Dinasti Abbasiyah (75): Abu Ishaq Al-Muktasim (6)

in Sejarah

Last updated on August 8th, 2019 12:51 pm

Di samping karena pertimbangan internal, pembangunan postur militer yang dilakukan Al-Muktasim juga didorong oleh adanya persepsi ancaman dari luar. Sejak awal pemerintahannya, Al-Muktasim sudah dihadapkan pada sejumlah upaya pemberontakan di sejumlah wilayah.

Gambar ilustrasi. Sumber: stapico.com

Sebagaimana sudah dikisahkan sebelumnya. Di masa Al-Muktasim, terjadi pembangunan postur militer yang besar-besaran. Sebagian pihak banyak yang mengkritik kebijakan ini. Tapi bagaimanapun, kebijakan tersebut sebenarnya memiliki tujuan yang objektif. Karena sejak pertama kali dilantik sebagai khalifah menggantikan Al-Makmun, Al-Muktasim sudah mendapat oposisi langsung dari kelompok militer. Hal ini yang kemudian mendorongnya untuk membentuk satuan militer tersendiri, yang bisa dia percaya untuk mengawal pemerintahannya.

Sedang di sisi lain, pada awal pemerintahannya, Al-Muktasim dihadapkan pada sejumlah masalah pemberontakan yang terjadi di beberapa wilayah. Salah satu yang terbesar adalah pemberontakan kaum Khurrami pada tahun 218 H, atau di tahun pertama Al-Muktasim menjabat sebagai khalifah.

Kaum Khurrami adalah sekte yang dianggap memiliki ajaran menyimpang kala itu. Mereka memiliki agama sendiri yang dinamakan din al-Khurramiyyah. Di tahun pertama Al-Muktasim menjabat sebagai khalifah, sekte ini menuai partisipasi luar biasa. Secara mengenjutkan, orang-orang di al-Jibal, dari Hamadhan, Isfahan, Masabadhan dan Mihrajangadhaq (Kawasan Iran sekarang), memeluk agama Khurrami.[1]

Ketika itu, yang ditunjuk sebagai gubernur Al-Jibal adalah Abu Ishaq bin Ibrahim, orang kepercayaan Al-Makmun yang dulu memimpin persidangan Mihna. Ishaq pun diperintahkan untuk menghancurkan sekter tersebut. Tanpa ampun Ishaq menghabisi orang-orang sekte Khurramiyyah. Menurut catatan Tabari, sekitar 60.000 hingga 100.000 korban yang terbunuh dari pihak Khurramiyyah. Sedang sisanya ada yang melarikan diri ke wilayah Bizantium.[2]

Kemudian pada tahun 219 H, pecah lagi pemberontakan di Khurasan yang dipimpin oleh salah satu tokoh dari keturunan Ali bin Abi Thalib bernama Muhammad bin al-Qasim bin Umar bin Ali bin Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib. Dia menggunakan jargon klasik, yaitu “atas nama hak keluarga Muhammad.”[3]

Muhammad bin Qasim sebenarnya hidup di Madinah. Tapi sesaat setelah wafatnya Al-Makmun, sejumlah orang dari Khurasan mendatanginya pada musim haji dan memberikan baiatnya pada Muhammad. Pengambilan baiat ini ternyata terus berlanjut. Lama kelamaan jumlah pendukungnya kian meningkat pesat. Sehingga memaksa Muhammad bin Qasim untuk secara langsung memimpin revolusi mereka di Khurasan.[4]

Ketika itu, gubernur di Khurasan adalah Abdullah bin Tahir, putra dari pahlawan legendaris Khurasan, Tahir bin Husein.[5] Dalam waktu singkat, Abdullah berhasil melacak jejaring kekuatan Muhammad bin Qasim. Maka pecahlah pertempuran di sejumlah front. Hampir di setiap front pertempuran, pasukan Muhammad bin Qasim mengalami kekalahan. Hingga akhirnya pemberontakan Muhammad bin Qasim berhasil dipatahkan oleh Abdullah bin Tahir. Muhammad bin Qasim di tahan, dan dibawa menghadap ke Al-Muktasim. Dia dipenjara di Baghdad pada tahun 219 H. Tapi pada akhir bulan Ramadhan, dia berhasil melarikan diri.[6]

