Pada tahun 220 H, terjadi dua peristiwa penting, yaitu dihukumnya Ahmad bin Hanbal di depan publik. Dan keluarnya keputusan Al-Muktasim untuk memindahkan ibu kota Dinasti Abbasiyah dari Baghdad ke Samarra.
Pada dasarnya, Al-Muktasim adalah profil seorang prajurit. Dia sangat berbeda dengan Al-Makmun dan Harun Al-Rasyid yang mencintai ilmu dan juga negarawan. Al-Muktasim tumbuh dalam asuhan konflik dan perang. Ini sebabnya dia lebih memfokuskan perhatiannya para pembangunan sistem ketentaraan. Adapun terkait dengan sistem administrasi pemerintahan, dia hampir sepenuhnya meneruskan kebijakan-kebijakan Al-Makmun.
Salah satu di antaranya, dia membuka kembali sidang untuk menguji para ulama tentang pendapat mereka mengenai kemahlukan Alquran (Al-Mihna). Bahkan, jika Al-Makmun hanya menguji para ulama dan memaksa mereka mengakui kemahlukan Alquran, Al-Muktasim menulis surat perintah agar seluruh rakyat mengakui hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para guru untuk mengajar paham tersebut kepada anak didik mereka.[1]
Menurut Imam As-Suyuthi, tindakan ini membuat banyak orang sengsara. Tak terhitung ulama yang dibunuh gara-gara menolak menyatakan bahwa Alquran itu mahluk.[2] Salah satu yang cukup terkenal dicatat sejarawan, adalah ketika Ahmad bin Hanbal, di hukum cambuk oleh pengadilan Al-Muktasim.
Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi terdahulu. Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh adalah dua ulama terakhir yang tetap kukuh memegang pendiriannya ketika dipaksa mengakui kemahlukan Alquran oleh pengadilan Al-Makmun. Mereka berdua akhirnya diperintahkan dikirim ke Tarsus untuk menghadap langsung Al-Makmun yang ketika itu sedang melakukan pertempuran di wilayah perbatasan dengan Bizantium. Tapi disebabkan Al-Makmun keburu wafat, mereka dikembalikan ke Baghdad.[3]
Muhammad bin Nuh, wafat dalam perjalanan. Sedang Ahmad bin Hanbal dijebloskan ke dalam penjara sampai menunggu keputusan dari khalifah selanjutnya. Ketika Al-Muktasim naik tahta, dia memerintahkan agar pengadilan kembali dibuka. Pada saat itu, Ahmad bin Hanbal menjadi salah ulama yang kembali dipanggil untuk mengakui bahwa Alquran adalah mahluk. Tapi dia tetap tidak mengakuinya.
Hingga akhirnya, pada tahun 220 H, Ahmad bin Hanbal dijatuhi hukuman cambuk. Dalam satu kisah di katakan, ketika dikurung dalam penjara, Ahmad bin Hanbal sempat menyampaikan bahwa yang ditakutinya bukan hukuman bunuh atau penjara, namun hukuman cambukan. Karena dia khawatir tidak sabar menghadapi hukuman jenis ini.[4]
Tapi ketika dia hendak dicambuk, datanglah seorang pencuri ke hadapannya lalu berkisah, bahwa dia sudah pernah menjalani dicambuk sebanyak ribuan kali, tapi tetap bersabar. Padahal dia adalah seorang pencuri yang terbukti bersalah. Bagaimana mungkin, seorang ulama sekelas Ahmad bin Hanbal, yang merasa berada di atas kebenaran, justru ketakutan menghadapi hukuman semacam itu? Ternyata kata-kata pencuri tersebut berhasil menguatkan jiwa Ahmad bin Hanbal. [5]
Akhirnya Ahmad bin Hanbal menjalani hukuman tersebut. Dan selama menjalani hukuman itu, dia tetap kukuh dengan pendapatnya. Untuk itu dia terus dicambuk hingga akhirnya pingsan. Setelah itu dia dikembalikan ke dalam penjara.
