Masih di tahun 187 H, Harun Al-Rasyid mendapat surat dari Kaisar Bizantium yang baru bernama Nicephorus I. Surat itu berisi pembatalan sepihak kesepakatan antara Dinasti Abbasiyah dengan penguasa Bizantium sebelumnya, Ratu Augusta (Barat: Irine). Begitu selesai membaca surat ini, tubuh Harun Al-Rasyid bergetar karena marah.
Setelah seluruh keluarga Barmaki dilenyapkan, Harun Al-Rasyid sekarang benar-benar “seorang sendiri” menjalankan roda pemerintahan. Dia menjadi penguasa yang mutlak atas jutaan hektar wilayah yang membentang dari timur ke barat. Tak lama setelah itu, datanglah laporan ke teliga Harun, bahwa Abdul Malik bin Salih – yang kini menjadi penguasa Suriah dan Al-Jazirah (atas nama Al-Qasim bin Harun Al-Rasyid) – telah menggalang kekuatan dan meminta baiat para tokoh di sana agar setia pada Al-Qasim setelah wafatnya Harun Al Rasyid.[1]
Sebagaimana sudah dikisahkan sebelumnya, Al-Qasim adalah putra mahkota ketiga Abbasiyah. Sebelum dia, masih ada Al-Ma’mun, dan tentu saja Al-Amin yang berhak atas tahta setelah Harun Al-Rasyid. Tapi isu yang beredar mengatakan Abdul Malik berencana melompati urutan ini. Adapun yang mengadukan tentang rencana Abdul Malik ini tidak lain adalah sekretaris Abdul Malik dan juga putra Abdul Malik sendiri. Bagi Harun Al-Rasyid, kedua saksi ini sudah cukup memadai untuk memastikan skandal yang sedang dilakukan oleh Abdul Malik.[2]
Abdul Malik bin Salih kemudian ditangkap, lalu dihadapkan ke muka pengadilan. Tapi dia secara tegas membantah semua tuduhan yang diberikan padanya. Harun tidak memiliki bukti yang cukup, namun saksi-saksi sangat memberatkan Abdul Malik. Dan secara politik, tuduhan yang diajukan ke Abdul Malik sangat serius dan beresiko tinggi bagi masa depan kekuasaannya. Harun merasakan ada beban kekhawatiran dalam dirinya yang sangat mungkin mempengaruhi keputusannya dalam hal ini.[3]
Dalam situasi seperti ini, dia kehilangan pegangan, dan akhirnya memerintahkan pada anak buahnya agar memanggil Yahya bin Khalid, yang ketika itu sedang mendekam di dalam penjara. Harun kemudian menanyakan pendapat Yahya mengenai perkara ini. Dia meminta Yahya berkata jujur dan memberikan masukan yang ideal atas perkara yang dihadapinya. Sebagai imbalannya, Harun berjanji akan membebaskannya dari penjara.
Tapi Yahya agaknya tidak tergiur dengan tawaran Harun Al-Rasyid. Dia menjawab apa adanya, bahwa dia tidak mengenal dekat Abdul Malik bin Salih. Yahya malah memuji sikap Abdul Malik yang tetap kukuh dengan pendiriannya, bahwa dia tidak ada maksud melakukan makar pada khalifah. Dia bahkan mengatakan bahwa kemarahan dalam diri Harun lahir dari kekhawatiran dan rasa iri atas kebijaksaan yang dimiliki oleh Abdul Malik. Terang saja Harun Al-Rasyid murka mendengar keterangan ini. Dia kemudian mengancam akan membunuh anak-anak Yahya.[4]
Tak lama setelah itu, Harun memerintahkan prajuritnya agar memanggil Fadl bin Yahya ke hadapannya. Fadl yang merasa bahwa ajalnya sudah dekat, memohon izin seraya berpamitan pada ayahnya. Menurut Tabari, ketika itu prajurit menarik paksa Fadl dari ayahnya. Melihat kejadian ini Yahya sangat marah, lalu dia berkata para prajurit tersebut, “Katakan pada raja mu, bahwan anak-anaknya kelak akan mengalami kematian seperti Fadl!”[5]
Kata-kata Yahya ini kemudian benar-benar disampaikan pada Harun Al-Rasyid. Mendengar ucapannya Yahya tersebut, Harun gemetar, lalu berkata, “jujur aku takut dengan apa yang dikatakan Yahya. Karen dia sangat jarang mengatakan sesuatu kecuali aku akan mengalaminya langsung nantinya.”[6]
Akhirnya Fadl dilepaskan, dan dikembalikan ke dalam sel penjara bersama ayahnya. Adapun Abdul Malik bin Salih, dia akhirnya diputus bersalah, dan ditahan di dalam penjara hingga nanti wafatnya Harun Al-Rasyid. Kelak pada masa pemerintahan Al-Amin, dia bebaskan dari tahanan oleh Al-Amin dan menjadi pengikut setia Al-Amin hingga akhir hayatnya.
