“Para pemuda tersebut sudah sedemikian paripurna mengerahkan semua daya upayanya untuk menyampaikan kebenaran. Hingga mereka tidak menemukan lagi satupun upaya, selain berlari mencari perlindungan, dan memohon bantuan langsung dari sisi Tuhannya.”
—Ο—
Allah SWT berfirman:
(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam goa, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”. Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam goa itu, Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam goa itu). (QS. Al-Kahfi: 10-12)
M. Quraish Shihab, ketika menafsirkan tiga ayat ini, mengatakan bahwa Allah sedang menjelaskan secara umum peristiwa sebenarnya yang dialami oleh para pemuda tersebut. Bahwa mereka tinggal di Goa tersebut sebagai upaya untuk mencari tempat berlindung. Di tempat tersebut mereka berdoa kepada Tuhannya, ‘Tuhan kami Anugerahilah kami dari sisi-Mu rahmat yang banyak dan beraneka ragam sehingga kami dapat terhindar dari penindasan dan dapat menyelamatkan agama kami dan siapkanlah bagi kami untuk urusan kami secara khusus petunjuk serta segala sesuatu dalam bentuk yang sebaik-baiknya baik urusan duniawi maupun ukhrawi.”[1]
Menurut M. Quraish Shihab, kata min ladunka/ dari sisi-Mu biasa digunakan untuk sesuatu yang bersumber dari Allah SWT. yang sifatnya di luar kemampuan manusia untuk membayangkannya. Ia adalah bantuan Ilahi yang biasa digunakan terhadap hal-hal yang berada di luar hukum-hukum sebab dan akibat yang kita kenal. Ini berbeda dengan istilah min ‘indika yang juga diterjemahkan dari sisi-Mu. M. Quraish Shibab, mengutip pendapat Alamah Thabathaba’i, menilai bahwa kepergian pemuda-pemuda itu yang meninggalkan kaumnya untuk menyendiri di dalam goa, terjadi setelah menempuh segala cara yang dapat mereka lakukan, sehingga tidak tersisa lagi sesuatu kecuali apa yang berada di luar kemampuan manusia.[2]
Mendengar doa mereka yang demikian tulus, Allah SWT. Menyambut dengan berfirman: “Maka Kami memperkenankan doa mereka dan Kami tutup telinga mereka sehingga mereka tak dapat mendengar agar dapat tidur lelap tak sadarkan diri di dalam goa selama sekian tahun yang terhitung yakni masa yang berkepanjangan. Kemudian setelah tiba waktu yang Kami tetapkan Kami bangunkan mereka dari tidur yang lelap itu, agar Kami mengetahui dalam kenyataan setelah Kami mengetahuinya dalam ilmu Kami yang gaib, siapa yang tidak mengetahui sehingga bertanya manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat lagi teliti dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal dalam goa itu.”[3]
Dalam rangkaian ayat ini juga terungkap, bahwa mereka yang di dalam Goa tersebut masih berusia muda, atau remaja. Menurut M. Quraish Shihab, kata fityah adalah bentuk jamak yang menunjukkan sedikit. Tunggalnya adalah fata yaitu remaja. Kata ini bukan saja mengisyaratkan kelemahan mereka dari segi fisik dan jumlah yang sedikit, tetapi juga pada usia yang belum berpengalaman. Namun demikian, keimanan dan idealisme pemuda itu meresap dalam benak dan jiwa, sehingga mereka rela meninggalkan kediaman mereka. Agaknya itulah sebab mengapa kata tersebut dipilih, walau dari segi redaksi ia dapat digantikan dengan pengganti nama, yakni kata “mereka” karena sebelumnya sudah disebut tentang mereka dengan nama Penghuni Goa. Demikian menurut Quraish Shihab.[4]
Setelah mengungkapkan situasi yang mereka alami. Kemudian barulah Allah SWT menerangkan secara lengkap apa yang sesungguhnya terjadi pada mereka, dan sebab-sebab yang membuat mereka sampai ke dalam Goa tersebut. Allah SWT berfirman:
Kami akan menceritakan peristiwa penting mereka kepadamu dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan bagi mereka petunjuk dan Kami telah mengikat atas hati mereka di waktu mereka berdiri lalu mereka berkata: ‘Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru satu tuhan pun selain-Nya, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran. Kaum kami ini telah menjadikan selain-Nya tuhan-tuhan. Tidakkah semestinya mereka mengemukakan alasan yang kukuh, maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?”( QS. Al Kahfi: 13-15)
Sebagaimana sudah diurai dalam edisi sebelumnya, para remaja ini, dengan segenap kelemahan baik dari sisi jumlah, maupun usia, berjuang secara gigih di tengah-tengah kaumnya menyebarkan syiar tauhid. Tidak main-main, yang mereka hadapi adalah sebuah rezim yang kejam, dan menghalalkan segala cara untuk menghentikan dakwah mereka.
Dalam ayat di atas dijelaskan lebih jauh, bahkan kaum mereka pun adalah kaum yang ingkar. Mereka menyembah tuhan-tuhan lain – yang bahkan mereka sendiripun tidak mampu mengajukan bukti atas kebenarannya. Kita setidaknya bisa membayangkan, bagaimana mereka sedang melakukan jihad yang besar, yaitu menyampaikan kebenaran dihadapan penguasa yang zhalim. Ditambah pula, mereka dilingkupi oleh masyarakat yang keingkarannya demikian jauh. Untuk menggandakan upaya mereka, kemudian Allah SWT “…tambahkan bagi mereka petunjuk dan Kami telah mengikat atas hati mereka di waktu mereka berdiri..”
Menurut M. Quraish Shihab, Kata idz qamu/ di waktu mereka berdiri dapat dipahami dalam arti benar-benar berdiri tampil di hadapan penguasa atau kaumnya, dan dengan gagah berani menyatakan keyakinan mereka. Dapat juga dipahami dalam arti melaksanakan sesuatu secara sempurna dengan penuh perhatian dan kesungguhan, walau bukan dalam bentuk tampil berhadapan langsung dengan penguasa atau kaum musyrikin itu.[5] Ini menunjukkan bahwa para pemuda tersebut sudah sedemikian paripurna mengerahkan semua daya upayanya untuk menyampaikan kebenaran. Hingga mereka tidak menemukan lagi satupun upaya, selain berlari mencari perlindungan, dan memohon bantuan langsung dari sisi Tuhannya. (AL)
Bersambung…
Beberapa Sosok Penting Tanpa Nama di Dalam Al Quran (6): Ashāba Al-Kahfi (4)
Sebelumnya:
Beberapa Sosok Penting Tanpa Nama di Dalam Al Quran (6): Ashāba Al-Kahfi (2)
Catatan kaki:
[1] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 8, Jakarta, Lentera Hati, 2005, hal. 20
[2] Ibid, hal. 21
[3] Ibid
[4] Ibid, hal. 21
[5] Ibid, hal. 25