Keputusan Al-Muktasim memindahkan ibu kota Dinasti Abbasiyah dari Baghdad ke Samarra memberi dampak yang fundamental pada struktur sosial-politik dalam tubuh dinasti ini. Pada masa selanjutnya, berdampak luas terhadap sejarah peradaban Islam.
Kota Samarra
Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi terdahulu, disebabkan protes dari pendudukan Baghdad, Al-Muktasim akhirnya memindahkan korp budak-budak Turki, dari Baghdad ke Samarra.
Kota Samarra, sebenarnya bukan pemukiman baru. Kota ini sudah dibangun sebelumnya sejak era Al-Manshur dan terus berkembang hingga era Harun Al-Rasyid. Kota ini terletak sekitar 90 Km di utara Kota Baghdad. Posisinya berada di tepi sebelah timur sungai Tigris. Bila merujuk pada situs arkeologi Kota Samarra yang ditetapkan oleh UNESCO, luas kota ini sekitar 15.058 hektar.[1]
Awalnya, Al-Muktasim mencanangkan wilayah ini sebagai pusat kegiatan militer saja. Tapi karena pertimbangan strategis dan keamanan, Al-Muktasim memutuskan untuk menjadikan Samarra sebagai ibu kota baru Dinasti Abbasiyah. Oleh sebab itu, Al-Muktasim memerintahkan agar Samarra segera dibangun.
Tak tanggung-tanggung, dia mendatangkan arsitek pilihan dari berbagai negeri, dan mendirikan sejumlah bangunan megah di sana. Salah satu yang masih bisa ditemukan sampai sekarang adalah menara spiral yang menjadi ciri khas Kota Samarra.
Selain itu, Al-Muktasim juga membangun istana dan pemukiman khusus untuk keluarganya. Dia juga membuat istana untuk masing-masing jenderalnya berikut kantor administrasinya. Berdasarkan hasil penggalian arkeologis, di dalam Kota Samarra terdapat juga masjid, barak-barak prajurit, serta lokasi yang diperkirakan dulunya adalah pasar, lokasi berburu, dan tiga lintasan pacuan kuda. Lintasan pacuan kuda ini terletak di sebelah timur kota, yang masing-masing lebarnya sekitar 80 meter dengan panjang lintasan mencapai lebih dari 10 Km.[2]
Menurut Syed Ameer Ali, barak-barak prajurit yang ada di Samarra mampu menampung sekitar 250.000 prajurit. Dan kandang-kandang kudanya mampu menampung lebih dari 60.000 kuda. Secara umum, prajurit yang mendiami wilayah tersebut adalah para budah dari Turki.[3]
Dari gambaran tersebut kita setidaknya bisa membayangkan, betapa Al-Muktasim begitu ambisius membangun kekuatan militernya. Selain sebagai pusat pemerintahan, Samarra juga menjadi pusat latihan dan pembinaan para prajurit. Di lihat dari jumlahnya, besar kemungkinan ini merupakan markas militer terbesar di dunia pada masa itu.
Menariknya, meski Kota Samarra tiba-tiba mengalami pembengkakan populasi, tapi tidak terjadi gesekan sosial antara prajurit dengan menduduk asli Samarra sebagaimana di Baghdad. Mungkin secara kebetulan penduduk asli kota ini umumnya berasal dari Khurasan Timur dan Transoxania yang secara geneologis merupakan keturunan etnis Turki. Hanya memang, para penduduk asli ini umumnya berasal dari beberapa keluarga terkemuka dari tempat asalnya.[4]
Tapi kenyataan itu tidak membuat masyarakat setempat risih dengan kehadiran para prajurit dari Turki tersebut. Alih-alih, kehadiran mereka di tempat tersebut, malah mengangkat derajat para penduduk Samarra. Mengingat sebelum itu, mereka adalah warga kelas dua (setelah bangsa Arab dan Persia) dalam strata sosial masyarakat. Mengikuti jejak para prajurit dari Turki, masyarakat setempat pun akhirnya ikut secara sukarela mengabdi pada Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Al-Muktasim.[5] Maka sangat wajar bila Al-Muktasim mendapatkan rasa aman di Samarra daripada di Baghdad.
Meski begitu, perpindahan ibu kota Dinasti Abbasiyah dari Baghdad ke Samarra juga berdampak besar pada status para prajurit dari Turki ini. Bila sebelumnya mereka hanya berstatus sebagai pengawal pribadi Al-Muktasim. Ketika di Samarra, status mereka berubah menjadi pasukan inti Dinasti Abbasiyah, menyingkirkan Abna (tentara inti Abbasiyah yang umumnya kombinasi antara etnis Persia dan Arab).[6]
Dengan adanya perubahan status ini, maka dampak-dampak lanjutnya menyusul. Bila sebelumnya mereka tidak dibayar, kali ini mereka mendapatkan gaji yang layak. Status politik mereka juga berubah. Dari sebelumnya hanya dianggap sebagai warga kelas bawah, kini mereka menjadi kontestan politik yang cukup disegani. Seperti yang terjadi pada diri Ashinas, yang dulunya bahkan berani merelakan nyawanya untuk menjaga Al-Muktasim,[7] pada tahun 220 H, diangkat sebagai Gubernur di Mesir. Demikian juga dengan Al-Afshin yang – pada tahun yang sama – diangkat menjadi jenderal angkatan perang Abbasiyah untuk menumpas pemberontakan Babak Khurmi, seorang pemimpin agama baru yang dari Azarbaijan.[8]
Demikian itu beberapa perubahan fundamental yang terjadi sebagai dampak dari dipindahkannya ibu kota Dinasti Abbasiyah ke Samarra. Sejumlah perubahan ini nantinya mempengaruhi alur sejarah politik Dinasti Abbasiyah secara khusus, dan sejarah Islam secara keseluruhan. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan
kaki:
[1] Lihat, https://whc.unesco.org/en/list/276, diakses 5 Agustus 2019
[2] Lihat, History of Samarra, http://community.dur.ac.uk/derek.kennet/history.htm, diakses 5 Agustus 2019
[3] Lihat, Syeed Ameer Ali, A Short History Of The Saracens,(London: MacMillian And Co., Limited ST. Martin’s Street, 1916), hal. 282
[4] Lihat, Matthew S. Gordon, The Breaking of a Thousand Swords; History of The Turkish Military of Samarra (A.H. 200-275/815-889 C.E), State University of New York Press, 2001, hal. 2
[5] Ibid, hal.
[6] Ibid, hal.
[7] Uraian lebih jauh tentang awal kemunculan sosok bernama Ashinas ini bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-57-abdullah-al-makmun-6/
[8] Babak Khurmi adalah pemimpin agama baru yang muncul pertama kali tahun 211 H di Azarbaijan. Agama baru ini dikenal intoleran. Mereka melakukan pembunuhan dan menganiayaan terhadap kaum Muslimin, Kristen, dan Yahudi di wilayah tersebut. Kisah kemunculannya pernah di ulas pada edisi terdahulu serial ini. Untuk kembali membaca, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-62-abdullah-al-makmun-11/