Surat dari Bizantium
Masih di tahun 187 H, Harun Al-Rasyid menerima surat dari Kaisar Romawi yang baru, Nicephorus I (802-811 M).[7] Surat itu berisi pembatalan sepihak kesepakatan antara kaum Muslimin dan penguasa Romawi sebelumnya, Ratu Augusta (Barat: Irine). [8] Surat itu berbunyi sebagai berikut:
“Dari Nicephorus Kaisar Bizantium kepada Harun Raja Arab. Sesungguhnya, sang ratu yang berkuasa sebelum aku telah mendudukan mu layaknya benteng (dalam permainan catur), dan dirinya sendiri layaknya bidak. Dia memberikan harta kekayaannya kepadamu dikarenakan kelemahan dan kebodohan perempuan. Sekarang, setelah kamu selesai membaca surat ini secara seksama, segera kembalikan semua uang sudah dia kirimkan, dan tebuslah semua itu secepat mungkin. Kalau tidak, maka pedanglah yang akan berbicara di antara kita!”[9]
Begitu selesai membaca surat ini, tubuh Harun Al-Rasyid bergetar karena marah. Tak seorang pun berani memandang wajahnya atau berbicara padanya. Pelan-pelan semua menyingir karena tahut terkena amukannya. Dia lalu meminta tinta dan segera menulis surat balasan, yang isinya sebagai berikut:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Harun Al-Rasyid, pemimpin kaum Muslimin kepada Nicephorus, anjing Bizantium: Wahai anak dari perempuan kafir, aku telah membaca suratmu dengan jelas. Adapun jawabannya, akan kau saksikan sendiri, bukan kau dengar. Salam!” [10]
Hari itu juga Harun Al-Rasyid menyiapkan bala tentaranya, lalu berderap menuju Bizantium. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan
kaki:
[1] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, The Abbasid Caliphate in Equilibrium, translated and annotated by C. E. Bosworth, (State University of New York Press, 1995), hal. 230
[2] Ibid, hal. 231
[3] Ibid, hal. 234-235
[4] Ibid, hal. 236
[5] Ibid, hal. 237
[6] Ibid
[7] Nicephorus putra Stauracius. Sejarawan arab menyebutnya Nigfur bin Istabraq. Lihat. Ibid, hal. 239
[8] Pada tahun 165 H, Harun bersama 100.000 pasukan menyerang Bizantium. Ketika itu pemimpin tertinggi Romawi adalah Ratu Augusta (Barat: Irine), yang merupakan janda dari Kaisar Leo. Ratu Augusta terpaksa memimpin Romawi, karena putranya, yang tidak lain adalah pewaris tahta, masih berusia sangat muda. Sehingga dia untuk sementara waktu menggantikan tugas-tugas pemerintahan. Melihat kekuatannya sudah terdesak, Ratu Augusta memutuskan berdamai. Harun pun memenuhi permintaan tersebut dengan syarat, bahwa Ratu akan memberikan akses seluas-luasnya pada kaum Muslimin untuk berdagang di wilayah kekuasaannya. Di samping itu, Bizantium dikenai kewajiban membayar upeti sebenar 90.000 atau 70.000 Dinar setiap tahun kepada Abbasiyah. Uang inilah yang diminta kembali oleh Nicephorus I dalam suratnya tersebut. Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta, Qisthi Press, 2017), hal. 308. Lihat juga, Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXIX, Al-Mansur and al-Mahdi, translated and annotated by Hugh Kennedy, State University of New York Press, 1995, hal, hal. 220-221
[9] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, Op Cit, hal. 238
[10] Ibid �: