Dinasti Abbasiyah (41): Harun Al-Rasyid (12)

in Sejarah

Last updated on May 11th, 2019 06:15 am

Harun Al-Rasyid berhasil menaklukkan Bizantium dan memaksa Kasiar Nicephorus I untuk membayar upeti pada Abbasiyah. Imam Al-Suyuthi mengatakan bahwa ini adalah perang yang sangat masyhur sekaligus penaklukan yang gemilang. Tapi di tahun yang sama, dunia Islam kembali berduka. Ibrahim bin Adham, seorang tokoh sufi terkemuka kala itu, dikabarkan wafat.


Lukisan karya Grager berjudul Harun Ar-Rasyid (763?-808). Sumber gambar: fineartamerica.com


Setelah membaca dengan seksama surat dari Nicephorus I, Harun Al-Rasyid langsung bergegas menyiapkan seluruh bala tentaranya. Dia ingin segera menghukum raja yang congkak ini. Pada hari itu juga Harun dan anak buahnya sudah bergerak menuju Bizantium. Setelah berjalan ribuan mil, akhirnya sampailah Harun dan pasukannya di Anatolia barat daya. Tepatnya di depan gerbang benteng Hiraclia,[1] yang merupakan wilayah perbatasan antara Bizantium dan Abbasiyah.

Tanpa ampun, Harun Al-Rasyid dan pasukannya mengamuk di wilayah itu. Dalam waktu singkat benteng tersebut berhasil dikuasai. Harun merampas barang-barang berharga dan terbaik untuk dirinya sendiri. Kemudian dia memerintahkan penduduk di sana dibantai, kotanya dihancurkan, dan dibakar hingga tak bersisa. Imam Al-Suyuthi mengatakan bahwa ini adalah perang yang sangat masyhur sekaligus penaklukan yang gemilang.[2]

Melihat kota di perbatasannya hancur berantakan oleh satu serangan saja, Nicephorus I gemetar. Dia segara menulis surat dan memerintahkan pada kurirnya untuk membawanya kepada Harun Al-Rasyid. Dalam surat tersebut, dia memohon berdamai dan bersedia terus membayar upeti tahunan pada Abbasiyah seperti biasanya. Harun pun mengabulkan permohonan Nicephorus I dan memutuskan kembali ke Baghdad.[3]

Tapi di tengah perjalanan pulang tersebut, datang kabar yang mengatakan bahwa Nicephorus I sudah melanggar janjinya. Para pengawalnya yang mengerti watak Harun Al-Rasyid, bingung cara menyampaikan hal ini. Karena mereka tau, bahwa Harun pasti akan marah besar. Jadi mereka membuat syair-syair yang menyiratkan masalah yang sedang terjadi.[4]

Harun yang sangat menyukai puisi itu, memiliki sensitifitas terhadap bahasa isyarat. Tidak butuh waktu lama, Harun langsung bertanya pada para pengawalnya, “Benarkah Nicephorus melakukan (yang kalian sampaikan) ini?” dan para pengawalnya pun diam, seraya meng-iya-kan apa yang terbersit dibenak Harun Al-Rasyid. Seketika itu juga Harun merasa sangat terpukul dengan pengkhianatan ini. Dia seolah tidak menyangka bahwa seorang kaisar dari imperium besar semacam Bizantium bisa bertindak sepengecut itu.[5]

Ketika itu Harun sedang berada di Raqqah, dan secara kebetulan musim dingin datang. Nicephorus I agaknya memahami tentang perubahan musim ini. Dia sengaja mematahkan perjanjian penting itu karena mengira Harun Al-Rasyid tidak mungkin datang kembali dalam kondisi cuaca yang sangat buruk seperti ini. Tapi Nicephorus juga tidak mengira, bahwa Harun mengetahui jalan pikirannya. Dalam keadaan cuaca buruk itu juga, Harun dan pasukannya berderap kembali ke Bizantium.[6]

Tapi berbeda dari sebelumnya, kali ini Harun bertekad tidak akan berhenti hingga dia mencapai Istana Bizantium. Dalam tekanan cuaca yang berat, pasukan Abbasiyah berhasil kembali melawati Hiraclea, lalu merangsek terus sampai ke jantung ibu kota Bizantium di Konstantinopel. Nicephorus I hanya bisa tercengang menyaksikan penaklukkan tersebut. Dia dan pasukannya jelas tidak siap atas kejutan yang luar biasa ini. Dengan perjuangan yang tak kenal lelah, akhirnya Harun Al-Rasyid berhasil menginjakkan kakinya di serambi istana kekaisaran Romawi.[7]

Dalam kondisi malu dan kalah, Nicephorus I bersimpuh di hadapan Harun Al-Rasyid dan mohon ampunan sekali kali. Permohonan ini akhirnya dikabulkan oleh Harun Al-Rasyid. Tapi Harun merampas pajak tahun dari Bizantium saat itu juga, dan mengambil alih sebagian besar dari wilayah kekuasaan Bizantium sebagai wilayah kekuasaannya. Menurut Al-Suyuthi, pada waktu itu juga Harun menebus semua kaum Muslimin yang ditawan di seluruh wilayah kekuasaan Romawi sampai tak bersisa.[8]

Akan tetapi, di tengah suka cita atas keberhasil penaklukan Bizantium oleh Harun A-Rasyid, kaum Muslimin lagi-lagi diselimuti kabar duka. Pada tahun 187 H ini juga, Ibrahim bin Adham, seorang tokoh sufi terkemuka di dunia Islam, dikabarkan wafat. [9] Dia lahir dengan nama Abu Ishak bin Ibrahim bin Adham pada tahun 168 H atau 782 M.[10] Ayahnya adalah seorang raja di Balkh, sebuah wilayah yang menjadi tempat pertama lahirnya ajaran agama Buddha. Kisah hidupnya mirip seperti Sidharta Gautama. Ibrahim meninggalkan singgasana yang seharusnya diwarisinya demi mencari Kebenaran.

