabout (guru atau ulama), karena mereka menyadari tentang betapa bermanfaatnya ilmu yang akan mereka dapat.

Masuk ke abad 15, Islam di Afrika Barat secara perlahan mulai dikaitkan dengan tarekat sufi. Para pemimpin sufi menawarkan jalan mistik kepada Muslim secara lebih pribadi, lebih langsung, dan lebih “manusiawi”, ketimbang dengan cara-cara yang ditawarkan oleh para intelektual dan ulama fikih yang kaku, sehingga mereka menjadi lebih diminati.

Tarekat sufi yang paling besar di Afrika Barat hingga pertengahan abad ke-19 adalah Tarekat Qadiriyah, sebuah tarekat yang didirikan oleh Abdul Qadir al-Jailani di Baghdad pada tahun 1078 hingga 1166. Jejak-jejak tarekat tersebut bahkan masih dapat teridentifikasi hingga hari ini.[4] (PH)

Bersambung ke:

Catatan Kaki:


[1] Edward E. Curtis IV, Muslims in America (Oxford University Press, 2009), hlm 1-2.

[2] Sylviane A. Diouf, Servants of Allah: African Muslims Enslaved in the Americas (New York University Press, 2013), hlm 20.

[3] “African Kingdoms: West Africa”, dari laman https://www.historyfiles.co.uk/KingListsAfrica/AfricaNiger.htm, diakses 11 November 2019.

[4] Sylviane A. Diouf, Op.Cit., hlm 20-24.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*