Tanpa Bayt Al-Hikmah, Eropa tidak akan pernah lepas dari Abad Kegelapan menuju Renaisans, sebab sumber referensi utama para sarjana Kristen di Eropa berasal dari Bayt Al-Hikmah.
Demikianlah kita telah mengulas perjalanan hidup dua tokoh besar Bayt Al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan): al-Kindi dan Hunayn bin Ishaq. Meskipun keduanya sama-sama berjasa bagi dunia ilmu pengetahuan, bahkan hingga masa kini, namun di mata Khalifah al-Mamun keduanya memiliki perbedaan yang mencolok.
Hunayn yang fasih dalam berbagai bahasa, dan juga warisan-warisan keilmuannya, adalah bukti bahwa dia adalah seseorang yang sangat berbakat. Sementara al-Kindi yang merupakan Muslim Arab menikmati peran dan status sebagai sarjana senior di Bayt Al-Hikmah, tetapi Khalifah al-Mamun dengan senang hati lebih suka menunjuk Hunayn — yang mana seorang Kristen Nestorian Arab —untuk menjadi kepala penerjemahan di Bayt Al-Hikmah.
Hal ini menunjukkan sisi lain dari Khalifah al-Mamun, bahwa meskipun pemerintahannya adalah pemerintahan Islam, namun dalam hal keprofesionalan dia tidak melihat latar belakang seseorang, melainkan kapasitas ilmunya.[1]
Warisan untuk Dunia
Selama paruh pertama abad ke-8, Baghdad muncul sebagai pusat penerjemahan dan kesarjanaan di dunia Muslim, tetapi ia bukanlah satu-satunya tempat. Pusat-pusat pembelajaran lainnya juga muncul di tempat-tempat lain dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh.[2]
Yang pertama adalah Dinasti Fatimiyah di Kairo pada abad ke-10. Dinasti ini merupakan satu-satunya kekhalifahan Islam dengan mahzab Syiah yang pernah berdiri dengan jangkauan pengaruh demikian luas, hingga berhasil menandingi kedigdayaan imperium Abbasiyah.
Dinasti ini juga merupakan satu-satunya kekhalifahan Islam yang berasal dari Afrika Utara, lalu berhasil merebut Mesir dan terus menyebar ke timur hingga ke jantung daratan Arabia. Bila Dinasti Abbasiyah pada awal pendiriannya menyandarkan klaimnya atas hak Bani Hasyim, maka Dinasti Fatimiyah mengklaim sebagai ahli waris sah dari Sayidah Fatimah az-Zahra binti Rasulullah saw.[3]
Dalam hal keilmuan, Dinasti Fatimiyah berlomba-lomba dengan Abbasiyah untuk menancapkan pengaruhnya. Merasa terancam, Abbasiyah bahkan mendirikan Universitas Nizamiyyah untuk melawan ancaman dari ide-ide yang berkembang pesat dari universitas yang didirikan oleh Dinasti Fatimiyah di Kairo, universitas tersebut dikenal dengan nama al-Azhar.[4]
Yang kedua adalah Dinasti Umayyah II di Andalusia pada periode yang sama. Cikal bakal dinasti ini berawal ketika Abbasiyah membantai hampir seluruh keluarga Umayyah, dan kemudian membangun ibu kota baru di Baghdad pada tahun 762 M.
Tetapi seorang anak lelaki berusia 19 tahun keturunan Umayyah yang bernama Abdurrahman berhasil lolos. Setelah menyeberangi Selat Gibraltar, dan tiba di Andalusia (kini Spanyol dan Portugal), Abdurrahman bergabung dengan sekitar 500 pendukung Umayyah dan mengangkat dirinya sendiri menjadi penguasa di Cordoba pada tahun 756 M.[5]
Dinasti ini pada masanya berhasil menciptakan sebuah periode yang dalam bahasa Spanyol disebut “La Convivencia”, yang artinya adalah “Hidup Bersama”, yakni ketika Andalusia menjadi tempat pusat kemajuan politik, ekonomi, dan budaya.
Ini adalah suatu masa ketika para seniman berhasil menciptakan karya-karya yang luar biasa, dan selain itu, di bidang kedokteran, ilmu pengetahuan, matematika, dan sejenisnya mengalami kemajuan yang sangat pesat.[6]
Sebagai gambaran bagaimana ketiga peradaban ini (Abbasiyah, Fatimiyah, dan Umayyah II) memancarkan ilmunya ke berbagai penjuru dunia, kita dapat menyimak pemaparan dari Michael Wolfe, penulis buku One Thousand Roads to Mecca. Dia menulis:
“….. Karya-karya yang dihidupkan kembali di Spanyol Muslim memicu kebangkitan Eropa (Renaissance), dan aliran informasi semuanya berlangsung satu arah, yaitu dari perpustakaan Kairo dan Baghdad lalu ke perpustakaan Spanyol dan kemudian sisanya menuju Eropa. Para cendekiawan Kristen berbondong-bondong ke selatan untuk mendapatkannya…..
“Sementara itu, penguasa Muslim Spanyol menjelajahi Levant[7] untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Mari kita ambil salah satu contohnya, Hakim II (memerintah 961–976 M), mempekerjakan mata-mata di Mesir dan Suriah untuk memberinya informasi tentang keberadaan, bukannya emas atau selir, tetapi buku-buku langka dan terjemahan baru. Perpustakaan pualamnya di Cordoba mengkoleksi ribuan volume karya-karya tersebut.”[8] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Eamonn Gearon, The History and Achievements of the Islamic Golden Age (The Great Courses: Virginia, 2017), hlm 52.
[2] Ibid.
[3] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 84.
[4] Ibid., hlm 103.
[5] Ibid., hlm 93.
[6] Doug Motel, “La Conviviencia and The Golden Ages of Andalusia”, dari laman http://www.esotericquest.org/articles/conviviencia.html, diakses 10 Oktober 2018.
[7] Levant (diambil dari bahasa Prancis yang berarti pengungkit, atau “terbit”, seperti terbitnya matahari, yang maknanya adalah dari timur) secara historis artinya adalah negara-negara yang berada di sepanjang pantai Mediterania timur.
Penggunaan umum untuk istilah ini dikaitkan dengan Venesia dan usaha perdagangan lainnya dan pendirian perdagangan dengan kota-kota seperti Tirus dan Sidon sebagai hasil dari Perang Salib. Levant juga dapat diartikan mencakup wilayah pesisir Asia Kecil dan Suriah, kadang-kadang membentang dari Yunani ke Mesir. Selain itu Levant dapat juga mencakup Anatolia dan sebagai sinonim untuk Timur Tengah atau Timur Dekat.
Selengkapnya lihat Encyclopaedia Britannica, “Levant”, dari laman https://www.britannica.com/place/Levant, diakses 28 Desember 2019.
[8] Michael Wolfe, One Thousand Roads to Mecca (Grove Press: New York, 2015), Chapter 2.