Memang sulit mastikan penyebab pasti wafatnya tokoh besar ini. Tapi menurut Menurut N. Hanif, beberapa riwayat mengatakan bahwa Ibrahim juga tercatat ikut serta dalam mempertahankan Benteng Thughur, yang terletak di utara Suriah dari serangan Bizantium. Selain itu, dia juga tercatat ikut serta dalam dua ekspedisi militer Abbasiyah, dan dia gugur pada ekspedisi militer kedua melawan Bizantium. Jenazahnya dikebumikan di wilayah kekuasaan Bizantium kala itu, dekat Benteng Sukin, atau Sufana. Riwayat lainnya menyebutkan bahwa beliau wafat dan dikebumikan di Mesir. Selain di kedua tempat tersebut, ada juga riwayat yang mengatakan bahwa makamnya terletak di Bahgdad, di Damaskus, di Yerusalem, dan di Djabala, sebuah wilayah di tepi pantai Suriah.[11]

Kuat dugaan, banyaknya perbedaan pendapat tentang tempat pemakaman Ibrahim bin Adham juga dipengaruhi oleh luasnya legenda tentang beliau. Setelah meninggalkan singgasananya, Ibrahim bin Adham menjadi milik semua bangsa. Dia berjalan ke mana saja, dan menjadi legenda di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana layaknya para tokoh besar lainnya, dia menjelma menjadi bintang di segala kebudayaan, dan menjadi tautan mata masyarakat yang disinggahinya. Tak terkecuali, Ibrahim bin Adham bahkan menjadi bintang di dunia Sufistik. Namanya kerap muncul dan diceritakan oleh sufi-sufi besar setelahnya.

Dari sekian banyak kisah para sufi tentang perjalanan hidup Ibrahim bin Adham, kisah yang disampaikan oleh Fariduddin Attar, dalam Manthiq Ath-Thayr (Musyawarah Burung), agaknya cukup bisa menjelaskan apa yang dilakukan oleh Ibrahim bin Adham ketika ia melepaskan singgasanya dan menikmati laku hidup zuhud. Bahasa yang lebih tepatnya, dia “membeli kemiskinan” tersebut secara sengaja dengan semua apa yang dimilikinya. Berikut kisahnya: [12]

Seorang laki-laki selalu mengeluh tentang getirnya kemiskinan; maka Ibrahim Adham berkata padanya, “Nak, barangkali kau belum membayar harga kemiskinanmu itu?” Orang itu pun menjawab, “Apa yang Bapak katakan itu sesuatu yang mustahil; mana mungkin seseorang membeli kemiskinan?’, “Aku, setidak-tidaknya,” kata Adham, “telah memilih kemiskinan itu dengan sengaja dan telah kubeli kemiskinan itu seharga kerajaan dunia. Dan aku masih akan membeli sesaat dari kemiskinan ini dengan harga seratus dunia.”

Orang-orang yang haus akan kesempurnaan diri mempertaruhkan jiwa dan raga untuk hal itu. Burung cita-cita membubung ke arah Tuhan, diterbangkan sayap-sayap keimanan di atas segala yang bersifat fana dan bersifat ruhani. Jika kau tak memiliki cita-cita demikian, lebih baik mundur.

Demikian sekelumit kisah tentang Ibrahim bin Adham diceritakan oleh
Fariduddin Attar. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Saat ini lokasinya berada di kota Eregli, Turki.

[2] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta, Qisthi Press, 2017), hal. 309.

[3] Lihat, Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXIX, Al-Mansur and al-Mahdi, translated and annotated by Hugh Kennedy, State University of New York Press, 1995, hal, hal. 241

[4] Ibid, hal. 242-243

[5] Ibid, hal. 244

[6] Ibid

[7] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit

[8] Ibid

[9] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh, Darussalam, 2000), hal. 370

[10] Menurut N. Hanif, nama aslinya adalah Ibrahim bin Adham Mansur bin Yazid bin Djabir (Abu Ishak) Al –Idjli. Lihat, N. Hanif, Biographical Encyclopedia of Sufis in South Asia, 1 Edition, New Delhi, Sarup & Son,  2000, hal. 152. Beberapa penulis mencoba menelusuri silsilah Ibrahim bin Adham hingga ke Abdullah, saudara Ja’far al-Sadiq anak dari Muhammad al-Baqir, cucu Husain bin Ali, salah satu silsilah keluarga paling penting dalam sejarah Sufi, namun sebagian besar penulis percaya bahwa silsilahnya berasal dari Umar bin Khattab. Sejarah kehidupan Ibrahim bin Adham dicatat oleh penulis besar abad pertengahan yakni Ibnu Asakir dan Bukhari. Lihat, Lihat, https://kmnu.or.id/biografi-abu-ishaq-ibrahim-ibn-adham-ibn-manshur-seri-tokoh-sufi/, diakses 27 Juni 2018

[11] N. Hanif, Biographical Encyclopedia of Sufis in South Asia, 1 Edition, New Delhi, Sarup & Son,  2000, hal. 154

[12] Lihat, Faridu’d-din Attar, Manthiq Ath-Thayr,  diterjemahkan oleh Hartojo Andangdjaja dengan judul Musyawarah Burung, Cet. 2, Jakarta, Pustaka Jaya, 1986.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*