Mozaik Peradaban Islam

Bayt Al-Hikmah (12): Hunayn bin Ishaq (6): Di Bawah Tekanan Khalifah Al-Mutawakkil (3)

in Monumental

Last updated on August 13th, 2021 02:57 pm

Khalifah al-Mutawakkil menderita penyakit yang tak bisa disembuhkan, sampai dia bermimpi bertemu dengan Nabi Isa, yang menyatakan bahwa Hunayn dapat menyembuhkannya.

Lukisan tentang Yesus yang sedang menyembuhkan orang berpenyakit lepra. Lukisan karya Jean-Marie Melchior Doze, 1864. Foto: Public Domain

Setelah lebih dari enam bulan, Khalifah al-Mutawakkil menyadari lagi kesalahannya (lagi! Karena ini adalah yang kedua kalinya), apakah ini berdasarkan informasi dari mata-matanya ataupun karena pengakuan dari para pelaku pemfitnahan kepada Hunayn bin Ishaq itu.

Hunayn menceritakan, bahwa dalang dari seluruh siksaan yang menimpanya adalah seseorang yang disebutnya “musuh bebuyutanku”. Ibnu Abi Usaybi’a di dalam bukunya menyebutkan, bahwa orang yang dimaksud adalah Bakhtishu bin Jabril,[1] salah seorang rekan dokter Hunayn yang juga ternama.   

Bakhtishu dilaporkan sangat iri kepada Hunayn karena memiliki kemampuan menerjemahkan yang cemerlang, pengetahuan yang sangat luas, dan posisi yang tinggi di dalam istana.

Setelah diampuni dan memperoleh kemenangannya, Hunayn menyatakan:

“Pada akhirnya Yang Maha Kuasa menurunkan belas kasih-Nya kepadaku, mengembalikan rahmat dan kebaikan-Nya yang sudah biasa aku nikmati. Penyebab langsung dari pemulihanku adalah seseorang yang telah menjadi salah satu musuh bebuyutanku.

“Hal ini mendukung pernyataan Galen[2], bahwa orang-orang terbaik kadang-kadang dapat diuntungkan oleh musuh-musuh terburuk mereka. Sepanjang hidupku, orang itu adalah musuh terbaik.”

Kesalahan yang dilakukan oleh khalifah terhadap Hunayn diperbaiki melalui “petunjuk” favorit para penguasa pada masa itu – yaitu mimpi. Bagaimanapun, petunjuk melalui mimpi ini juga memiliki fungsi lain, yaitu menyelamatkan muka sang khalifah apabila telah mengambil suatu keputusan yang buruk dan dia hendak memperbaikinya.

Sang khalifah, yang menderita sebuah penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh dokter mana pun, rupanya percaya bahwa hanya Hunayn yang dapat menolongnya. Maka al-Mutawakkil mengumpulkan seluruh anggota majelisnya dan menceritakan tentang mimpi yang telah dialaminya.

Mimpi yang diceritakannya itu merupakan campuran dari takhayul, angan-angan, dan perasaan bersalah.

Dalam rangka penebusan atas ketidakadilan yang dia timpakan kepada Hunayn (atau mungkin sebenarnya dia hanya ingin Hunayn mau mengobati penyakitnya), sang khalifah menceritakan bahwa di dalam mimpinya dia melihat Yesus Kristus yang sedang bersama Hunayn, yang menyatakan bahwa Hunayn tidak bersalah.

Lebih jauh, sang khalifah menceritakan bahwa Yesus telah memberinya perintah untuk mengikuti petunjuk penyembuhan dari Hunayn.

Sang khalifah kemudian menyatakan, “Aku harus mengganti kerugianmu berkali-kali lipat atas semua kehilanganmu dan membuat musuh-musuhmu bergantung kepadamu dan menempatkanmu jauh tinggi di atas rekan-rekan seprofesimu.”

Setelahnya, Hunayn memperoleh kemenangan atas musuh-musuhnya dan mencapai posisi yang lebih tinggi di istana, dia bahkan secara resmi diberi gelar “dokter istana” (sebelumnya dia memperoleh gelar semacam ini secara informal saja, hanya karena kedekatannya dengan Khalifah al-Mutawakkil).

