Dinasti Abbasiyah (20): Abdullah Abu Ja’far (Al-Manshur) (5)

in Sejarah

Last updated on March 19th, 2019 05:56 am

Setelah menyingkirkan semua pesaingnya, Al-Manshur mulai fokus menundukan wilayah-wilayah di sekitarnya, serta menyatukan kembali dunia Islam ke dalam satu sistem kepemimpinan. Dan untuk melestarikan kekuasaannya, dia mencopot Isa bin Musa dari posisi sebagai putra mahkota, serta menggantinya dengan putranya yang bernama Al-Mahdi.

Gambar ilustrasi. Sumber: weaponsandwarfare.com

Setelah berhasil membunuh Abu Muslim, dan menghabisi keturunan Ali bin Abi Thalib, Al-Manshur sudah berhasil mengukuhkan kedudukannya dan Dinasti Abbasiyah di tengah masyarakat. Dan untuk memastikan pengaruhnya terus berkembang, dia mulai menggelar ekspedisi militer guna menaklukkan negara-negara sekitarnya.

Pada tahun 147 H, Al-Manshur memecat pamannya, Isa bin Musa dari posisinya sebagai putra mahkota. Sebagaimana sudah kita ulas sebelumnya, sebelum kematiannya, As-Saffah telah mewasiatkan secara resmi Isa bin Musa sebagai khalifah setelah Al-Manshur. Isa inilah pemimpin tertinggi dalam misi memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh Muhammad dan Ibrahim, serta menghancurkan kekuatan para pendukung keturunan Ali bin Abi Thalib. Namun balasan atas kemenangan yang sudah diraihnya, justru pemcopotan kedudukannya dari posisi sebagai putra mahkota. Setelah berhasil menggeser posisi Isa bin Musa, Al Manshur mengangkat putranya yang bernama Al-Mahdi sebagai putra mahkota.[1]

Pada tahun 148 H, semua kerajaan kecil telah berada di bawah kendali Al-Manshur. Saat itulah dia menjadi pemimpin yang disegani dan menebarkan kharisme yang luar biasa. Kota-kota besar tunduk di bawah kekuasaannya, dan menyatakan kesetiaannya. Tidak ada wilayah Islam yang memisahkan diri, kecuali Andalusia yang ketika itu dikuasai oleh Dinasti Umayyah II yang didirkan Abdurrahman bin Mu’awiyah. Namun Abdurrahman dan keturunannya tidak pernah menyebut dirinya Amirul Muknimin, melainkan “Amir” saja. Layaknya panggilan gubernur di wilayah.[2]

Selain capaian-capaian besar di bidang politik, berdasarkan catatan sejarah, pada masa pemerintahan Al-Manshur inilah dimulainya penulisan hadist-hadist Rasulullah Saw, pengumpulan khazanah Islam, serta membuat standar acuan pemikiran Islam di bidang fiqih dan tafsir. Kebijakan ini didorong oleh maraknya paham-paham baru yang dianggap sesat oleh khalifah, dan dirasa mengancam otentisitas agama.

Salah satu yang cukup terkenal, adalah lahirnya sekte Rawandiyah yang menganuh paham reinkarnasi. Sekte ini berhasil ditumpas oleh Al-Manshur. Namun yang kemudian terjadi, justru semakin banyak bermunculan pemikiran menyimpang dari tuntunan Al-Quran dan al Sunnah. Akibatnya, menurut al Maududi, kejahatan merajarela. Dampaknya tidak hanya pada penyebarluasan kerusakan akhlaq atau akidah saja, tapi juga berhasil mencabik-cabik persatuan masyarakat dan negara Islam sehingga mejadi terpecah berkeping-keping.[3]

Atas dasar itu, menurut Imam as Suyuthi mengutip Adz-Dzahabi berkata, bahwa pada tahun 143 H, para ulama memulai penulisan hadist-hadist Rasulullah, fiqih, dan tafsir. Waktu itu Ibnu Juraij menulis di Mekkah, Malik (bin Anas) di Madinah, Al-Auzai di Suriah, Ibnu Abi Arubah, Hammad bin Salamah, dan koleganya menulis di Basrah, Ma’mar menulis di Yaman, Sufyan Ats-Tsauri di Kufah. Ibnu Ishaq saat itu menulis kita Al-Maghazi, Imam Abu Hanifah menulis masalah fiqih. Tak lama setelah itu Hasyim, Al-Laits, dan Ibnu Lahi’ah melakukan tindakan yang sama. Disusul oleh Ibnu Mubarak, Abu Yusuf dan Ibnu Wahab.[4]

