Dinasti Umayyah (12): Era Kepemimpinan Trah Hakam bin Abu Al-Ash

in Sejarah

Last updated on March 3rd, 2018 05:25 am

Tampilnya Marwan bin Hakam ke puncak kekuasaan Bani Umayyah menjadi titik balik yang penting dalam sejarah perkembangan dinasti ini selanjutnya. Naiknya Marwan menandai berakhirnya era kepemimpinan trah Abu Sufyan, dan beralih pada trah Hakam bin Abul Ash. Dari Marwanlah nanti Khalifah Dinasti Umayyah terus mewaris hingga mencapai puncak kejayaannya, dan mengalami masa dekadensi yang parah, hingga akhirnya tumbang.

—Ο—

 

Setelah Muawiyah II mangkat, situasi politik di dunia Islam semakin tidak menentu. Fregmentasi politik antar kelompok mengeras, namun miskin kader berkualitas yang memiliki kompetensi untuk didaulat menjadi khalifah. Hal ini terjadi bukan karena tidak adanya sosok berkualitas tersebut, tapi lebih pada perubahan paradigma di tengah masyarakat Muslim tentang standarisasi kualitas seorang khalifah.

Sebagaimana sudah kita ulas pada edisi sebelumnya, sejak Yazid bin Muawiyah menjadi khalifah, wibawa kursi khalifah terjun bebas. Tak ubahnya seperti kursi presiden atau perdana menteri saat ini. Logika kualitatif bergeser menjadi kuantitatif. Seorang calon khalifah tidak perlu cakap, berilmu, apalagi bertaqwa, tapi cukup memiliki dukungan dari banyak pihak. Maka yang muncul setelah itu adalah kisah tentang bagaimana mereka, para calon khalifah ini, mengadu jumlah perolehan dukungan dari berbagai wilayah Muslim. Salah satu caranya adalah dengan saling mengalahkan satu sama lain.

Terdapat tiga peta kekuatan besar di dunia Islam kala itu, yaitu Abdullah bin Zubair yang mendapat dukungan dari hijaz (Mekkah dan Madinah) dan Mesir; kekuatan politik Syiah atau pendukung anak keturunan Nabi Muhammad SAW yang ketika itu tersebar di Basrah, Kufah dan Iran (Persia); serta kekuatan politik Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, namun sedang dalam posisi status quo setelah ditinggal wafat oleh Muwiyah II.

Setelah Muawiyah II mangkat, maka Abdullah bin Zubair nyaris tanpa pesaing. Ditambah lagi kosongnya posisi khalifah dinasti Umayyah. Meski Bani Umayyah secara umum menolak memberikan baiatnya kepada Abdullah bin Zubair, namun kepala keluarga Bani Umayyah kala itu, Marwan bin Hakam, justru memberikan baiatnya secara pribadi kepada Abdullah. Bagi Abdullah bin Zubair, secara politis, pemberian baiat ini dianggapnya sebagai hal yang menjamin bahwa kekuatan Bani Umayyah tidaklah terlalu berbahaya untuk saat itu, meskipun yang lain masih menahan baiatnya.

Maka fokus Abdullah bin Zubair waktu itu lebih ke kawasan Persia, yaitu bagaimana menarik baiat dari para pendukung keluarga Nabi SAW. Salah satu hal lain yang penting adalah, Persia wilayah yang kaya. Masyarakatnya sangat kretif dan dinamis. Ilmu pengetahuan berkembang pesat, dan produktifitas masyarakatnya sangat tinggi, sehingga modal yang berputarpun sangat besar. Sedang di Mekkah dan Madinah, pusat kekuatan Abdullah bin Zubair, perekonomiannya tidak sebaik Persia dan Damaskus. Di antara ketiga peta kekuatan yang ada pada masa itu, hanya wilayah Hijaz yang secara ekonomi sangat minim. Maka wajar bila Abdullah bin Zubair demikian gencar ingin menundukkan wilayah Persia.

Ketika itu, kawasan Persia, khususnya Kufah, sedang dikuasai oleh sosok kuat bernama Mukhtar Tsaqafi. Di bawah kepemimpinannya semua pendukung keluarga Rasulullah SAW bergabung. Mereka menuntut balas atas semua kekejaman yang menimpa Husein bin Ali di Karbala. Semua yang terlibat dalam peristiwa tersebut diseret ke pengadilan, atau diperangi sampai binasa. Termasuk diantara mereka yang terbunuh dalam perburuan tersebut adalah tokoh-tokoh kunci seperti Umar bin Sa’ad dan Ubaidillah bin Ziyad. Namun akhirnya gerakan ini berhasil dikalahkan oleh Abdullah bin Zubair, yang akhirnya berkuasa di kawasan Persia dalam waktu yang juga tidak lama.[1]

