Dinasti Umayyah (13): Abdul Malik bin Marwan Ayah Para Raja

in Sejarah

Last updated on August 31st, 2018 10:50 am

Abdul Malik bin Marwan wafat pada bulan Syawal tahun 86 Hijriah dalam usia 60 tahun. Ia mewariskan fundamen kekuasaan yang sangat kokoh bagi terbangunnya sebuah dinasti yang disegani dunia. Kelak para sejarawan mengenalnya dengan sebutan Abul Muluk atau ayah para raja. Karena empat putranya, yaitu Al Walid, Sulaiman, Yazid II, dan Hisyam adalah para khalifah dinasti Umayyah yang membawa dinasti ini mencapai masa keemasannya.

—Ο—

 

Setelah Marwan bin Hakam wafat, tahta khalifah beralih ke putranya yang bernama Abdul Malik bin Marwan. Sebagian besar sejarawan sepakat, bahwa era kepemimpinan Abdul Malik merupakan permulaan masa keemasan Dinasti Umayyah. Hal pertama yang dilakukannya begitu dilantik adalah menegaskan kembali kedudukan Dinasti Umayyah yang sempat hancur. Setelah selesai pengangkatan atau baiat di Masjid Damaskus pada 65 Hijriyah, Khalifah Abdul Malik bin Marwan naik mimbar dan menyampaikan pidato singkat namun tegas yang dicatat sejarah.

Di antara isi pidato itu adalah, “Aku bukan khalifah yang suka menyerah dan lemah, bukan juga seorang khalifah yang suka berunding, bukan juga seorang khalifah yang berakhlak rendah. Siapa yang nanti berkata begini dengan kepalanya, akan kujawab begini dengan pedangku.” Setelah ia turun dari mimbar, sejak saat itu wibawanya dirasakan oleh segenap hadirin. Mereka mendengarkan ucapannya dengan rasa hormat dan kepatuhan.[1]

Dan dia benar-benar membuktikan kata-katanya. Hanya sesaat setelah itu, armada perang pun dipersiapkan matang. Lawan pertama yang harus ditundukkan adalah Abdullah bin Zubair yang menguasai wilayah mulai dari Hijaz hingga Persia. Taktik Abdul Malik cukup jitu. Ia tidak langsung menyerang pusat kekuatan Abdullah bin Zubair yang berada di Mekkah dan Madinah, tapi melumpuhkan dulu Persia (Irak, Iran, Khurasan dan Bukhara) yang menjadi lumbung perekonomian Bani Zubair. Setelah menjinakkan Persia, maka babak akhir penaklukanpun dilangsungkan. Sebuah pasukan terdiri dari 2000 personil yang dipimpin oleh Hajjaj bin Yusuf diberangkatkan ke Mekkah dari Damaskus.

Terkait pemilihan Hajjaj bin Yusuf ini, Tabari mengatakan bahwa Hajjaj sendiri yang memintah kepada Abdul Malik. Ia mengatakan pada Abdul Malik bahwa ia bermimpi mengalahkan Abdullah bin Zubair dan mengulitinya. Abdul Malik kemudian berpesan pada Hajjaj bin Yusuf bahwa ia diperbolehkan melakukan apapun yang dianggapnya baik. Atau dengan kata lain, Hajjaj diberikan wewenang penuh atas misi ini.

Hajjaj bin Yusuf lalu berangkat menuju Mekkah, namun ia tidak melalui jalur biasa, melainkan menggunakan jalur ke Irak lalu memutar ke arah Mekkah. Dan pada bulan Sya’ban 72 H, dia tiba di Tha’if. Pada kesempatan yang sama, sisa kekuatan Abdullah bin Zubair yang semula sudah bersiap menyambut serangan ini di Madinah, harus berkemas dan bergerak menunju Tha’if. Di Thaif perangpun tak dapat dihindarkan. Dalam pertempuran ini, armada yang merupakan kekuatan terakhir Abdulah bin Zubair hancur. Sedang disisi lain, Hajjaj bin Yusuf juga mengalami kerugian yang besar.

Setelah pertempuran ini, Hajjaj bin Yusuf mengirim laporan kepada Abdul Malik tentang kemenangan dan juga kerugian yang dialaminya. Mendapat laporan ini, Abdul Malik pun mengirimkan pasukan tambahan sebanyak 5000 personil dari Damaskus untuk menggandakan kekuatan Hajjaj bin Yusuf.[2] Pasukan ini baru tiba pada bulan Zulqaidah atau hanya satu bulan sebelum bulan haji. Mereka langsung bergabung dengan pasukan sebelumnya dan membombardir kota Mekkah dengan ketapel. Menurut beberapa laporan, mereka hanya menghentikan penyerangan hanya pada musim haji, itupun atas permohonan Abdullah bin Umar.[3] Salama proses haji berlangsung, pasukan Hajjaj bin Yusuf tidak mengenakan ihram dan berkeliling kota Mekkah dengan menghunus pedang. Pada tahun 73 H, akhirnya pasukan Damaskus berhasil membunuh Abdullaah bin Zubair. Cucu khalifah Abu Bakar ini ditusuk dengan pedang dan kepalanya dipenggal.

Setelah menjinakkan kekuatan Abdullah bin Zubair, praktis kekuasaan Dinasti Umayyah tidak memiliki saingan. Abdul Malik benar-benar berkuasa penuh layaknya seorang raja. Ia memiliki keleluasaan untuk berkreasi dan mengembangkan wilayahnya. Pada masa inilah banyak progresifitas yang dilakukannya, baik dalam hal perluasan wilayah, maupun dalam manajemen administrasi pemerintahan. Wilayah penaklukan yang sebelumnya dimulai oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, dilanjutkan lagi pada masa Abdul Malik. Pasukan Bani Umayyah merangsek ke Eropa menaklukkan Binzantium, mengukuhkan kekuasaannya di Afrika Utara, dan meluaskan wilayah ke Timur hingga ke India dan Asia Tengah.

Menurut Eamon Gaeron, terdapat setidaknya dua terobosan monumental dan sangat berpengaruh yang dilakukan pada masa pemerintahan Abdul Malik, pertama, ia mewajibkan semua wilayah menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi. Kebijakan ini telah mendistorsi kedudukan bahasa Yunani dan Romawi di Eropa, dan bahasa Persia di Asia. Kedua, ia membuat standar alat tukar, yaitu mata uang yang sama di semua wilayah taklukannya. Kedua terobosan ini secara signifikan merombak kebudayaan sebagian besar peradaban kuno yang sudah mengakar selama ratusan tahun. Terjadi “arabisasi” ke seluruh dunia. Semua orang yang ingin berkarir di pemerintahan haruslah memahami bahasa Arab, dan setiap orang di semua wilayah kekuasaan kaum Muslim harus menggunakan koin mata uang Dinasti Umayyah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang resmi.[4]

Koin Arab Abdul Malik. Sumber gambar: cngcoins.com

Tidak hanya itu, Abdul Malik juga berhasil membuat tata administrasi kekuasaan yang rapih dan rinci dalam skala besar. Ini adalah salah satu kekuatannya dalam memerintah. Dalam hal militer, terjadi inovasi besar-besaran dalam hal teknik berperang baik di darat maupun di laut, hingga inovasi persenjataan. Dalam hal peribadatan, ia juga membangun Masjid Umar atau Qubbatush Shakra’ di Yerusalem dan memperluas Masjidil Haram di Makkah. Dengan kata lain, dari sejumlah pendahulunya, Abdul Malik mungkin bisa dikatakan sebagai sosok yang membuka gerbang masa keemasan Dinasti Umayyah.

Abdul Malik bin Marwan wafat pada bulan Syawal tahun 86 Hijriah dalam usia 60 tahun. Ia mewariskan fundamen kekuasaan yang sangat kokoh bagi terbangunnya sebuah dinasti yang disegani dunia. Kelak para sejarawan mengenalnya dengan sebutan Abul Muluk atau ayah para raja. Karena empat putranya, yaitu Al Walid, Sulaiman, Yazid II, dan Hisyam adalah para khalifah Dinasti Umayyah yang membawa dinasti ini mencapai masa keemasannya. (AL)

Bersambung…

Dinasti Umayyah (14): Era Keemasan

Sebelumnya:

Dinasti Umayyah (12): Era Kepemimpinan Trah Hakam bin Abu Al-Ash

Catatan kaki:

[1] Lihat, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/04/22/lk1d8h-daulah-umayyah-abdul-malik-bin-marwan-685705-m-ayah-para-khalifah, diakses 2 Maret 2018

[2] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXI., The Victory of The Marwanids, Translated by Michael Fishbein, State University of New York Press, 1990, hal. 208-209

[3] Menurut Baladhuri, Ansdb, V, 358 (dari Awinah), Al-Hajjaj membombardir Mekkah dengan trebuchet (ketapel). Laporan lain di Baladhuri (dari Wagidi) menyatakan bahwa pemboman tersebut dihentikan selama ziarah hanya atas permohonan dari Abdallah b. Umar dan kembali segera setelah itu. Lihat, Ibid, hal. 208

[4] Lihat, Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), chapter 3, hal. 31

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*