Dinasti Abbasiyah (9): Menunggangi Revolusi (1)

in Sejarah

Last updated on March 4th, 2019 09:51 am

Salah satu sosok penting dalam drama revolusi Bani Abbas bernama Abu Muslim al Khurasani. Tentang asal usulnya, beberapa pihak masih berbeda pendapat. Dia ditugaskan oleh Imam revolusi Abbasiyah agar memimpin revolusi di Khurasan, dan membakar sentimen anti-Arab di tengah masyarakatnya.

Gambar ilustrasi. Sumber:
pinterest.com

Pada tahun 124 H, Muhammad bin Ali meninggal dunia. Tapi sebelum kematiannya, dia menitipkan pesan pada para pengikutnya, bahwa yang menggantikan dia sebagai Imam secara berturut-turut adalah putra-putranya, yaitu: Ibrahim, Abdullah Abu Al Abbas (kelak bergelar As Saffah), dan Abdullah Abu Ja’far (kelak bergelar Al Mansyur).[1]

Di tengah jargon-jargon perubahan total (revolusi) yang disiarkan oleh Bani Abbas, sebenarnya wasiat ini sendiri sudah membatalkan jargon-jargon tersebut. Wasiat ini jelas meniru model wasiat yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah pada masa itu, dan melestarikan sistem ashobiyah yang bertentangan dengan semangat Islam. Tapi mungkin disebabkan tata cara ini sudah dianggap lazim oleh masyarakat, maka para pendukungnya tidak memaknai secara kritis wasiat ini.[2]

Di era kepemimpinan Ibrahim bin Muhammad, gerakan revolusi Bani Abbas mencapai progresifitas yang meyakinkan. Terutama ketika dia mendapat baiat dari sosok jenderal kawakan masa itu, bernama Abu Muslim Al Khurasani. Inilah figur sentral dalam drama revolusi Abbasiyah di Khurasan dan Persia.

Tentang asal usul Abu Muslim, sejarawan masih cukup banyak yang berbeda pendapat. Agaknya ini lebih dikarenakan munculnya dua pandangan yang berlawanan, yaitu yang pro dan kontra dengan sosok ini.[3] Pendapat yang pro mengatakan bahwa dia manusia bebas dan berasal dari keturunan orang mulia. Sedang yang kontra menyebut asal usulnya dari seorang budak dari Isa bin Ma’gil al-‘Ijli. Isa lalu menjualnya pada Bukhair bin Mahan dengan harga 400 dirham. [4]

Abu Muslim mendengar argumentasi Bukhair tentang rencana kaum Abbasiyah, dan dia menyetujui bergabung dengan gerakan Bani Abas. Dia pun dikirim untuk menemui Ibrahim bin Muhammad, imam Bani Abbas yang baru. Kemudian dia ditugaskan untuk menyebarkan propaganda di Khurasan.[5]

Sebagaimana dijelaskan oleh Al Maududi; “Di antara pengarahan-pengarahan yang dikirimkan oleh Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, imam gerakan kaum Abbasiyah, kepada Abu Muslim Al Khurasani, ketika menyerahkan kepadanya penanganan daerah Khuarasan, ialah nasehat agar memanfaatkan pertikaian-pertikaian yang ada antara suku-suku Yaman dan Suku-suku Mudhar, dan membenturkan sebagian dari mereka dengan sebagian lainnya. Demikian pula di antara perintah-perintah yang ditujukan kepadanya, ‘apabila engkau dapat memusnahkan setiap lidah yang berbicara bahasa Arab, maka lakukanlah hal itu, dan sekiranya engkau – sedikit saja – meragukan kebangsaan Arab dari seorang anak kecil yang panjangnya lima jengkal atau lebih, bunuhlah dia’.“[6]

Jelas sekali, dari perintah ini, Ibrahim bin Muhammad menginginkan agar masyarakat Khurasan terbakar oleh sentimen anti-Arab. Dan ini adalah bahan baku revolusi yang efektif untuk mengobarkan semangat perlawanan terhadap imperium sebesar Dinasti Umayyah.