Adapun Al-Muktasim, agaknya tidak terlalu peduli mengenai dampak dari kebijakannya ini. Dia tetap fokus membangun angkatan bersenjatanya. Untuk mencapai postur militer yang diinginkannya, Al-Muktasim bahkan mau bersusah-susah mencari tambahan budak dari Turki. Dia sengaja mengutus orang untuk pergi ke Samarkan, Farghana, dan lain-lain demi membeli budak-budak tersebut. Menurut Imam As-Suyuthi, Al-Muktasim menghabiskan dana fantastis untuk memenuhi keinginannya ini.
Al-Muktasim tampak sangat bangga dengan pasukan hasil bentukannya ini. Dia memanjakan budak-budak Turki tersebut dengan diberikan seragam yang terbuat dari sutra, dan ditambah pula dengan sejumlah perhiasan emas. Tapi lama kelamaan muncul ketidaksukaan dari korp tentara inti Abbasiyah atas perlakuan berlebihan Al-Muktasim. Tidak hanya itu, para budak dari Turki tersebut dinilai tidak tahu sopan santun. Mereka memacu kudanya di tengah Kota Baghdad yang ramai hingga membuat masyarakat jengah pada perilaku mereka. Di tambah lagi, dengan adanya para budak dari Turki tersebut, populasi Baghdad seketika meledak. Arael seluas sekitar 40 kilometer persegi itupun seketika terasa sesak.[6]
Akhirnya warga Baghdad mendatangi Al-Muktasim untuk memprotes masalah tersebut. Di hadapan Al-Muktasim mereka berkata: “Jika engkau tidak mengusir mereka dari Baghdad dengan pasukan mu, kami penduduk Baghdad akan memerangi mu!”
Menurut Imam As-Suyuthi, mendengar protes mereka tersebut, Al-Muktasim bertanya dengan nada menantang, “Bagaimana mungkin kalian akan memerangi ku? Mereka menjawab, ”Kami akan memerangi mu dengan panah-panah sihir.” Mendengar jawaban mereka, Al-Muktasim berkata, “Kalau itu yang akan kalian lakukan, aku tidak mampu menghadapinya.”[7]
Akhirnya, atas pertimbangan tersebut, pada tahun 220 H, Al-Muktasim memutuskan untuk memindahkan markas besar pasukannya ke wilayah yang bernama Samarra.
Asal kata nama Samarra adalah Surra Man Raa, yang artinya “menyenangkan bagi yang menyaksikannya”.[8] Tapi alih-alih menyenangkan, kelak sejarah Dinasti Abbasiyah akan menyaksikan satu fase sejarah yang dikenal sebagai “anarki di Samarra”.
Dalam kurun waktu tersebut, anak-anak bani Abbas seperti keluar dari rumahnya (Baghdad) untuk sekedar dihinakan di Samarra. Mereka dikendalikan dan diperbudak oleh budak-budak mereka, serta diajak saling membunuh di antara sesama mereka. Hingga akhirnya anak-anak Bani Abbas tersebut tumpas satu persatu dalam “perbudakan” yang terjadi di dalam istananya sendiri.[9] Sebuah fenomena zaman yang sangat tidak lazim. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 355
[2] Ibid
[3] Uraian lebih jauh mengenai peristiwa ini, terdapat pada edisi terdahulu serial ini. Untuk membacanya, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-65-abdullah-al-makmun-14/
[4] Lihat, Ujian Besar Bagi Imam Ahmad bin Hambal, https://alif.id/read/rizal-mubit/ujian-besar-bagi-imam-ahmad-bin-hanbal-b211927p/, diakses 29 Juli 2019
[5] Ibid
[6] Lihat, Syeed Ameer Ali, A Short History Of The Saracens,(London: MacMillian And Co., Limited ST. Martin’s Street, 1916), hal. 282
[7] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit, hal. 356
[8] Lihat, Ibid. Lihat juga, Syeed Ameer Ali, Op Cit.
[9] Uraian singkat mengenai “anarki di Samara” pernah diulas dalam salah satu artikel ganaislamika. Untuk membaca, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/pemberontakan-zanj-2-anarki-di-samarra/