Dinasti Abbasiyah (10): Menunggangi Revolusi (2)

in Sejarah

Last updated on March 4th, 2019 09:53 am


Pada tahun 129 H, Abu Muslim mulai memproklamirkan revolusi Abbasiyah di Khurasan. Nasr bin Sayyar selaku gubernur waktu itu segera menginformasikan ancaman ini pada Marwan bin Muhammad. Abu Muslim berhasil menguasai Khurasan. Tapi Ibrahim bin Muhammad, di jebloskan ke penjara oleh Marwan II.


Gambar ilustrasi. Sumber: http://tsortv.ru/istoriya/


Pertempuran besar antara kelompok Yaman dan Mudhar terjadi di Kota Merv, ibu kota pemerintahan Dinasti Umayyah di Khurasan. Awalnya, Al Kirmani berhasil merebut kota ini dari al-Harith bin Surayj, yang tidak lain sekutu dari Nasr bin Sayyar. Setelah tewasnya al-Harith, praktis kota ini dikuasai oleh Al Kirmani. Dia lalu menjadikan kota ini sebagai basis pertahanannya. Beberapa kali Nasr bin Sayyar mengutus orang untuk menembus pertahanan kota ini, tapi selalu gagal.[1]

Sampai di sini, motif pertempuran antar dua kelompok ini sifatnya masih parsial. Tujuan masing-masing kelompok adalah untuk mengalahkan satu sama lain. Tapi lain halnya dengan Abu Musmin dan kelompoknya yang ikut berada di antara dua pertarungan ini. Mereka memiliki tujuan sendiri, yaitu menumbangkan Dinasti Umayyah dan menggantinya dengan sistem baru yang berlandaskan tuntutan Al Quran dan Sunnah.

Tapi persoalannya, kedudukan kaum revolusiner yang dipimpin Abu Muslim pada saat itu belum cukup kuat. Ini sebabnya mereka harus terus tersamarkan. Dan situasi terbaik untuk mendukung penyamaran adalah wilayah konflik dengan tingkat ketegangan setinggi mungkin. Karena dalam suasana inilah, mereka bisa bermanuver secara leluasa tanpa dicurigai. Ini sebabnya, dalam dinamika konflik antar dua kelompok besar di Khurasan, Abu Muslim berdiri di tengah, seraya berharap eskalasi konflik terus berkobar. Sambil di sisi lain, dia terus menebar propaganda pada masyarakat di daerah-daerah agar mendukung visi politiknya.[2]

Lambat laun, dukungan tokoh-tokoh masyarakat pada misi Abu Muslim, kian meluas. Salah satu kunci keberhasilannya, karena dia mengatasnamakan diri sebagai pembawa misi keluarga Rasulullah Saw. Disamping itu, dia juga telah berhasil memanfaatkan sejumlah momentum krusial, sehingga mampu menarik simpati banyak pihak pada ajakannya.

Salah satu momentum tersebut terjadi pada tahun 127 H, ketika itu Yahya bin Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib melakukan pemberontakan dan terbunuh. Oleh khalifah terakhir Bani Umayyah, Marwan bin Muhammad (Marwan II), jasad Yahya bin Zaid dipertontonkan di tiang gantungan. Dengan demikian, satu lagi tokoh ahlulbait yang wafat dan diperlakukan secara kejam oleh khalifah Bani Umayyah. Setelah sebelumnya Bani Umayyah melakukan pembantaian atas keluarga Rasulullah Saw yang dipimpin oleh Husein bin Ali; Dilanjutkan pembantaian serupa terhadap Zaid bin Ali bin Husein yang tidak lain ayahnya Yahya. Kini Yahya sendiri yang diperlakukan dengan cara seperti itu. Kematian Yahya jelas menyengat emosi masyarakat, khususnya di Persia dan Khurasan yang juga mendukung setia Ahlul Bait Rasulullah Saw.[3]

Dalam kegundahan ini, Abu Muslim maju mengambil inisiatif. Dia memerintahkan agar jasad Yahya diturunkan dan dimakamkan dengan penuh penghormatan. Para pengikutnya mengenakan pakaian hitam sebagai tanda berkabung, dan menandakan tekad mereka untuk membalas dendam atas kematian Yahya. Sejak saat itulah, warna hitam menjadi simbol yang membedakan kaum Abbasiyah. Dan ketika perintah untuk memberontak terhadap perampasan kekuasaan dikeluarkan, maka kerumunan rakyat berpakaian hitam berkumpul di tempat pertemuan, sekaligus menunjukkan betapa besar kekuatan mereka waktu itu. Pertemuan ini berlangsung pada malam tanggal 25 Ramadhan 127 H; rakyat diperintahkan untuk berkumpul setelah mereka melihat api unggun besar berkobar di dipuncak bukit. Maka lautan manusia pun mengalir dari segala penjuru Merv, dimana Abu Muslim tinggal waktu itu.[4]