Sebagai catatan, struktur kelas dan semangat ashobiyah yang dibangun oleh Bani Umayyah, tidak hanya berlaku bagi kelompok non-Arab, tapi juga sesama Arab. Suku Yaman dan Suku Mudhar yang disebut oleh Al Maududi, adalah dua klan Arab yang berasal dari tempat berbeda. Yang satu berasal dari Arab Utara, sedang yang satu lagi adalah Arab selatan, yaitu Yaman. Mereka adalah salah satu generasi awal orang Arab yang masuk ke Khurasan pasca taklukkan kekaisaran Sasaniah. Tapi dalam perjalannnya, pemerintahan Umayyah lebih memihak pada suku Mudhar, dan menjadikan mereka sebagai pemimpin di Khurasan. Sehingga dalam perkembangannya, kedua kelompok ini kerap mengalami gesekan baik secara politik maupun sosial.[7]

Pada tahun 125 H/743 M, Khalifah Hisyam bin Abdul Malik wafat. Dia digantikan oleh Walid bin Yazid (Walid II) yang karakternya sangat buruk.[8] Negara pun melemah sedemikian rupa di bawah kepemimpinannya. Pada kondisi seperti ini, di Khurasan tampil seorang pemimpin kaum bernama Juday al Kirmani atau lebih disebut sebagai Al Kirmani.[9] Dia berhasil menjadi tokoh di kalangan kelompok Yaman dan berdiri menjadi oposisi yang setara dengan gubernur waktu itu, Nasr bin Sayyar – yang tidak lain adalah tokoh sekaligus pemimpin yang mewakili kepentingan kelompok Mudar di Khurasan.[10]

Al Kirmani pernah diringkus oleh Nasr dan dijebloskan ke penjara bersama kedua putranya bernama Ali dan Utsman. Namun dia berhasil meloloskan diri dari tahanan, atas pertolongan dari salah satu budaknya. Setelah keluar dari penjara, Al Kirmani membangun perlawanan dan menjadi ancaman serius bagi Nasr bin Sayyar.[11]

Selanjutnya, pada tahun 128 H, pertempuran antara dua kelompok ini pecah, yang menjadikan Khurasan bergejolak sedemikian rupa. Pada kondisi seperti inilah Abu Muslim masuk ke Khurasan dan ikut memainkan perannya di antara pertikaian dua kekuatan ini. Dia berhasil membangun poros ketiga di antara dua kekuatan yang bersaing. Menariknya, Abu Muslim berhasil membuat kedua pihak berharap akan bantuannya, dan keduanya diterima. Jadilah ketika itu dia memainkan peran yang sangat sulit, dimana satu kakinya ada di pihak Nasr, sedang satunya ada di pihak al Kirmani.[12] Ini jelas suatu talenta yang sangat langka bagi seorang budak. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, Calcutta, S.K. Lahiri & Co, 1902, hal. 231

[2] Tradisi pewasiatan tahta seperti ini dimulai ketika masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, yang wafat pada bulan Syawal tahun 86 Hijriah. Sebelum wafatnya. Dia mewasiatkan agar tahta khalifah diwariskan secara bergantian pada putra-putranya, yaitu Al Walid, Sulaiman, Yazid II, dan Hisyam. Para sejarawan mengenalnya dengan sebutan Abul Muluk atau ayah para raja. Kelak tradisi ini diwariskan secara terus menerus oleh para pengantinya. Untuk membaca lebih lanjur kisah Dinasti Umayyah, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-umayyah-13-abdul-malik-bin-marwan-ayah-para-raja/

[3] Lihat, Huzaifa Aliyu Jangebe, The Legendary Hero of Abbasid Propaganda, IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS) Volume 19, Issue 1, Ver. III (Jan. 2014), PP 05-13 e-ISSN: 2279-0837, p-ISSN: 2279-0845. www.iosrjournals.org

