Khalifah meminta Hunayn untuk membuatkan racun untuk membunuh musuh-musuhnya. Hunayn menjawab, bahwa seorang dokter hanya mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi manusia.
Hunayn bin Ishaq disukai oleh Khalifah al-Mamun bukan hanya karena kemampuan menerjemahkannya saja, tapi juga karena ilmu kedokterannya. Bahkan meskipun Hunayn beragama Kristen Nestorian, dia juga diangkat oleh sang khalifah untuk menjadi dokter pribadinya.[1]
Setelah selama lima tahun bekerja sebagai kepala penerjemahan di Bayt Al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan), Hunayn kemudian mesti menyaksikan wafatnya khalifah yang telah begitu baik kepadanya.
Al-Mamun kemudian digantikan oleh adik tirinya, al-Mutasim (berkuasa 833-842 M), yang naik takhta ke tampuk kekhalifahan. Al-Mutasim kemudian digantikan oleh putranya, al-Whatiq (berkuasa 842-847 M).
Di bawah kedua khalifah pengganti al-Mamun ini, tidak ada peristiwa luar biasa apapun terkait aktivitas penerjemahan Hunayn di Bayt Al-Hikmah. Semuanya berjalan seperti biasa saja.
Keadaan kemudian berubah drastis ketika al-Mutawakkil naik menjadi khalifah (berkuasa 847-861 M), bukan hanya terjadi kepada Hunayn, tetapi juga kepada para cendekiawan yang berpikir bebas secara keseluruhan. Sebabnya adalah al-Mutawakkil merupakan seorang ortodoks Muslim, fanatik, dan berpikiran sempit, dia diketahui membenci capaian-capaian intelektual yang terjadi pada masa al-Mamun.
Al-Mutawakkil mempersekusi para Zandaqa (atau Zindiq), sebutan bagi para penganut Manichaeism, agama kuno Bangsa Persia. Dia juga mempersekusi orang-orang Mutazalilah, yang dikenal sangat mengagungkan akal dan mereka sebelumnya disukai oleh al-Mamun.
Al-Mutawakkil memburu orang-orang Mutazilah sehingga mereka mesti melarikan diri atau sembunyi, dan menggantung pemimpin mereka Ahmad bin Nasser beserta putranya pada tahun 856 M.
Catatan kekejaman al-Mutawakkil tidak berhenti sampai di sana, dia juga memerintahkan kepada para bawahannya untuk menyiksa hingga tewas tokoh intelektual Ibnu al-Zayyat pada tahun 847 M.[2]
Menurut sejarawan Islam al-Tabari, pada tahun 850 M al-Mutawakkil juga mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa setiap orang Kristen dan Yahudi wajib mengenakan pakaian yang berbeda dengan Muslim.
Al-Mutawakkil memerintahkan agar seluruh ahl al-dhimma (sebutan untuk orang Kristen dan Yahudi) diwajibkan memakai taylasan (kerudung) berwarna madu dan ikat pinggang zunnar. Dan jika berkuda, pelana dan sanggurdi mereka mesti terbuat dari kayu, dan dua bola harus dipasang di bagian belakang pelana mereka.[3]
Nasib Hunayn
Berkenaan dengan nasib Hunayn, al-Qifti, seorang biografer dan sejarawan asal Mesir dari abad ke-12; dan Ibnu Abi Usaybi’a, seorang dokter dan juga penulis biografi tentang para dokter asal Suriah dari abad ke-13, menuliskan kisah hidup Hunayn pada masa pemerintahan al-Mutawakkil. Di bawah ini adalah kisahnya:
Al-Mutawakkil mencurigai dan percaya bahwa Hunayn telah berkoalisi dengan Kekaisaran Bizantium, kekaisaran Kristen Romawi saingan Dinasti Abbasiyah. Untuk menguji kejujuran dan kesetiaan Hunayn, al-Mutawakkil memintanya untuk membuatkan racun yang sangat kuat untuk membunuh musuh-musuh sang khalifah.
Hunayn menolak permintaan ini, dan menjelaskan bahwa dia memiliki dua alasan, “Agama dan profesional: agama memerintahkan kita untuk menjadi baik dan murah hati, bahkan kepada musuh kita; kedokteran adalah profesi di mana dokter merawat orang ketimbang menghancurkan dan meracuni mereka.”
Meski demikian, al-Mutawakkil bersikeras, memaksanya untuk membuatkan racun tersebut. Hunayn mencoba mengelak, mengatakan bahwa dia memerlukan waktu untuk mempelajari rahasia cara-cara membuat racun.
Al-Mutawakkil tidak dapat menerima alasan ini, berpendapat bahwa penelitian ini akan memakan waktu yang cukup lama, sedangkan dia membutuhkan racun itu segera. Akibatnya, Hunayn dipenjarakan sepanjang tahun.
Meski di dalam penjara, Hunayn tetap melanjutkan pekerjaannya untuk menerjemahkan, mengedit, dan menulis. Selama aktivitas di dalam penjara itu para pengawas melaporkan aktivitas harian Hunayn kepada sang khalifah.
Setahun kemudian, Hunayn dilepaskan dan dibawa ke hadapan al-Mutawakkil. Sang khalifah memintanya lagi untuk membuatkan racun.
Ketika Hunayn menolaknya lagi, al-Mutawakkil memintanya untuk memilih antara kekayaan atau pedang (kematian). Hunayn menjawab dengan tabah, mengatakan bahwa dia hanya mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi manusia.
“Jika demikian, aku bunuh kamu!” kata al-Mutawakkil.
“Aku memiliki Tuhan yang akan memberikan hakku esok pada Hari Pembalasan. Jika Amirul Mukminin (yaitu al-Mutawakkil) memilih untuk mengambil kesalahannya sendiri, biarkanlah dia berbuat demikian,” jawab Hunayn.
Mendengar ini al-Mutawakkil membatalkan keinginannya untuk membunuh Hunayn, dan seiring berjalannya waktu sang khalifah menyadari kejujuran dan integritasnya, dan menunjuknya untuk menjadi dokter pribadinya.
Selain sebagai dokter pribadi, al-Mutawakkil juga meminta Hunayn untuk menjadi pengajar tentang literatur untuk dirinya. Pada waktu-waktu ini, beberapa karya terjemahan juga dibuat oleh Hunayn atas permintaan sang khalifah.
Tetapi sayangnya, kepercayaan al-Mutawakkil kepada Hunayn tidak berlangsung lama.[4] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Eamonn Gearon, The History and Achievements of the Islamic Golden Age (The Great Courses: Virginia, 2017), hlm 52.
[2] Adnan K. Abdulla, Translation in the Arab World: The Abbasid Golden Age (New York: Routledge, 2021), Chapter 6.
[3] Al-Tabari, “Decree of Caliph al-Mutawakkil (850)”, dari laman https://web.archive.org/web/20020714212429/http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/History/caliphdecree.html, diakses 10 Agustus 2021.
[4] Adnan K. Abdulla, Loc.Cit.