Mozaik Peradaban Islam

Penaklukan Persia (15): Strata Sosial di Persia (1)

in Sejarah

Last updated on September 11th, 2020 12:46 pm

Kisra II mempunyai 3.000 orang istri dan 12.000 perempuan penyanyi…. Dia memiliki 960 gajah dan 12.000 keledai untuk membawa bawaannya. Dia juga mempunyai 1.000 ekor unta.

Foto ilustrasi Istana Persia. Foto: Lili Ab/Pinterest

Kemewahan Istana Persia

Raja-raja Dinasti Sasaniyah umumnya gemar akan kemewahan dan kerakusan. Kemegahan dan kemewahan istana mereka menyilaukan mata.

Pada masa Sasaniyah, orang Persia memiliki bendera yang dinamakan Dirafsy-i Kivyani. Bendera ini dikibarkan di medan pertempuran atau dipancangkan di puncak istana pada saat upacara-upacara perayaan. Bendera itu bertatahkan intan dan permata.

Menurut seorang penulis, bendera yang tiada bandingannya ini berharga sekitar 1,2 juta dirham (sekitar 30.000 pound Inggris).

Di istana-istana besar Dinasti Sasaniyah terdapat sedemikian banyak permata dan barang mewah lainnya, juga gambar dan lukisan, yang menyilaukan mata. Untuk mengenal keajaiban istana-istana ini, cukuplah dengan melihat suatu permadani besar yang terbentang di balai salah satu istana itu.

Permadani yang dinamakan Babaristani Kisra ini dibuat atas perintah penguasa Sasaniyah dengan tujuan untuk menimbulkan gairah pada saat berpesta dan agar mereka selalu dapat melihat pemandangan indah musim semi yang menggairahkan.

Dikatakan bahwa permadani ini berukuran 150 x 70 hasta (sekitar 68 x 32 meter). Seluruh lekuk dan pinggirannya ditenun dengan emas, dan bertatahkan permata.[1]

Di antara raja-raja Sasaniyah, yang paling gemar akan kemewahan adalah Kisra II (Abarwiz). Dia memiliki ribuan istri, budak wanita, penyanyi, dan pemusik di istananya.

Di dalam bukunya Sani Mulukul Arz (raja-raja besar di dunia), Hamzah Isfahani menggambarkan, “Khosru Parvez (Kisra II Abarwiz) mempunyai 3.000 orang istri dan 12.000 perempuan penyanyi. Enam ribu lelaki selalu siap melayaninya sebagai pengawal. Kuda sebanyak 8.500 ekor menjadi tunggangannya. Dia memiliki 960 gajah dan 12.000 keledai untuk membawa bawaannya. Dia juga mempunyai 1.000 ekor unta.”[2]

Tabari menambahkan, “Raja ini lebih gemar akan permata dan priring-piringan yang mewah ketimbang apa pun.”[3]

Kondisi Sosial di Persia

Kondisi sosial Persia pada masa Sasaniyah sama sekali tidak Iebih baik daripada kondisi politik di istana. Pembagian kelas sosial yang telah lama ada di Persia mencapai puncaknya pada masa Sasaniyah. Kaum aristokrat dan para pendeta berkedudukan jauh Iebih tinggi daripada golongan lainnya. Semua jabatan dan lowongan pekerjaan penting dicadangkan untuk mereka.

Para pengrajin dan petani tidak mempunyai hak sosial dan hak perdata. Mereka harus membayar pajak dan ikut serta dalam pertempuran, dan hanya itu yang boleh dikerjakan oleh mereka.

Nafisi menulis tentang perbedaan kelas pada masa Sasaniyah, “Penyebab utama perpecahan di kalangan orang Iran (Persia) adalah pembaharuan kelas yang amat tajam yang ditetapkan oleh Dinasti Sasaniyah. Ini berasal dari peradaban masa lampau, tetapi menjadi jauh Iebih ketat pada masa Sasaniyah.”

Tujuh keluarga aristokrat – belakangan ditambah lima kelas lainnya – menikmati hak-hak istimewa, sedang orang biasa tak memilikinya. Hampir semua “kepemilikan” terbatas pada tujuh keluarga itu.

Penduduk Persia pada masa Sasaniyah kira-kira 140 juta jiwa. Apabila kita asumsikan setiap keluarga kelas atas ini terdiri dari 100.000 keluarga, maka jumlah mereka seluruhnya menjadi 700.000 jiwa. Dan apabila kita anggap para pejabat perbatasan, yang juga mempunyai hak-hak kepemilikan hingga ukuran tertentu, berjumlah 700.000 jiwa pula, maka hanya sekitar 1,5 juta orang dari 140 juta rakyat yang mempunyai hak kepemilikan, sementara sisanya tidak memilikinya.[4]

Para pengrajin dan petani, yang tidak mempunyai hak apa pun tetapi harus memikul beban berat biaya kaum bangsawan itu, tidak merasa perlu untuk mempertahankan kondisi ini. Karena itu, kebanyakan petani dan rakyat kelas bawah menghindari profesi mereka dan mencari perlindungan di biara-biara untuk meloloskan diri dari beban pajak yang berat.[5]

Setelah menguraikan bencana yang menimpa para pengrajin dan petani Persia, penulis buku Iran dar Zaman-i Sasaniyan, mengutip kata-kata sejarawan Eropa A. Marcilinos menuturkan, “Para pengrajin dan petani menjalani kehidupan yang sangat sengsara pada masa Sasaniyah. Dalam pertempuran, mereka berjalan kaki di belakang pasukan. Mereka dipandang hina dan tak berharga, seakan-akan perbudakan abadi telah ditakdirkan bagi mereka; mereka tak menerima upah atau ganjaran atas pekerjaan yang mereka lakukan itu.”[6]

Di Imperium Sasaniyah, hanya satu persen penduduk yang memiliki segala-galanya, sedangkan 99 persen lainnya hanyalah seperti budak yang tidak mempunyai hak hidup.[7] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Payambar-i Rehnuma (Vol I, hlm 42-43), dalam Ja’far Subhani, Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm 38.

[2] Hamzah Isfahani, Sani Mulukul Arz wal Ambiya (hlm 240), dalam Ja’far Subhani, Ibid., hlm 38-39.

[3] Tarikh ath-Thabari, sebagaimana dikutip oleh Christensen, hlm 327, dalam Ja’far Subhani, Ibid., hlm 39.

[4] Murtaza Ravandi, Tarikh-i ljtima’i Iran (Vol II, hlm 24-26), dalam Ja’far Subhani, Ibid.

[5] Shaykh Syed Abul Hasan Ali Nadvi, Limadza Khasir al-‘Alam bi Inhitat al-Muslimin (hlm 70-71), dalam Ja’far Subhani, Ibid., hlm 40.

[6] A Christensen, Iran dar Zaman-i Sasaniyan (hlm 424), dalam Ja’far Subhani, Ibid.

[7] Ja’far Subhani, Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*