Beberapa Sosok Penting Tanpa Nama di Dalam Al Quran (6): Ashāba Al-Kahfi (8)

in Studi Islam

Last updated on June 13th, 2018 07:28 am

Kisah Ashāba Al-Kahfi, mengisyaratkan pada kita, bahwa bagi Allah SWT, nama, kedudukan sosial, usia, bahkan waktu, tidaklah penting. Yang terpenting dari semuanya adalah kualitas amal. Begitu suatu amalan diterima oleh Allah SWT, maka selesailah. Tugas manusia hanya bisa berserah setelah segala daya dan upaya dikerahkan sebaik mungkin. Dia yang akan meletakkan amaliah tersebut di sisiNya, dan mengurus sisanya. Dia sendiri yang menentukan waktu kemenangan, memilih caranya, dan tidak ada yang berserikat denganNya.”

—Ο—

 

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini“. (QS. Al-Kahfi 23-24)

Pada kedua ayat di atas, lagi-lagi Allah SWT mengukuhkan bahwa Kebenaran adalah milikNya semata. Manusia sedemikian lemahnya, hingga ia tidak mungkin mampu memastikan sesuatu yang kecil sekalipun terjadi esok hari tanpa seizin dari Allah SWT. M. Quraish Shihab, ketika menafsirkan ayat ini, menjelaskan sebagai berikut:

Ayat di atas berpesan kepada Nabi Muhammad saw. dan umat beliau bahwa: Dan jangan sekali-kali engkau wahai Nabi Muhammad dan siapa pun mengatakan terhadap sesuatu yang akan engkau kerjakan — baik kecil maupun besar — betapapun kuatnya tekadmu dan besarnya kemampuanmu bahwa:“Sesungguhnya aku akan mengerjakan pekerjaan yang remeh atau penting itu, besok, yakni waktu mendatang, kecuali dengan mengaitkan kehendak dan tekadmu itu dengan kehendak dan izin Allah atau kecuali dengan mengucapkan “InsyaAllah/jika dikehendaki Allah, itu akan saya kerjakan atau itu akan saya tinggalkan,” karena tidak ada kekuatan untuk meraih manfaat atau daya untuk menampik mudharat kecuali yang bersumber dari Allah swt. Memang manusia adalah tempatnya lupa, karena itu tanamkanlah hakikat tersebut dalam hatimu dan ingatlah kepada Tuhanmu jika engkau lupa mengucapkan dan mengaitkan langkah-langkahmu dengan kehendak Allah, begitu engkau mengingat, engkau tadi lupa mengaitkan dan mengucapkannya, dan ketika itu segeralah mengaitkan langkahmu dengan Allah dan katakanlah juga ketika itu bahwa: “Mudah-mudahan Tuhan Pemelihara dan Pembimbmg-ku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” [1]

 

Lantas, apakah dengan demikian manusia tidak perlu berusaha, hanya berpangku tangan dan tidak perlu merencanakan sesuatu? Sama sekali tidak demikian! Terkait pertanyaan ini, M. Quraish Shihab menjelaskan: Ayat ini’ hanya memberi tuntunan agar manusia menyadari bahwa tidak ada sesuatu pun dalam wujud yang luas ini — baik dzat, perbuatan, maupun dampak atas sesuatu, kecuali menjadi milik dan di bawah kendali Allah SWT semata-mata. Dia yang berwenang penuh, selain-Nya hanya memiliki sesuai dengan anugerah kepemilikan yang dilimpahkan Allah kepadanya. Dengan demikian tidak ada sesuatu pun – apa saja namanya, seperti ‘illat, sebab, faktor, dan sebagainya — yang berdiri sendiri atau terlepas dari kendali, izin dan kehendak Allah swt. Karena itu manusia dituntut untuk berpikir dan berusaha sambil mengaitkan pikiran dan rencananya dengan kehendak dan izin Allah swt. Dengan demikian ia memperoleh kekuatan melebihi kekuatannya sendiri, yakni kekuatan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Jika ia berhasil ia bersyukur dan jika gagal ia tidak akan berputus asa.[2] Demikian menurut Quraish Shihab.

Dalam ayat selanjutnya Allah SWt berfirman:

Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS. Al-Kahfi: 25)

Sedikit catatan, bila kita telisik lebih jauh, jumlah tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi), sebenarnya sama dengan 300 tahun hitungan syamsiah, dan sama dengan hitungan komariah bila ditambahkan sembilan. Menurut M. Quraish Shihab, pada masa Rasulullah SAW, terdapat perbedaan acuan masyarakat dalam melakukan perhitungan tahun. Ada orang-orang Yahudi yang mengacu pada kalender syamsiah, dan masyarakat Mekkah yang mengacu pada kalender komariah. Sehingga jawaban ayat ini terhadap waktu Ashāba Al-Kahfi bersifat menyeluruh terhadap semua pemahaman.[3] Adapun bila di kemudian hari masih saja ada yang memperselisihkan pesoalan waktu ini, Allah SWT berfirman:

Katakanlah: “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan“.(QS. Al-Kahfi: 26)

Pada titik ini, Allah SWT seperti ingin menegaskan bahwa Dialah yang Haq, tidak ada satupun mahluk yang berserikat denganNya dalam membuat sebuah keputusan. SkenarioNya pasti terjadi, dan pasti yang terbaik.

Kisah Ashāba Al-Kahfi, lagi-lagi mengisyaratkan pada kita, bahwa bagi Allah SWT nama, kedudukan sosial, usia, bahkan waktu, tidaklah penting. Yang terpenting dari semuanya adalah kualitas amal. Begitu suatu amalan diterima oleh Allah SWT, maka selesailah. Tugas manusia hanya bisa berserah setelah segala daya dan upaya dikerahkan sebaik mungkin. Dia yang akan meletakkan amaliah tersebut di sisiNya, dan mengurus sisanya. Dia sendiri yang menentukan waktu kemenangan, memilih caranya, dan tidak ada yang berserikat denganNya. Maka sangat keliru bila ada yang menganggap dirinya telah berperan bagi agama Allah SWT, telah berjasa meluaskan syiar agama Allah SWT, sehingga merasa berhak mengatur nasib hamba-hambaNya, memberikan predikat tentang kedudukan hamba-hambaNya (Muslim, kafir, sesat dan sebagainya), serta memaksakan kehendaknya, hingga menyebabkan kerusakan di muka bumi. (AL)

Bersambung…

Beberapa Sosok Penting Tanpa Nama di Dalam Al Quran (7): Orang yang Bersama Nabi SAW di Dalam Gua Tsur (1)

Sebelumnya:

Beberapa Sosok Penting Tanpa Nama di Dalam Al Quran (6): Ashāba Al-Kahfi (7)

Catatan kaki:

[1] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 8, Jakarta, Lentera Hati, 2005, hal. 41

[2] Ibid, hal. 42

[3] Ibid, hal. 44-45

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*