Seluruh kesalahan Hunayn diampuni oleh al-Mutawakkil, dan sementara itu seluruh musuh-musuhnya uangnya disita dengan jumlah yang amat besar, yang mana uang itu kemudian diberikan kepada Hunayn – selain itu dia juga mendapatkan harta-harta lainnya yang diberikan secara langsung oleh khalifah.

Setelah namanya dipulihkan, Hunayn melanjutkan pekerjaannya sebagai penerjemah dan dokter istana hingga wafatnya pada tahun 873 M.[3]

Pada tahun 861 M, Khalifah al-Mutawakkil dibunuh oleh pengawal Turki atas hasutan anaknya. Namun, Hunayn bin Ishaq masih tetap mendapat dukungan yang besar dari putra al-Mutawakkil tersebut, yaitu al-Muntasir (861-862 M); dan kemudian dari para khalifah penggantinya, yakni al-Mustain (862-866 M), al-Mutazz (866-869 M), al-Muhtadi (869 -870 M), dan Al- Mutamid (870-892 M).[4]

Ibnu Khallikan, di dalam bukunya, Ibn Khallikan’s Biographical Dictionary, menceritakan bagaimana Hunayn menjalani sisa hidupnya:

Aku telah membaca dalam Sejarah para Dokter (Akhbar al-Itaba) bahwa Hunayn ke kamar mandi setiap hari setelah perjalanannya, dan menyiram dirinya dengan air. Dia kemudian akan keluar, mengenakan jubah tidur.

Dan setelah mengambil secangkir anggur dengan biskuit, (dia) berbaring, dan kadang-kadang tertidur, sampai peluhnya berhenti keluar.

Dia kemudian akan bangun, membakar parfum untuk mengasapi dirinya, dan membawa makan malam.

(Makan malamnya) ini terdiri dari seekor anak ayam besar yang telah digemukkan, yang direbus dalam kuahnya; dan kue yang terbuat dari roti seberat dua ratus drachm (satuan yang biasa digunakan oleh apoteker, satu drachm setara dengan seperdelapan ons—pen).

Setelah menyeruput kuah dan memakan unggas dan roti itu, dia tertidur, dan saat terbangun dia minum empat pint (ratl) [jika kita membacanya sebagai ritle, itu mungkin berarti empat cangkir anggur, yang mana lebih masuk akal—ed] anggur tua.

Apabila dia menginginkan buah yang baru dipetik, dia mengambil apel dan quince (sejenis apel atau pir-pen) Suriah. Ini adalah kebiasaannya sampai akhir hayatnya. Dia meninggal pada hari Selasa, 7 Safar, 260 H (Desember, 873 M).[5] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Ini adalah orang yang berbeda dengan Jabril bin Bukhtishu (wafat 828 M), dokter pribadi Khalifah al-Mamun, yang justru berjasa besar terhadap Hunayn. Dialah orang pertama yang memperkenalkan Hunayn ke orang-orang dalam istana. Lebih lengkap lihat seri ke-8 seri artikel ini: https://ganaislamika.com/bayt-al-hikmah-8-hunayn-bin-ishaq-2-kembali-ke-baghdad-dan-mengguncang-dunia-kedokteran/.

[2] Aelius Galenus, atau Claudius Galenus, atau lebih terkenal dengan sebutan Galen dari Pergamon. Galen adalah seorang filsuf dan ahli bedah Yunani dari abad ke-2 yang karya-karyanya diterjemahkan oleh Hunayn.

[3] Adnan K. Abdulla, Translation in the Arab World: The Abbasid Golden Age (New York: Routledge, 2021), Chapter 6. 

[4] Maman Lesmana, Hunayn bin Ishaq dan Sejarah Penerjemahan Ilmu Pengetahuan ke dalam Bahasa Arab (Susurgalur: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, No.1, Vol.1, Maret 2013), hlm 6.

[5] Ibnu Khallikan, Ibn Khallikan’s Biographical Dictionary, Volume 2 (New Deli, Kitab Bhavan: 1996), hlm 270-271.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*