Mozaik Peradaban Islam

Bayt Al-Hikmah (11): Hunayn bin Ishaq (5): Di Bawah Tekanan Khalifah Al-Mutawakkil (2)

in Monumental

Last updated on August 12th, 2021 02:24 pm

Setelah mendapatkan jabatan yang istimewa sebagai kepala dokter istana, hidup Hunayn tiba-tiba berubah drastis kembali. Khalifah al-Mutawakkil menuduhnya sebagai seorang pengkhianat dan mesti menerima hukuman.

Ilustrasi suasana di Bayt Al-Hikmah. Foto: Unknown/Google

Karir Hunayn bin Ishaq di masa kepemimpinan Khalifah al-Mutawakkil berlangsung secara paradoks. Satu sisi dia diangkat setinggi-tingginya, sisi lain dia dijatuhkan serendah-rendahnya. Ini adalah masa terbaik sekaligus masa terburuk Hunayn di sepanjang hidupnya.

Ketika Hunayn diangkat oleh al-Mutawakkil untuk menjadi kepala dokter istana, secara luas dia menjadi dikenal sebagai dokter yang namanya amat termashyur. Bagi banyak dokter lainnya, posisi Hunayn adalah posisi impian.

Bagi Hunayn sendiri, posisi ini cukup membuatnya senang, sebab, ketimbang sebagai dokter sebelumnya dia lebih dikenal sebagai seorang penerjemah. Menjadi kepala dokter istana, itu sama saja artinya dengan bahwa Hunayn menjadi pemilik otoritas tertinggi di dalam dunia kedokteran pada masa itu.

Meski demikian, pada masa-masa ini Hunayn juga mengalami penghinaan terburuk yang pernah dia alami sepanjang hidupnya. Setelah peristiwa tentang racun, Hunayn mesti mengalami krisis lainnya lagi yang berujung dengan penghinaan publik. Oleh perintah al-Mutawakkil, Hunayn diikat, dicambuk, dan dipenjara selama sekitar enam bulan.

Hal lainnya, properti dan barang-barang milik Hunayn juga disita. Dalam peristiwa ini dia kehilangan seluruh buku-buku yang dicintainya. Seluruh kisah ini secara detail tertulis dalam surat Hunayn yang dikutip dalam buku Sejarah para Dokter yang ditulis oleh Ibnu Abi Usaybi’a pada tahun 1245.

Di dalam buku tersebut dijelaskan, bahwa seluruh kemalangan yang menimpa Hunayn terjadi karena kecemburuan para rekan dokternya dari Suriah. Apa yang menimpa Hunayn merupakan skenario atau plot yang dibuat oleh mereka karena mereka begitu iri dengan Hunayn yang mencapai prestasi terbesar pada masa itu, yaitu menjadi kepala penerjemahan di Bayt Al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) dan sekaligus menjadi kepala dokter istana.

Ibnu Abi Usaybi’a melaporkan, bahwa orang-orang yang terlibat dalam plot ini bukan hanya beberapa orang, tetapi banyak. Di dalamnya dituliskan bahwa, “Tetapi lima puluh enam orang, kebanyakan adalah orang-orang (Kristen) Nestorian yang melaporkan Hunayn kepada khalifah sebagai seorang penghujat (khalifah).”

Sebagaimana telah diulas dalam rangkaian artikel sebelumnya, padahal Hunayn sendiri adalah seorang penganut Kristen Nestorian yang taat.

Sebagaimana telah disebutkan, dia dipenjarakan selama beberapa bulan dan dicambuk dari waktu ke waktu. Tetapi yang terburuk dari semuanya sang khalifah menyita seluruh benda Hunayn, dia menganggap bahwa kehilangan seluruh bukunya adalah hukuman terberat dari semua hukuman yang diterimanya.

Dalam kata-katanya sendiri Hunayn menceritakan, “Aku telah kehilangan seluruh bukuku yang telah aku kumpulkan pada masa pembelajaran di kehidupan dewasaku dari seluruh daerah yang pernah aku datangi. Semuanya hilang dalam sekali pukulan.”

Rekan-rekan dokternya telah berhasil meyakinkan Khalifah al-Mutawakkil –yang mana tidak membutuhkan usaha yang begitu besar untuk meyakinkannya—bahwa Hunayn adalah seorang pembohong dan pengkhianat.

Setelah penangkapannya, Hunayn dicambuk ratusan kali, dia mengisahkan, “Pemandangan yang menyedihkan bagi semua orang yang melihatku.”

Di dalam suratnya, Hunayn menggambarkan keadaannya:

Aku tidak pernah mengeluh kepada siapapun mengenai keadaanku, betapapun buruknya. Aku bahkan memuji musuh-musuhku di dalam pertemuan publik dan di hadapan para pejabat besar.

Ketika aku diberitahu bahwa mereka memfitnah dan mengolok-olokku di dalam pertemuan-pertemuan ini, aku berpura-pura untuk tidak mempercayai apa yang telah diberitahukan kepadaku.

Sebaliknya, aku berkata, “Kita adalah satu entitas yang sama, disatukan oleh agama, kampung halaman, dan profesi yang sama.”

Kemudian aku tak dapat mempercayainya, bagaimana bisa orang-orang itu dapat mengatakan sesuatu yang buruk tentang orang lain? Biarkanlah aku sendiri….

Aku selalu berusaha memenuhi permintaan mereka dan menjadi teman setia mereka, dan aku tidak pernah membalas mereka atas perbuatan yang telah mereka lakukan kepadaku, tak seorang pun dari mereka.

Setelah mendengar apa yang telah dikatakan tentangku di depan publik, dan terutama di hadapan tuanku, Amirul Mukminin (yaitu Khalifah al-Mutawakkil), orang-orang bertanya-tanya mengapa aku tetap begitu peduli untuk melayani mereka.

Aku bahkan menjadikan ini sebuah kebiasaan, menerjemahkan buku-buku untuk mereka tanpa dibayar ataupun mendapatkan imbalan.[1] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Adnan K. Abdulla, Translation in the Arab World: The Abbasid Golden Age (New York: Routledge, 2021), Chapter 6. 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*