Pada era pemerintahan Al-Hadi kondisi hubungan antara Bani Abbas dengan anak keturunan Ali bin Abi Thalib kembali memburuk. Hal ini berujung pada pemberontakan yang dipimpin oleh sosok bernama Husein bin Ali (keturunan Sayyidina Ali dari jalur Al-Hasan).
Al-Hadi diwasiatkan ayahnya agar meneruskan upaya pemurnian agama, dan membasmi kaum zindiq. Dia pun mematuhi perintah ini. Tapi sayangnya, dia tidak melakukannya dengan cara yang cerdik seperti ayahnya. Dia menjawab permintaan ini dengan cara yang sangat brutal. Selama masa pemerintahannya, kaum zindiq diburu lalu dieksekusi mati. Bahkan mereka yang terindikasi menyimpang dari agama pun dieksekusi mati olehnya. Sebagaimana dikisahkan oleh Tabari; suatu hari seorang bernama Yazdan bin Badhan, terdengar mencela orang-orang yang sedang tawaf mengelilingi Ka’bah. Seseorang kemudian melaporkan hal ini pada Al-Hadi. Yazdan pun langsung dihukum mati, demikian juga dengan beberapa orang yang bersama dan diindikasikan menyetujui ucapan Yazdan.[1]
Imam As-Suyuthi juga mengisahkan dengan riwayat dari Ash-Shuli, berkata:“bahwa suatu hari kami menemui Al-Hadi sebagai saksi untuk seorang lelaki yang mencela seorang Quraisy hingga dia menyebutkan Rasulullah. Lalu Al-Hadi menempatkan kami dalam suatu majelis yang dihadiri oleh para ahli fikih zaman itu. Dia menghadirkan orang tadi lalu memberi kesaksian. Kami melihat wajah Al-Hadi berubah. Dia menundukkan kepalanya lalu mengangkatnya kembali seraya berkata:’Aku mendengar ayah ku, Al-Mahdi, meriwayatkan hadist dari ayahnya Al-Manshur, dari ayahnya Muhammad, dari ayahnya Ali, dari ayahnya Abdullah bin Abbas, dia berkata:’siapa yang merendahkan orang-orang Quraisy, dia akan merendahkan Allah.’ Adapun engkau, hai musuh Allah, engkau tidak rela pada orang-orang Quraisy saja hingga sampai menyebut nama Nabi. Penggal kepalanya!”[2]
Pada era pemerintahan Al-Hadi kondisi hubungan antara Bani Abbas dengan anak keturunan Ali bin Abi Thalib kembali memburuk. Setelah sebelumnya selama era Al-Mahdi hubungan antara dua kekuatan utama Bani Hasyim ini sempat diperbaiki. Menurut Akbar Shah Najeebabadi, Al-Mahdi belajar dari konflik antara Bani Abbas dengan anak keturunan Ali di masa Al-Manshur. Dari sana dia menilai bahwa berurusan dengan darah keturunan Ali bin Abi Thalib, tidak akan baik bagi kelangsungan kekuasaannya. Ini sebabnya Al-Mahdi lebih memilih merangkul mereka dan memperlakukan mereka dengan baik.[3] Tapi pertimbangan sejenis ini, agaknya tidak ada dalam benak Al-Hadi.