Dengan kata lain, pada masa ini ilmu-ilmu keislaman berkembang pesat. Bahasan-bahasan tentang bahasa Arab mulai dibukukan, demikian pula sejarah dan kehidupan bangsa-bangsa. Sebelum masa ini, para imam/ulama bicara tentang ilmu berdasarkan hafalan di kepala mereka dan melihat ilmu dari mushaf-mushaf yang berlum terstruktur.[5]

Hanya memang, patut juga dipertanyakan; munculnya gairah yang luar biasa dari para ulama tersebut, apakah benar karena adanya dorongan dari khalifah Al-Manshur, atau justru sebagai bentuk perlawanan dari sistem yang dikembangkan dari dalam istana sendiri? Karena sebagaimana menurut Al-Maududi, istana khalifah Abbasiyah adalah sumber dari semua kekacauan pemahaman agama Islam. Ketika itu, nyaris seluruh aparatur pemerintahan Al-Manshur diisi oleh non-Arab yang menganut paham anti-Arab (Shu’ubiyah).[6]

Mengenai hal ini, Al-Maududi mengutip dari kitab Tarikh al-Wuzara karya Al-Jahsyiari, “Mengenai pejabat-pejabat Al-Manshur, kita akan mendapati bahwa hampir semua dari mereka adalah orang-orang non-Arab, yang dengan segenap otoritas di tangannya secara aktif menyebarkan paham shu’ubiyah di mana-mana. Gerakan ini pada awalnya dimulai dengan pengertian bahwa ‘tidak ada keutamaan bangsa Arab atas bangsa ajam (non-arab).’ Namun segera setelah itu ia diwarnai dengan paham anti-Arab, sehingga banyak buku tebal dikarang orang untuk merendahkan bangsa Arab, bahkan menjelek-jelekan suku Quraisy secara keseluruhan. Tapi yang jauh lebih berbahaya dari itu, gerakan ini telah membawa virus-virus kaum zindiq, atheisme, dan permisivisme (keserbabolehan).”[7]

Dari sini, kita bisa menduga, meningkatnya gerakan para ulama membukukan serta mensistematisasi pokok-pokok ajaran agama, adalah bentuk lain dari metode perlawanan terhadap prilaku penguasa dan aparaturnya. Lagi pula, sebagaimana kemudian terjadi, para ulama-ulama terkemuka yang tadi disebut oleh As Suyuthi umumnya dibunuh dan disiksa oleh Al-Manshur. Diantaranya Abu Hanifah (Imam mahzab Hanafi), Abdul Hamid ibn Ja’far, Ibnu Ajian, dan Imam Malik bin Anas (Imam Mahzab Maliki). Salah satu alasan dihukumnya Imam Malik bin Anas, karena dia memperbolehkan pemberontakan terhadap pemerintahan Al-Manshur. Pada saat ditanyakan kepadanya, “bukankah kita terikat bai’at pada Al-Manshur?’ dia menjawab, “Kalian membaiatnya dengan terpaksa dan  sumpah orang-orang yang terpaksa tidak terkena denda.”[8]

Bahkan di akhir-akhir masa pemerintahannya, sekitar tahun 158 H, Al-Manshur masih sempat menginstruksikan kepada pejabatnya di Mekkah untuk memenjarakan Sufyan Ats-Tsauri dan Abbas bin Katsir. Keputusan apa yang akan dilakukan kepada kedua orang ulama itu, masih menunggu Al-Manshur tiba di Mekkah. Ketika itu adalah musim haji. Orang-orang khawatir kedua ulama itu akan dibunuh oleh Al-Manshur sembari menunaikan ibadah haji. Tapi rupanya Allah SWT tidak memberi kesempatan pada Al-Manshur untuk sampai ke Mekkah. Karena dia keburu wafat dalam perjalanan. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, Jakarta, Qisthi Press, 2017, hal. 283

[2] Ibid

[3] Lihat, Abul A’la Al-Maududi, “Khalifah dan Kerajaan; Konsep Pemerintahan Islam serta Studi Kritis terhadap ‘Kerajaan’ Bani Umayyah dan Abbasiyah.” Bandung, Kharisma, 2007, hal. 236

[4] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, Jakarta, Qisthi Press, 2017, hal. 282

[5] Ibid

[6] Lihat, Abul A’la Al-Maududi, Op Cit, hal. 233-234

[7] Ibid

[8] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit, hal. 283 5

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*