Dan pada tahun yang sama, gangguan keamanan merebak di Basrah, yang merupakan jantung perekonomian Dinasti Abbasiyah. Gangguan ini dilakukan oleh orang-orang Zutt, yaitu etnis India yang sudah tinggal di Basrah selama ratusan tahun. Awalnya, mereka ini dibawa oleh Kaisar Sasanid yang berkuasa di Persia sebelum penaklukan Islam.[7]

Pada masa Dinasti Umayyah, jumlah orang-orang Zutt ditingkatkan oleh gubernur Hajjaj bin Yusuf yang memiliki kewenangan menguasai imperium Umayyah sebelah Timur. Atas perintah Hajjaj bin Yusuf, mereka ditempatkan di dataran rendah Basrah yang berawa. Memasuki era Dinasti Abbasiyah, mereka mulai melakukan pemberontakan. Puncaknya, adalah ketika era Al-Makmun. Mereka sempat merepotkan siklus ekonomi kota Basrah dengan sejumlah perampokan di jalur perdagangan antara Basrah dan Baghdad.[8]

Ketika memasuki era Al-Muktasim, kaum Zutt meningkatkan intensitas gangguannya. Ketika itu Basrah adalah kota pelabuhan yang paling ramai di muka bumi. Keberhasilan Al-Makmun menjadikan Dinasti Abbasiyah sebagai imperium terbesar dan terkuat di dunia, membuat Basrah bertransformasi menjadi pasar global yang besar. Dari sinilah barang-barang dari segala penjuru bumi masuk lalu di edarkan ke sejumlah wilayah kekuasaan Abbasiyah. Maka ketika Kaum Zutt meningkatkan intensitas gangguannya di wilayah tersebut, pemerintah Abbasiyah benar-benar merasa terancam.

Untuk mengatasi masalah ini, Al-Muktasim sengaja membuat sebuah operasi khusus yang dipimpin oleh sosok bernama Ujayf bin Anbasah. Satuan yang dipimpin oleh Ujayf ini terbilang khusus. Mereka memiliki kemampuan inteligen, bertarung, dan berperang. Dengan sabar, Ujayf mendeteksi jejaring operasi kaum Zutt, hingga sampai pada inti kekuatannya. Setelah lengkap, barulah dia melancarkan serangan sekaligus ke semua lini kekuatan mereka.[9]

Secara keseluruhan, operasi yang dipimpin oleh Ujayf ini berlangsung selama sembilan bulan, dan berakhir di akhir tahun 219 H dengan tertangkapnya pemimpin kaum Zutt bernama Muhammad bin Utsman. Mereka kemudian digendang ke Baghdad. Mereka memasuki Kota Baghdad bertepatan pada acara peringaan Asyura, atau tanggal 1 Muharram 220 H. Total jumlah mereka ketika itu sekitar 27.000 orang. Terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak.[10]

Al-Muktasim yang menyaksikan hal ini, memerintahkan agar mereka semua dipersenjatai, dikapalkan dan dibawa ke front pertempuran menghadapi Bizantium. Ketika dalam perjalanan, rombongan tersebut dihadang oleh pasukan Bizantium, lalu dimusnahkan tanpa sisa. Tak seorangpun dari mereka berhasil melarikan diri dari serangan tersebut.[11]

Demikian itu beberapa kisah pemberontakan yang dihadapi Al-Muktasim di dua tahun awal pemerintahannya. Sebagaimana sudah diulas pada edisi sebelumnya, pada tahun 220 H itu juga Al-Muktasim memindahkan markas besar pasukannya ke Samarra. Di tempat itu, Al-Muktasim akan menghadapi intrik politik dari dalam, dan juga mendeklarasikan perang paling besar dalam sejarah konflik Abbasiyah Vs Bizantium. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (New York: State University of New York Press, 1991), hal. 2

[2] Ibid, hal. 3

[3] Ibid, hal. 5

[4] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 442

[5] Uraian lebih jauh mengenai profil Tahir bin Husein, bisa mengakses edisi terdahulu dari serial ini dengan mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-48-muhammad-al-amin-5/

[6] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit

[7] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Op Cit, hal. 7

[8] Lihat, Anotasi C. E. Bosworth dalam Tabari, Ibid

[9] Ibid, hal. 8

[10] Ibid, hal. 9-10

[11] Ibid, hal. 11

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*