Hanya beberapa bulan sebelum wafatnya, Al-Makmun mengeluarkan kebijakan kontroversial, dengan menginterogasi para ulama tentang pendapat mereka mengenai kemahlukan Alquran. Sejarah mengenal ini sebagai Al-Mihnah atau fitnah Khalqul Quran. Orientalis menyebut ini sebagai lembaga inkuisisi pertama dalam sejarah Islam
Al-Makmun wafat pada bulan Rajab 218 H. Selama lebih dari 20 tahun masa pemerintahannya, Al-Makmun telah berhasil mengantarkan peradaban Islam mencapai puncak era keemasannya. Tradisi intelektual yang dibangunnya telah berkembang sedemikian rupa, hingga menghasilkan sejumlah penemukan penting yang menjadi asas berdirinya peradaban modern yang kita nikmati sekarang.
Tapi layaknya tokoh-tokoh besar dunia, sosok Al-Makmun memeram dalam dirinya sejumlah paradoks. Di samping melahirkan banyak capaian, kebijakan Al-Makmun juga tak jarang menyulut kontroversi. Salah satu keputusannya yang paling kontroversial adalah mengenai pendapatnya tentang kemahlukan Alquran. Sejarawan mengenal ini sebagai Al-Mihnah atau fitnah Khalqul Quran.
Sebelumnya, kebijakan ini sudah sempat diutarakannya pada tahun 212 H. Tapi ketika itu sifatnya masih berupa pendapat atau seruan kepada khalayak, bahwa Alquran adalah mahluk. Sedang kali ini – hanya beberapa bulan sebelum wafatnya – Al-Makmun menaikkan status himbauannya menjadi perintah yang bersifat tegas dan mengikat.
Dia menulis surat kepada Ishak bin Ibrahim Al-Khuzai (sepupu Thahir bin Husein) yang isinya adalah perintah untuk melakukan interogasi kepada para hakim dan ulama ahli hadis tentang pendapat mereka mengenai kemahlukan Alquran.
Para ulama tersebut diperintahkan untuk menghadap ke Raqqah. Di tempat itu, Al-Makmun membuat sebuah persidangan yang khusus untuk menanyakan pendapat para ulama tentang “apakah Alquran itu mahkluk, atau bukan?”. Eammon Gaeron menyebut ini sebagai lembaga inkuisisi pertama dalam sejarah Islam.[1]
Dalam suratnya kepada Ishaq bin Ibrahim, Al-Makmun menuliskan sebagai berikut:[2]
Tuhan telah memberikan wewenang kepada para Imam dan khalifah kaum Muslimin, bahwa mereka harus tekun membangun agama Tuhan, yang telah Dia perintahkan agar dijaga secara konsisten; di dalam warisan kenabian yang telah Dia jadikan mereka sebagai pewarisnya; di dalam tradisi pengetahuan yang telah Dia percayakan mereka agar menjaganya; dalam bertindak mereka hanya akan melaksanakan apa yang diperintahkan pada mereka; serta dengan tekun mematuhi segala kehendak Allah dalam perilaku mereka atas subjek-subjek tersebut.
Sekarang, Amirul Mukminin memohon Allah agar membimbingnya dalam ketegasan dan (membuat) resolusi dengan cara yang benar, dan agar (dimampukan) bertindak adil dalam menjalankan otoritas politik yang dipercayakan-Nya atas hamba-hamba-Nya. Dengan belas kasih dan rahmatNya.