Melihat fenomena ini, baik kelompok Nasr maupun al-Kirmani mulai menyadari, betapa besar kekuatan yang ada di tengah-tengah mereka. Segera setelah itu, Abu Muslim menjadi sosok yang sangat disegani, baik oleh kawan dan lawannya. Ini sebabnya, dia dengan leluasa bisa berkirim surat ke sana kemari, dan mengatur jalannya dinamika politik.[5]

Pada tahun 128 H, Abu Muslim mendapat perintah langsung dari Ibrahim bin Muhammad, pemimpin tertinggi Bani Abbas, agar segera mengobarkan pemberontakan. Dalam perintahnya Ibrahim memanggil Abu Muslim dangan sebutan Abdurahman. Dia lalu mengatakan, “Abdurahman, kau adalah bagian dari kami, Ahlul Bait, jadi perhatikan instruksi ku dengan baik. Lihat suku Yaman ini; hormati mereka dan berdirilah di antara mereka, karena sebenarnya Tuhan tidak akan menuntaskan masalah ini tanpa mereka. Lihat suku Rabi’ah ini; dan curigailah apapun yang mereka lakukan. (lalu) lihatlah kelompok Mudhar ini; mereka jelas merupakan musuh ahlulbait, jadi habisi setiap orang dari mereka tanpa ragu, atau siapapun yang bertindak ambigu, atau siapapun yang kau curigai kesetiaannya…”[6]

Maka demikianlah, dengan arahan jelas dari sang imam, Abu Muslim memiliki panduan yang memadai untuk mengembangkan taktiknya. Saat ini dia tinggal menunggu momentum selanjutnya.  Pada tahun 129 H, atau ketika pertarungan kedua kubu sudah mencapai titik puncaknya, Abu Muslim mengirimkan pesan kepada Al Kirmani, pemimpin klan Yaman, yang isinya menyatakan keberpihakan Abu Muslim pada kelompok Yaman (sebagaimana instruksi dari Ibrahim).[7]

Mendengar terjadinya aliansi strategis antara Abu Muslim dengan Al Kirmani, Nasr bin Sayyar panik. Dia langsung mengirim utusan kepada Al Kirmani yang isinya mengajak dialog dan membicarakan kemungkinan perdamaian di antara mereka. Al Kirmani memenuhi undangannya. Namun dia membawa bala tentara ke tempat Nasr, yang ini membuat Nasr marah. Maka terjadilah pertempuran di antara mereka, yang berakhir dengan tewasnya Al Kirmani. Mendengar ayahnya tewas di tangan musuh, Ali al-Kirmani, putra al Kirmani, langsung menyerang Nasr dengan didukung oleh Abu Muslim. Melihat pasukan gabungan mulai menyerangnya, Nasr segera mengirimkan surat kepada Marwan II di Damaskus, yang isinya memohon bantuan armada dan sekaligus menyampaikan berita tentang bangkitnya pemberontakan yang dipimpin oleh Abu Muslim atas perintah imam tertinggi Bani Abbas, yaitu Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas.[8]

Mendengar berita ini, Marwan II langsung memerintahkan agar menangkap Ibrahim bin Muhammad yang saat itu sedang  berada di desa bernama Humaymah, bagian dari propinsi Damaskus. Imam Bani Abbas itu lantas diikat tangannya, dan digelandang ke hadapan Marwan II. Dia lalu dijeloskan ke penjara.[9]

Di tempat lain, pasukan gabungan Ali al Kirmani dan Abu Muslim berhasil
membunuh Nasr bin Sayyar dan menghancurkan kekuatannya. Secara otomatis mereka menguasai penuh wilayah Merv dan Khurasan. Kemudian Abu Muslim memasuki istana Merv, dan Ali al Kirmani datang menemuinya. Abu Muslim memberi hormat kapadanya dan memanggil Ali al Kirmani dengan sebutan “Amir”. Abu Muslim menyatakan dukungan dan kesetiaannya, lalu mengatakan, “berikan aku perintahmu.” Ali kemudian mengatakan padanya, “Lakukan apa yang (selama ini) kamu lakukan, sampai aku punya perintah lain untuk diberikan padamu.”[10] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat juga, The History of al-Tabari, Vol. XXVII., The `Abbasid Revolution, Translated by John Alden Williams, State University of New York Press, 1990. Hal. 81-83

[2] Lihat, Huzaifa Aliyu Jangebe, The Legendary Hero of Abbasid Propaganda, IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS) Volume 19, Issue 1, Ver. III (Jan. 2014), PP 05-13 e-ISSN: 2279-0837, p-ISSN: 2279-0845. www.iosrjournals.org.

[3] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, Calcutta, S.K. Lahiri & Co, 1902, hal. 280

[4] Ibid, hal. 281

[5] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVII., Op Cit, hal. 82

[6] Ibid, hal. 48

[7] Ibid, hal. 84

[8] Ibid, hal. 83

[9] Ibid, hal. 84

[10] Ibid. Hal. 85 s

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*