Ketika revolusi Abbasiyah sedang berada pada puncaknya di Khurasan, tersiar kabar bahwa Imam mereka, Ibrahim bin Muhammad wafat. Ini jelas menjadi pukulan telak bagi Abu Muslim. Tapi ravolusi harus tetap berlanjut. Dan sebagaimana amanat Muhammad bin Ali, tampuk kepemimpinan Bani Abbas setelah Ibrahim, sekarang beralih ke Abdullah Abu al Abbas, atau dikenal kemudian dengan julukan As Shaffah.
Pada tahun 130 H/ 748 M, Abu Muslim berhasil menguasai sepenuhnya Kota Merv. Abu Muslim lalu memerintahkan pada pengikutnya untuk melancarkan propaganda secara terbuka ke seluruh Khurasan. Dia menyeru agar semua masyarakat dan petinggi wilayah untuk tunduk dan bersatu dalam kepemimpinan baru Bani Abbas. Maka revolusi pun pecah di Khurasan. Faksi-faksi yang tadinya bersaing pun akhirnya merapatkan barisan pada gerakan ini. [1]
Masyarakat Khurasan yang sudah jengah dengan kesombongan Bani Umayyah dengan superiotis ras Arabnya, secara otomatis terbakar oleh gejolak revolusi yang disiarkan secara cepat ke segala penjuru. Ditambah lagi, revolusi itu menggunakan jargon untuk menegakkan negara yang berlandaskan Al Quran dan Sunnah, serta mengatasnamakan hak keluarga Muhammad Saw. Hanya saja, sampai saat itu, mereka belum tau, satu orang imam yang dimaksud dari keluarga Muhammad yang dimaksud.[2]
Sebagaimana sudah kita ulas dalam beberapa edisi sebelumnya, bahwa nama Imam Ahlul Bait yang dimaksud Bani Abbas tidak pernah dikemukakan secara luas. Bahkan hingga pada waktu Abu Muslim diperintahkan membentangkan spanduk hitam sebagai tanda dimulainya revolusi, nama Imam yang dimaksud tidak juga muncul. Taktik ini dijaga sedemikian rupa oleh para pendukungnya yang setia, dan tidak tersingkap sekalipun. Ini sebabnya narasi imamah yang dimaksud Bani Abbas ini pada masa selanjutnya memang seperti legenda yang dibuat oleh penguasa untuk melanggengkan legitimasi kekuasaannya.[3]
Sebagaimana yang terjadi dengan Ibrahim bin Muhammad, Imam Bani Abbas yang kedua. Sebagaimana dikisahkan oleh Tabari, demikian banyak riwayat yang mengisahkan tentang proses penangkapan Ibrahim bin Muhammad oleh khalifah terakhir Bani Umayyah, Marwan bin Muhammad (Marwan II). Tapi umumnya, semua menyatakan bahwa Ibrahim bin Muhammad digeladang ke hadapan Marwan II, lalu dipenjara.[4]
Setelah itu tersiar kabar tentang kematiannya. Tentang kapan, dan bagaimana proses kematiannya, sulit dipastikan. Ada yang mengatakan dia dibunuh tapi ada juga yang mengatakan dia wafat karena penyakit di dalam penjara.[5] Tapi yang jelas, sebagaimana amanat Muhammad bin Ali, imam pertama mereka, setelah Ibrahim bin Muhammad, yang menggantikannya adalah adiknya, yang bernama Abdullah Abu Al Abbas.[6]
Bagaimanapun, kematian Ibrahim bin Muhammad memberi pukulan tersendiri bagi pendukungnya di Khurasan, khususnya Abu Muslim. Oleh Ibrahim lah, Abu Muslim ditugaskan dan diberi pengarahan selama membangun revolusi di Khurasan – hingga akhirnya kekuatan Abbasiyah menjadi yang terkuat di kawasan tersebut. Tapi apapun yang terjadi, revolusi harus terus berlanjut.[7]
Abu Muslim segera mengerahkan anah buahnya untuk memburu Nasr bin Sayyar, gubernur Dinasti Umayyah yang disingkirkannya, dan merupakan satu-satunya musuh terakhir di kawasan Khurasan. Nasr bin Sayyar sendiri, berlarian dari satu kota ke kota lain guna menghindari pengejaran. Dia sudah berkali-kali memohon bantuan pada pemerintah Dinasti Umayyah dan berkali-kali itu pula pasukannya dikalahkan. Hingga akhirnya, dia menderita sakit dan meninggal dunia di daerah Rayy (Iran) pada tahun 131 H.[8]
Dengan wafatnya Nasr bin Sayyar, praktis tidak ada lagi kekuatan yang setara dengan kekuatan Bani Abbas yang dipimpin oleh Abu Muslim di Khurasan. Abu Muslim pun memerintahkan pengikutnya untuk segera menuju Persia, dan menduduki Kufah, kota paling penting di Persia masa itu.[9]
Kota Kufah adalah basis kekuatan para pendukung Ahlul Bait Rasulullah Saw. Mereka umumnya adalah kelompok yang masih melihat bahwa kepemimpinan haruslah berasal dari trah Ali dan Fatimah. Pada masa ini, yang secara definitif diakui sebagai Imam oleh para pendukung Ahlul Bait, adalah Imam Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Atau dikenal dengan sebutan Imam Ja’far Al Shadiq.[10]
Sebagaimana di Khurasan, di Persia juga gerakan anti pemerintah berkembang pesat. Hanya saja pada waktu itu, Imam Ja’far tidak melihat kesungguhan dan ketulusan dari dukungan masyarakat kepadanya. Gerakan yang mereka lakukan hanyalah ekspresi dari semangat yang sama dengan yang dimiliki Bani Umayyah, yaitu semangat untuk memenangkan ego kelompoknya (Ashobiyah), dan ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam.[11]
Untuk itulah Imam Ja’far lebih memilih jalur pengajaran, yang merupakan sarana penting untuk menumbuhkan kembali pandangan dunia tauhid yang sudah banyak ditinggalkan pada masa itu. Sebagaimana sejarah
kemudian mencatat, Imam Ja’far Al Shadiq dikenal sebagai salah satu ulama terkemuka dalam dunia Islam. Dari madrasah yang dibinanya, telah lahir banyak ulama dan ilmuwan yang memiliki pengaruh luas baik dalam studi keislaman maupun dalam meletakkan dasar peradaban modern.[12] Dari dialah kemudian lahir Mahzab Ja’fariyah, yang menjadi salah satu mazhab paling besar dan diakui dalam dunia Islam.[13] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVII., The `Abbasid Revolution, Translated by John Alden Williams, State University of New York Press, 1990. Hal. 101
[2] Lihat, Mahayudin Hj Yahaya, The Social and Political Background of the `Abbasid Revolution: The Rise of the `Abbasid Caliphate, International Journal of Humanities And Cultural Studies ISSN 2356-5926, Volume 2, Issue 3 December 2015, hal. 839
[3] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVII., The `Abbasid Revolution, Op Cit, Catatan kaki No. 365, hal. 148
[4] Ibid, hal. 148-150
[5] Ibid, hal. 166
[6] Pada tahun 124 H, Muhammad bin Ali meninggal dunia. Tapi sebelum kematiannya, dia menitipkan pesan pada para pengikutnya, bahwa yang menggantikan dia sebagai Imam secara berturut-turut adalah putra-putranya, yaitu: Ibrahim, Abdullah Abu Al Abbas (kelak bergelar As Saffah), dan Abdullah Abu Ja’far (kelak bergelar Al Mansyur). Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, Calcutta, S.K. Lahiri & Co, 1902, hal. 231
[7] Lihat, Mahayudin Hj Yahaya, Op Cit.
[8] Nasr bin Sayyar mengalami kekalahan telak dari pasukan Abu Muslim yang dipimpin oleh Qahtaba bin Shabib dalam pertempuran Jurjan. Ketika itu dia didukung oleh kekuatan gabungan Dinasti Umayyah yang datang baik dari Suriah maupun Kufah. Nasr bin Sayyar kehilangan sekitar 10.000 prajuritnya. Kekalahan ini sekaligus menandai berakhirnya kekuatan Bani Umayyah di Khurasan. Setelah kekalahan di Jurjan, Nasr melarikan diri ke daerah bernama Khawarurrai, dan diburu oleh utusan Abu Muslim. Dia kembali melarikan diri ke daerah Rayy, lalu ke Sada, dan akhirnya wafat di tengah padang pasir antara wilayah Rayy dan Hamadhan. Lihat, Ibid, hal. 124-125. Lihat juga, Lihat, Huzaifa Aliyu Jangebe, The Legendary Hero of Abbasid Propaganda, IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS) Volume 19, Issue 1, Ver. III (Jan. 2014), PP 05-13 e-ISSN: 2279-0837, p-ISSN: 2279-0845. www.iosrjournals.org.
[9] Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit, hal. 280
[10] Lihat, Huzaifa Aliyu Jangebe, Op Cit
[11] Lihat, Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit, hal. 281
[12] Beberapa murid Imam Ja’far Shadiq yang terkenal antara lain; Sufyan ats-Tsuri, Abu Hanifah (Imam Mahzab Hanafi), Malik bin Anas (Imam Mahzab Maliki), dan Jabir bin Hayan Kufi (seorang ahli kimia, di Eropa di kenal dengan nama Geber).
[13] Lihat, The Three Points of The Amman Message V.1, http://ammanmessage.com/the-three-points-of-the-amman-message-v-1/, diakses 27 Fabruari 2019