“Amirul Mukminin paham bahwa mayoritas Muslimin dari kalangan awam – tidak memiliki wawasan luas, dasar ilmu yang kokoh, dan bukti kebenaran – telah menyamakan Allah dengan apa yang diturunkan Allah. Mereka itu orang-orang bodoh, orang-orang yang dibutakan dan orang-orang yang sesat dari hakikat agama. Mereka tidak bisa mendudukan Allah di tempat yang selayaknya dan tidak mengenal Allah dengan benar. Mereka tidak bisa membedakan Allah dengan mahluknya. Oleh sebab itulah, mereka menyatakan bahwa mahluk-Nya (maksudnya Alquran) bersifat kekal dan Allah tidak menciptakannya. Padahal, Allah sendiri berfirman (QS. Az-Zukhruf:3) artinya: “Sesungguhnya, Kami jadikan Alquran dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya.”
Semua orang tahu bahwa apa pun yang Allah jadikan adalah ciptaanNya dan dengan demikian dia adalah mahluk. Allah berfirman “Dan Dia jadikan kegelapan dan cahaya” (QS. Al-Anam: 1). Juga berfirman “Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagaian kisah umat yang telah lalu” (QS. Thaha: 99).
Dalam dua ayat ini Allah memberitahukan bahwa Dia menceritakan beberapa kisah yang terjadi setelah Dia menciptakan. Allah juga berfirman (QS. Hud: 1) “Alif, lam, ra. (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapih serta dijelaskan secara terperinci.” Allah telah menyusun Kitab-Nya dengan rapih dan menjelaskannya. Dengan demikian, Dia adalah Pencipta Alquran.
Mereka menyandarkan pendapat mereka kepada sunah walau menampakkan diri sebagai Ahlulsunah wal Jamaah yang hak. Mereka menyatakan bahwa orang-orang di luar kelompok mereka adalah batil dan kafir, dan hal ini mereka ekspresikan secara berlebihan. Akibatnya, pendapat ini memengaruhi orang-orang kurang akal, yang belakangan diikuti pula oleh orang-orang yang ikut-ikutan bertarikat dan orang-orang yang tunduk kepada selain Allah. Lalu orang-orang itu melepaskan yang hak dan memakai baju kebatilan. Mereka menjadikan selain Allah sebagai pelindung atas kesesatan mereka.
Pada penghujung suratnya Al-Makmun menulis, “Amirul Mukminin memandang bahwa mereka itulah seburuk-buruk umat yang amat sedikit mereguk manisnya tauhid. Mereka tidak lebih dari gentong-gentong kebodohan dan pemimpin para pembohong. Lisan mereka adalah lisan iblis yang berbicara lewat wali-walinya. Mereka adalah tentara musuh yang menyerang para pembela kebenaran yang teguh berpegang pada agama Allah. Mereka jauh dari keimanan dan hidayah, dan dipertanyakan kejujurannya, ditolak kesaksiannya, dan tidak dapat dipercaya ketauhidannya kepada Allah. Padahal, orang yang demikian itu adalah sesat. Dalam pandangan Amirul Mukminin, pendusta kelas satu adalah orang yang mendustakan Allah dan wahyu-Nya, yang selalu berusaha menebar kebatilan. Mereka tidak mengenal Allah dengan pengetahuan yang benar.
Maka kumpulkanlah hakim-hakim yang ada di wilayahmu dan bacakan surat ini kepada mereka. Setelah itu, ujilah mereka dengan menyimak perkataan mereka. Dengan begitu, ketahuanlah pendapat mereka tentang kemahlukan Alquran. Beritahu mereka bahwa aku tak pernah memohon pertolongan dalam perbuatan ku dan tak pernah pula memercayai orang yang tidak berpegang teguh pada agamanya. Mereka yang menyatakan dan menyepakati bahwa Alquran itu mahluk, perintahkan kepada mereka untuk menuliskan kesaksian itu di depan umum dan tinggalkan saja kesaksian orang yang menolak menyatakan bahwa Alquran adalah mahluk. Setelah itu, tuliskan kepada ku apa yang dikatakan oleh pada hakim mu tentang masalah yang kita bahas tadi dan tentang semua masalah yang kami pasrahkan kepada mereka.” (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, (United States of America: The Teaching Company, 2016), hal. 74
[2] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 199-204