Di era Al-Hadi, terjadi lagi pemberontakan yang dilakukan anak keturunan Ali bin Abi Thalib yang dipimpin oleh sosok bernama Husein bin Ali bin Hasan bin Hasan bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Sebab awal pemberontakannya terjadi ketika gubernur Madinah yang ditunjuk oleh Al-Hadi, bernama Umar bin Abdul Aziz, menangkap Abu Al-Zift Hasan bin Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan (anak Muhammad bin Abdullah yang pernah melakukan pemberontakan pada masa kekhalifahan Al-Manshur).[4] Dia bersama Muslim bin Jundub (seorang penyair), dan Umar bin Sallam (seorang maula keluarga Umar bin Khattab) ditangkap karena kedapatan sedang minum anggur (nabidb).[5]
Ketiga orang ini kemudian dipukuli, lalu diikat lehernya oleh aparatur Al-Hadi, kemudian diarak keliling Kota Madinah. Melihat kejadian ini, Husein bin Ali mendatangi Umar bin Abdul Aziz mengajukan protes. Dia mengatakan bahwa, “memukulnya saja, kalian tidak berhak setelah alim ulama Kufah tidak melarang meminum nabidb. Lalu mengapa kalian malah mengaraknya keliling kota?!” Mendengar protes dari Husein bin Ali, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar menghentikan arakan para terdakwah tersebut. Tapi mereka kemudian dijebloskan ke dalam penjara.[6]
Melihat hal tersebut, Husein bin Ali bersama beberapa kerabatnya kembali mendatangi Umar bin Abdul Aziz. Mereka mengajukan protes dan meminta agar saudara mereka dibebaskan. Untuk itu, Husein memberikan jaminan bahwa Hasan bin Muhammad akan bersikap baik dan akan mematuhi peraturan. Mendapat jaminan dari Husein, Umar kemudian membebaskan Hasan. Tapi Hasan dikenai wajib lapor setiap hari kepada pemerintah. Maka merekapun sepakat. [7]
Tapi yang terjadi kemudian, Hasan malah menghilang, dan selama tiga hari berturut turut tidak melapor ataupun diketahui kabarnya. Umar bin Abdul Aziz memerintahkan aparaturnya agar segera mendatangi Husein bin Ali dan meminta pertanggungjawaban atas jaminannya. Husein sebenarnya tidak memiliki jawaban atas masalah ini. Dia hanya menggatakan bahwa Hasan kemungkinan sedang sakit. Tapi alasan ini ditolak oleh Umar dengan kasar dan kata-kata penghinaan yang melampaui batas. Mendengar ini, Yahya bin Abdullah bin Hasan (paman dari Hasan bin Muhammad bin Abdullah) langsung bereaksi. Dia bersumpah tidak akan tidur sebelum membawa Hasan bin Muhammad ke hadapan Umar secepatnya.[8]
Mendengar sumpah dari Yahya, Umar pun pergi. Tapi setelah itu, Husein bin Ali protes. Bagaimana mungkin Yahya bersumpah untuk sesuatu yang dia tidak bisa penuhi? Karena mereka pun tidak mengetahui dimana sebenarnya Hasan bin Muhammad berada. Maka terjadilah perdebatan di antara mereka. Hingga akhirnya, mereka tidak melihat jalan lain, kecuali dua; mereka akan dihukum mati, atau melawan. Mereka memilih yang kedua.[9] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan
kaki:
[1] The History of al-Tabari, VOLUME XXX, The Abbasid Caliphate in Equilibrium, translated and annotated by C. E. Bosworth, State University of New York Press, 1995, hal. 11
[2] Imam As-Suyuthi menyebutkan bahwa ini adalah salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Al-Hadi. Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, Jakarta, Qisthi Press, 2017, hal. 304
[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, hal. 335
[4] Tentang pemberontakan Muhammad bin Abdullah yang terjadi pada masa Al-Manshur, Lihat, edisi ke-19 serial ini. Bisa diakses melalui link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-19-abdullah-abu-jafar-al-manshur-4/
[5] Yang dimaksud anggur di sini adalah nabidb, yaitu sejenis minuman fermentasi yang terbuat dari kurma (date wine). Menurut pendapat ahli fiqih di Kufah pada masa itu, bahwa minuman ini tidak haram hukumnya. Dalam catatan kaki riwayat Tabari dikatakan, bahwa Mahzab Hanafi membolehkan meminum nabidb asalkan dalam takaran tertentu dan untuk keperluan pengobatan. Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, Op Cit, hal. 16
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid, hal. 17
[9] Ibid, hal. 18