Di Damaskus, setelah beberapa bulan terjadi kekosongan kepemimpinan, Bani Umayyah akhirnya mendaulat Marwan bin Hakam menjadi pemimpin mereka. Dengan pengangkatan ini, Marwan yang sebelumnya bermaksud menyerahkan baiatnya pada Abdullah bin Zubair, mencabut kembali baiatnya dan berbalik melawan Abdullah. Khalifah Marwan bin Hakam hanya berkuasa kurang dari satu tahun. Dia berhasil merebut wilayah Syam dan Mesir dari tangan pendukung Abdullah bin Zubair. Saat Marwan wafat, Abdullah bin Zubair masih berkuasa di Mekkah. Marwan kemudian digantikan oleh putranya, Abdul Malik.[2]

Tampilnya Marwan bin Hakam ke puncak kekuasaan Bani Umayyah menjadi titik balik yang penting dalam sejarah perkembangan dinasti ini selanjutnya. Naiknya Marwan menandai berakhirnya era kepemimpinan trah Abu Sufyan, dan beralih pada trah Hakam bin Abu Al-Ash. Dari Marwanlah nanti Khalifah Dinasti Umayyah terus mewaris hingga mencapai puncak kejayaannya, dan mengalami masa dekadensi yang parah, hingga akhirnya tumbang.

Silsilah Khalifah Bani Umayyah. Sumber gambar: http://ulfaahsy.blogspot.co.id

 

Menurut catatan banyak sejarawan, baik Marwan maupun ayahnya, adalah sosok yang kontroversial. Hakam, sebagaimana Abu Sufyan, adalah orang yang masuk Islam pada saat terjadinya penaklukkan kota Mekkah. Ia diriwayatkan pernah dikutuk Rasulullah SAW. Sedang Marwan sendiri, pada masa Rasulullah SAW diusir dari Madinah, dan baru diizinkan kembali ketika Utsman bin Affan menjadi Khalifah.

Nadirsyah Hosen dalam salah satu artikelnya mencatat tentang perdebatan Marwan dengan Ummul Mu’minim Aisyah binti Abu Bakar. Perdebatan ini menceritakan banyak hal tentang kedudukan Marwan bin Hakam, termasuk juga dinamika politik pada era sahabat: [3]

Dari Abdullah. Ia berkata: “Aku sedang berada di masjid ketika Marwan berkhutbah. Ia berkata: Sesungguhnya Allah SWT telah memberi kepada Amirul Mukminin, Muawiyah, pandangan yang baik tentang Yazid. Ia ingin mengangkatnya sebagai khalifah sebagaimana Abu Bakar dan Umar pernah melakukannya. Berkata Abdurrahman bin Abu Bakar: ‘Sungguh, Abu Bakar, demi Allah, tidak menyerahkannya kepada anaknya atau salah seorang di antara keluarganya. Sedangkan Muawiyah melakukannya karena sayang dan ingin memberikan anugrah kepada anaknya.”

Marwan yang tidak suka dengan reaksi tersebut berkata kepada Abdurrahman: Bukankah kamu yang dimaksud al-Quran sebagai “orang yang berkata kepada orangtuanya ‘cis bagi kalian’ (QS. Al-Ahqaf: 17)”. Abdurrahman membalas berkata: “Bukankah kamu anak orang terkutuk. Rasulullah saw melaknat bapakmu.”

Siti Aisyah yang mendengar perdebatan Marwan dan Abdurrahman bin Abu Bakar (saudara lelakinya Aisyah) berkata: “Hai Marwan. Demi Allah, ayat itu tidak turun kepada Abdurrahman. Tapi ayat yang ini justru turun untuk ayahmu: “Janganlah kamu menaati setiap tukang sumpah (palsu) yang hina, yang banyak mencela, yang ke sana kemari menyebar fitnah, yang melarang perbuatan baik, melampaui batas dan banyak berbuat dosa.” (Al-Qalam 10-12). Siti Aisyah melanjutkan, “Rasulullah SAW pernah melaknat ayah Marwan ketika Marwan berada dalam sulbinya. Engkau adalah pecahan laknat Allah”.

Sebagaimana dikatakan oleh Nadirsyah Hosen, kisah di atas cukup terkenal. Sejumlah kitab tafsir dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah menceritakan kisah tersebut dengan berbagai redaksi, seperti Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Razi, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Durr al-Mantsur.[4] (AL)

Bersambung…

Dinasti Umayyah (13): Abdul Malik bin Marwan Ayah Para Raja

Sebelumnya:

Dinasti Umayyah (11): Runtuhnya Marwah Khalifah

Catatan kaki:

[1] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 109-125

[2] Lihat, Nadirsyah Hosen, Khalifah Marwan bin Hakam dan Pohon Terkutuk dalam Qur’an, https://geotimes.co.id/kolom/politik/khalifah-marwan-bin-hakam-dan-pohon-terkutuk-dalam-quran/, diakses 24 Februari 2018

[3] Ibid

[4] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*