Dinasti Abbasiyah (26): Musa Al-Hadi (1)

in Sejarah

Last updated on April 5th, 2019 06:32 am

Menurut Tabari, segera tibanya Al-Hadi di Baghdad, dia tidak langsung menemui masyarakat. Tapi justru menghabiskan waktu bercengkrama dengan salah satu budak perempuannya. Beberapa hari setelahnya, barulah dia menunjukkan dirinya ke depan publik


Gambar ilustrasi: republika.co.id

Nama lengkapnya adalah Musa bin Muhammad (Al-Mahdi) bin Abdullah (Al-Manshur) bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas. Atau lebih dikenal dengan nama Al-Hadi. Dia lahir pada tahun 147 H di Rayy (Iran) dari seorang ibu bernama Khaizuran. Ibunya berasal dari Barber, Afrika Utara. Sebelumnya, dia adalah seorang budak, yang kemudian dinikahi oleh Al-Mahdi. Setelah Al-Mahdi wafat, Khaizuran memiliki pengaruh yang sangat besar di dalam istana. Menurut As-Suyuthi, ibunya bahkan ikut mengatur urusan-urusan politik dan kenegaraan. Hal ini yang nantinya membuat Al-Hadi jengkel padanya.[1]

Menurut riwayat Tabari, segera setelah selesai mengurus jenazah Al-Mahdi, Harun kemudian mengabarkan berita duka ini kepada saudaranya, Musa Al-Hadi yang ketika itu masih berada di Jurjan. Mendapat kabar ini, Al-Hadi langsung memproklamirkan dirinya sebagai Khalifah Abbasiyah yang baru di hadapan seluruh pasukan dan khalayak ramai. Dan dia meminta sumpah setia dari mereka semua atas kedudukannya.[2]

Dua puluh hari kemudian Al-Hadi tiba di Baghdad, dan langsung menjabat sebagai khalifah ke empat Dinasti Abbasiyah. Surat-surat pun dikirimkan ke semua gubernur di seluruh wilayah yang berisi informasi tentang berita ini, sekaligus meminta baiat dari mereka semua.[3] Singkat kata, tak ada gejolak politik yang cukup berarti selama proses transisi ini. Meski beberapa waktu sebelumnya internal istana disibukkan dengan isu pengalihan posisi putra mahkota, tapi setelah Musa bin Al-Hadi datang, semua memberikan sumpah setia mereka. Karena secara legal dialah yang diterima oleh publik sebagai putra mahkota, sehingga berhak atas tahta khalifah.

Memang sempat ada semacam ketegangan ketika transisi berlangsung. Ketika tersiar kabar tentang wafatnya Al-Mahdi, para pejabat istana umumnya berada dipihak Harun Al-Rasyid. Mereka sempat berencana untuk mengalihkan tampuk kekhalifahan pada Harun, tapi rencana ini mampu diredam oleh penasehat Harun Al-Rasyid yang bernama Yahya bin Khilid al Barmaki. Pendapat Yahya ini juga diamini oleh sebagian tokoh Bani Abbas seperti Al-Rabi yang merupakan wazir Al-Mahdi. Sehingga dalam proses transisi ini, justru Harun lah yang berininsitif mengamankan posisi khalifah untuk Al-Hadi. Dengan ditemani oleh wazir ayahnya, Al-Rabi, Harun meminta baiat dari semua orang untuk kakaknya dan juga dirinya sebagai putra mahkota. Setelah itu Harun memegang kendali pemerintahan sambil menunggu kakaknya kembali ke Baghdad. [4]

Tapi sayangnya, desas-desus tentang adanya konspirasi di antara mereka sampai ke telinga Al-Hadi. Sehingga ketika Al-Hadi sampai ke Baghdad dengan pasukannya yang sangat besar, Al-Hadi langsung memanggil Al-Rabi untuk dimintai keterangan. Kemudian Al-Rabi menjelaskan dengan diplomatis apa yang sebenarnya terjadi, dan Al-Hadi menerima alasannya. Pada saat itu juga Al-Rabi diangkat menjadi wazir Al-Hadi, dan diminta melayaninya sebagaimana dulu dia melayani ayahnya.[5]

Menurut Tabari, segera tibanya Al-Hadi di istana Baghdad, dia tidak langsung menemui masyarakat. Tapi justru menghabiskan waktu bercengkrama dengan salah satu budak perempuannya. Ternyata selama dia bertugas ke Jurjan, dia selalu merindukan perempuan ini setiap saat. Maka ketika sampai di Baghdad, Al-Hadi langsung mengunjungi perempuan tersebut serta menghabiskan waktu siang dan malam bersamanya. Beberapa hari setelahnya, barulah dia menunjukkan dirinya ke depan publik.[6]

Menurut riwayat Imam As-Suyuthi, “Al-Hadi gemar mabuk, bermain-main, menunggang keledai, sangat cekatan dan tidak melaksanakan tugas-tugas khalifah dengan baik…. Lebih jauh, dia adalah seorang khalifah yang zalim. Di sisinya selalu ada pengawal dengan pedang yang mengerikan dan tiang-tiang terpancang. Apa yang dia lakukan banyak diikuti oleh bawahannya. Tak heran jika pada zamannya senjata banyak dijumpai. Kendati demikian, dia dikenal sebagai khalifah yang berpengetahuan luas, fasih lidahnya, pandai bicara, kharismatik, dan punya pengaruh, keberanian, dan sifat ksatria.”[7]

Meski demikian, menurut As-Suyuthi, Al-Hadi dikenal sebagai khalifah yang berpengatahuan luas, fasil lidahnya, pandai bicara, amat kharismatik, dan punya pengaruh, keberanian, serta sifat ksatria. Selain dikenal dengan nama Al-Hadi, dia juga sering dipanggil Athbiq (tutuplah), dikarenakan bibir atasnya sumbing. Sejak kecil ayahnya telah mengambil pelayan untuk menemani dan merawatnya. Setiap kali sang pelayan melihat mulut Al-Hadi terbuka, dia berkata, “Athbiq!” mendengar ucapan itu, dia akan segera menutup mulutnya. Oleh karena itu, orang-orang memanggilanya Musa Athbiq.[8] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, Jakarta, Qisthi Press, 2017, hal. 301

[2] The History of al-Tabari, VOLUME XXX, The Abbasid Caliphate in Equilibrium, translated and annotated by C. E. Bosworth, State University of New York Press, 1995, hal. 3

[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, hal. 333

[4] The History of al-Tabari, VOLUME XXX, Op Cit, hal. 4-8

[5] Ibid, hal. 9

[6] Ibid, hal. 10

[7] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit, hal. 301-302

[8] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*