[4] Berdasarkan riwayat yang didapatnya, Tabari menyatakan, bahwa pada tahun 124 H, gerakan Bukhair bin Mahan terendus oleh aparatur Dinasti Umayyah. Mereka kemudian ditahan di Kufah. Di dalam penjara, dia bertemu dengan Abu Agim Yunus dan Isa bin Ma’gil al-Ijli. Bersama mereka ada pelayan yang tidak lain adalah Abu Muslim. Kemudian Bukhair mengajak mereka untuk mendukung perjuangan Abbasiyah dan mereka bersedia. Kemudian Bukhair berkata kepada Isa bin Ma’qil: “Siapa pemuda ini?” Isa menjawab: “Dia adalah seorang budak.” Bukhair bertanya: “Apakah Anda akan menjualnya?” Isa menjawab: “Dia milikmu.” Bukhair berkata, “Aku ingin kamu mengambil harga yang pantas untuknya.” Isa menjawab: “Dia milikmu dengan harga berapa pun yang kamu inginkan,” maka Bukhair memberikan Isa empat ratus dirham. Kemudian mereka dibebaskan dari penjara dan Bukhair mengirim Abu Muslim ke pemimpin baru mereka, Ibrahim bin Muhammad. Ibrahim lalu memberikannya pada Musa al-Sarraj. Dari musa al-Sarraj ini Abu Muslim belajar banyak hal, termasuk berdagang. Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVI., The Waning of the Umayyad Caliphate, Translated by Carole Hillenbrand, State University of New York Press, 1990. Hal. 66-67

[5] Lihat, Ibid, hal. 68

[6] Lihat, Abul A’la Al-Maududi, “Khalifah dan Kerajaan; Konsep Pemerintahan Islam serta Studi Kritis terhadap ‘Kerajaan’ Bani Umayyah dan Abbasiyah.” Bandung, Kharisma, 2007, hal. 231-232. Lihat juga, The History of al-Tabari, Vol. XXVII., The `Abbasid Revolution, Translated by John Alden Williams, State University of New York Press, 1990. Hal. 48

[7] Lihat, Mahayudin Hj Yahaya, The Social and Political Background of the `Abbasid Revolution: The Rise of the `Abbasid Caliphate, International Journal of Humanities And Cultural Studies ISSN 2356-5926, Volume 2, Issue 3 December 2015, hal. 834

[8] Imam Al Suyuthi ketika menjelaskan karakter Walid II menyebutkan: “Walid bin Yazid adalah seorang fasik, peminum khamr, dan banyak merusak aturan Allah. Suatu saat ia ingin menunaikan ibadah haji dengan tujuan hendak minum khamr di atas Ka’bah. Kerena kefasikannya, banyak orang membencinya hingga ke tulang sumsum dan melakukan pemerontakan terhadap pemerintahannya.” Lihat, Imam Al Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, Jakarta, Qisthi Press, 2017, hal. 269

[9] Nama lengkapnya adalah Juday’ bin Ali b. Shabib bin Baran bin Sunaym al-Ma’ni. Dia kemudian lebih dikenal sebagai Al Kirmani, merujuk pada tempat asalnya, di Kirman. Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVI., Op Cit, hal. 224

[10] Lihat, Lihat, Mahayudin Hj Yahaya, Op Cit, hal. 838

[11] Menurut Tabari, pada awalnya Nasr bin Sayyar dan Al Kirmani adalah sahabat, ketika Khurasan masih diperintah oleh gubernur bernama Asad bin Abdallih. Tapi ketika Asad lengser dan digantikan oleh Nasr, al Karmani disingkirkan dari pemerintahan. Posisi al-Kirmani lalu digantikan oleh orang kepercayaan Nasr. Hanya saja, orang tersebut tidak mampu bekerja dengan baik, lalu al-Kirmani kembali di panggil untuk mengisi jabatan tersebut. Namun karena satu dan lain hal, lagi-lagi, al-Kirmani disingkirkan. Dari sini hubungan keduanya jadi memanas, hingga akhirnya al-Kirmani ditahan oleh Nasr bin Sayyar. Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVI., Op Cit, hal. 225-239

[12] Lihat, Huzaifa Aliyu Jangebe, Op Cit

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*