Di akhir tahun 216 H, Al-Makmun tiba di Mesir untuk memadamkan pemberontakan di sana. Sebagian catatan sejarah mengatakan, bahwa Al-Makmun sempat membuka salah satu Piramida yang ada di sana. Tujuannya tidak lain untuk menyingkap lebih jauh makna-makna tulisan yang banyak terdapat di dalam Piramida.
Setelah selesai melakukan penandatanganan perjanjian damai dengan Theophilus, kaisar Bizantium, Al-Makmun mengalihkan perhatiannya ke Mesir. Di sana sedang terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh sosok bernama Abdus Al-Fihri. Alasan pemberontakan mereka karena Abu Ishak (Muktasim) – yang dipercaya menjadi gubernur di sana – menetapkan pajak terlalu tinggi.
Kelompok pemberontakan tersebut berhasil membunuh sejumlah pasukan Abbasiyah di Mesir dan mengakibatkan keguncangan di sana. Al-Makmun tiba di Mesir sekitar bulan Zulhijjah 216 H, dan langsung mengerahkan pasukannya untuk merendam pemberontakan. Dalam waktu singkat, kelompok pemberontak tersebut bisa dikalahkan, dan Mesir kembali stabil.
Kunjungan Al-Makmun ke Mesir ini terbilang monumental. Karena baru kali ini – sejak Dinasti Abbasiyah berdiri – khalifah menginjakkan kakinya di Mesir. Sebagian catatan sejarah mengatakan, Al-Makmun sempat membuka salah satu Piramida. Michael Cooperson, dalam salah satu jurnal ilmiahnya menilai bahwa tujuan Al-Makmun membuka piramida tersebut tidak lepas dari dorongan kecintaannya pada ilmu pengetahuan.[1]
Firaun, bagaimanapun adalah salah satu sosok yang paling banyak disebut dalam Alquran. Sosok ini menjadi pelajaran yang sangat penting bagi siapapun, terlebih bagi penguasa seperti Al-Makmun. Menurut Michael Cooperson, pembukaan piramida oleh Al-Makmun terkait dengan keinginanya untuk menyingkap makna-makna tulisan yang banyak terdapat di dalam Piramida. Besar kemungkinan, tidak hanya piramida yang dieksplorasi pada saat itu, tapi juga sejumlah monumen lainnya.[2] Hanya saja, kita tidak banyak mengetahui hasil akhir dari penelitian yang dilakukan oleh Al-Makmun dan tim nya.
Al-Makmun tercatat cukup lama tinggal di Mesir. Selama waktu tersebut, telah terjadi sejumlah peristiwa di tempat lain. Di Baghdad, berita duka datang. Tentang wafatnya Zubaidah bin Al-Manshur, istri mendiang Harun Al-Rasyid, dan juga ibu tiri dari Al-Makmun. Selain itu, di perbatasan dengan Bizantium, terdengar berita bahwa pasukan Romawi kembali mebuat ulah di tanah yang sudah disepakati menjadi wilayah kekuasaan Abbasiyah.[3]
Mendengar berita ini, Al-Makmun segera menuntaskan kegiatannya di Mesir. Setelah memadamkan pemberontakan yang dipimpin oleh Abdus Al-Fihri, dia memutuskan untuk mengeksekusi mati pimpinan pemberontak tersebut, lalu bergegas kembali ke Damaskus.[4]
Pada tahun 217 H, Al-Makmun kembali menyerang Bizantium. Kali ini kedua pasukan dipimpin langsung oleh komandan tertinggi mereka, Kaisar Theophilus di Bizantium, dan Al-Makmun di pihak Abbasiyah. Pertempuran ini berlangsung selama sekitar 100 hari, dan berakhir dengan kemenangan Al-Makmun. Setelah mengetahui dirinya akan kalah, Kaisar Theophilus mengajukan perdamaian, dan permohonan itu dikabulkan. Perjanjian damai antara Kaisar Theophilus dengan Al-Makmun di buat pada tahun 217 H.[5]
Setelah menyelesaikan urusannya di Bizantium, Al-Makmun kembali ke Damaskus. Setalah itu melanjutkan perjalanan ke Raqah. Di tahun 218 H, Al-Makmun kembali ke Kota Bundar Baghdad. Dia tiba-tiba menginstruksikan agak mengosongkan satu pemukiman yang bernama Rafiqah. Pemukiman ini adalah salah satu bagian utama yang dibangun oleh Al-Manshur dahulu. Seiring berjalannya waktu, wilayah tersebut sudah dipenuhi oleh pemukiman penduduk. Al-Makmun bermaksud menggusurnya, dan menjadikan kawasan tersebut sebagai pemukiman milik pribadinya. Hanya saja, ketika kebijakan itu dikeluarkan, masyarakat di sana menangis histeris. Sehingga Al-Makmun menarik kembali kebijakannya.[6]
Di tahun yang sama, Al-Makmun mengirimn putranya, Al-Abbas bin Al-Makmun ke wilayah Bizantium dan memerintahkannya agar mulai program pembangunan di sana. Layaknya program pembangunan wilayah perbatasan yang dilakukan sekarang, program pembangunan ini juga bertujuan untuk menjaga kedaulatan dan loyalitas wilayah perbatasan pada pusat.
Untuk memenuhi keinginannya, Al-Makmun memerintahkan sejumlah pekerja serta sebuah datasemen khusus keprajuritan yang sudah digaji secara reguler untuk membantu progam tersebut. Dikisahkan oleh Tabari, bahwa Al-Abbas bin Al-Makmun memulai pekerjaannya dengan membangun wilayah yang luasnya mencapai 1 mil persegi. Dia kemudian mengelilingi wilayah itu dengan tembok sepanjang 13 Km, dengan empat gerbang. Dimana tiap gebang dilengkapi dengan menara pengawas.[7]
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Michael Cooperson, Al-Ma’mun, The Pyramids And The Hieroglyphs, dalam Occasional Papers of the School of ‘Abbasid Studies Leuven 28 June – 1 July 2004, UITGEVERIJ PEETERS en DEPARTEMENT OOSTERSE STUDIESLEUVEN – PARIS – WALPOLE, MA, 2010, hal. 165-191
[2] Ibid
[3] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 186-189
[4] Ibid, hal. 190
[5] Ibid, hal. 194-196
[6] Ibid, hal. 198
[7] Ibid, hal. 199