Mozaik Peradaban Islam

Penaklukan Persia (14): Dosa Kaum Majusi (2)

in Sejarah

Last updated on September 9th, 2020 09:36 am

Raja Kisra II membangun sebuah kuil api dan menempatkan 12.000 pendeta di dalamnya untuk menyanyikan lagu-lagu pujaan dan berdoa.

Kuil Ateshgah di Baku, Azerbaijan, dibangun pada abad ke-18 oleh komunitas Zoroastrianisme India di area ladang gas alam. Tempat ini sekarang tidak lagi menjadi tempat pemujaan, namun tetap dilestarikan sebagai situs Warisan Dunia dan api dijaga agar tetap menyala dengan pipa gas. Foto: Hemis/Alamy

Zoroastrianisme (yang melekat dan diklaim oleh Kaum Majusi) pada dasarnya adalah agama istana Sasaniyah. Para pendetanya, dengan memanfaatkan instrumen istana menekan rakyat yang tertindas agar tetap diam, menciptakan sebuah kondisi agar rakyat tetap pasrah dengan kesusahan mereka.

(Tentang kesusahan yang dialami rakyat Persia, akan dipaparkan dalam artikel selanjutnya).

Dengan keberadaan para pendeta yang memiliki kekuasaan tak terbatas dan telah melakukan penindasan kepada rakyat secara sistematis dan struktural, pada gilirannya membuat rakyat merindukan agama lain, yang mereka anggap bukan berasal dari kalangan aristokrat.[1]

Situasi ini digambarkan oleh Murtaza Ravandi, penulis buku Tarikh-i ljtima’i Iran, yang menulis, “… Terdesak oleh tekanan para pendeta, rakyat Iran (Persia) berusaha melepaskan diri dari kesulitan itu. Karena itu, berlawanan dengan kepercayaan resmi, muncul pula dua aliran lain di kalangan penganut Zoroastrianisme.”[2]

Karena kekerasan dan perlakuan kasar kaum bangsawan dan para pendeta di Persia pada zaman Sasaniyah, berbagai agama pun muncul, susul-menyusul. Pada awalnya muncul agama Mani, yang merupakan perpaduan antara ajaran Kristen dan Zoroastrianisme.[3]

Setelahnya muncul agama Mazdak, yang mendorong penghapusan seluruh ketidaksetaraan sosial, terutama mengenai kepemilikan pribadi, penyebab utama semua kebencian. Agama Mazdak menganggap bahwa semuanya harus dimiliki bersama, termasuk wanita.[4]

Segera setelah kalangan tertindas mengetahui rencana agama Mazdak, berduyun-duyunlah mereka menyambutnya. Mereka mengadakan revolusi besar di bawah ajaran ini. Satu-satunya tujuan semua kebangkitan dan gerakan itu ialah agar rakyat mendapatkan hak-hak sah yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka.[5]

Pada awalnya Mazdak sempat mendapatkan dukungan dari Raja Qubadh I (di Barat dikenal dengan nama Kavadh I). Sang Raja, tadinya mungkin berharap bahwa dengan menerapkan kebijakan penghapusan kepemilikan pribadi dia dapat membuat rakyat menjadi lebih penurut.

Namun, orang-orang kaya dan para pendeta, yang segera memahami ajaran dasar Mazdak langsung merasa terancam. Qubadh akhirnya malah digulingkan dan digantikan oleh saudaranya Jamasp. Setelah dua tahun di pengasingan, Qubadh akhirnya merebut kembali tahtanya, tetapi pandangan egaliternya telah dia lupakan, dan dia memutuskan untuk membasmi kaum Mazdak.[6]

Masuk pada masa Raja Kisra II (Abarwiz) – yang mana merupakan masa-masa akhir dinasti ini dan Nabi Muhammad saw hidup pada masa ini – dia membangun sebuah kuil api dan menempatkan 12.000 pendeta di dalamnya untuk menyanyikan lagu-lagu pujaan dan berdoa.

Agama Zoroastrianisme telah kehilangan segala realitasnya pada saat-saat terakhir Dinasti Sasaniyah. Api telah diberi label kesucian sedemikian besarnya sehingga menempa besi panas, yang berarti memanfaatkan sifat api, dianggap melanggar hukum.

Kebanyakan prinsip dan kepercayaan Zoroastrianisme telah dibangun berdasarkan takhayul dan dongeng. Pada masa ini, realitas agama Zoroastrianisme telah terjerumus ke dalam berbagai upacara sia-sia, membosankan, dan tak masuk akal.

Formalitas-formalitasnya terus diperluas oleh para pendeta untuk memperbesar kekuasaan mereka sendiri. Berbagai dongeng dan takhayul pandir telah memasuki agama ini sedemikian jauh sehingga beberapa kaum agamawan juga akhirnya tidak menyenanginya.

Di kalangan pendeta sendiri telah ada yang menyadari kehampaan ritus-ritus dan kepercayaan agama Zoroastrianisme, dan ingin membebaskan diri dari bebannya.[7]

Sejak masa Kisra I (Anushirwan) sebenarnya jalan pemikiran telah terbuka di Persia. Dia dikenal sebagai raja yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia membaca Plato dan Aristoteles dalam terjemahan bahasa Persia dan mendirikan universitas di Jundi Shapur, di mana kedokteran, filsafat, dan cabang sastra lainnya dipelajari. Dia juga mengimpor permainan catur dari lndia.[8]

Sebagai hasil masuknya pengetahuan dari Yunani dan India maupun dengan adanya kontak keyakinan Zoroastrianisme dengan agama Kristen dan agama-agama lainnya, keterbukaan itu makin lama makin kuat dan menimbulkan kesadaran rakyat.

Belakangan, lebih dari di masa mana pun, rakyat pun menyesali takhayul-takhayul dan anggapan sia-sia yang tak berdasar dari agama Zoroastrianisme.

Akhirnya, kehancuran yang muncul di kalangan kaum agamawan Zoroastrianisme, berikut takhayul serta dongeng-dongeng pandir yang telah memasuki agama itu, menjadi penyebab perselisihan dan perpecahan dalam keyakinan dan pandangan bangsa Persia.

Munculnya perbedaan dan hadirnya berbagai agama menimbulkan keraguan dan ketidakpastian pada pikiran para cendekiawan, yang, dari mereka, masuk pula secara berangsur-angsur ke dalam pikiran banyak orang.

Akibatnya, rakyat yang tadinya memiliki keyakinan mutlak dan kepercayaan sempurna terhadap Zoroastrianisme mulai ragu.

Demikianlah kekacauan keagamaan di Persia yang terjadi pada masa Sasaniyah. Barzuyah, dokter kenamaan di masa Sasaniyah, telah memberikan gambaran lengkap tentang keanekaragaman kepercayaan dan kondisi Persia pada masa Sasaniyah dalam kata pengantarnya pada buku Kalilah wa Dimnah.[9] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Ja’far Subhani, Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm 45.

[2] Murtaza Ravandi, Tarikh-i ljtima’i Iran (Vol II, hlm 20), dalam Ja’far Subhani, Loc.Cit.

[3] Ja’far Subhani, Ibid.

[4] Jacques Duchesne-Guillemin (ed), Zoroastrianism (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2014).

[5] Ja’far Subhani, Loc.Cit.

[6] Jacques Duchesne-Guillemin (ed), Loc.Cit.

[7] Ja’far Subhani, Op.Cit., hlm 44-46.

[8] Agha Ibrahim Akram, The Muslim Conquest of Persia (Maktabah: Birmingham, 1975), hlm 18.

[9] Ja’far Subhani, Op.Cit., hlm 46.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*