Di bawah kepemimpinan Al-Afshin, metode perang tentara Abbasiyah menjadi sangat berbeda. Pasukan Abbasiyah dari divisi lainnya bisa menyaksikan langsung satu teknik pertempuran baru. Dimana taktik, intrik, dan permainan telik sandi justru menjadi motor utama kemenangan mereka.
Pada tahun 220 H, Al-Afshin bergerak bersama seluruh pasukannya menuju Azarbaijan. Pasukan ini tidak hanya terdiri dari divisi budak dari Turki, tapi juga dari Pesia, Khurasan dan Arab. Inilah untuk pertama kalinya, divisi pasukan Persia dan Arab itu merasakan dipimpin oleh orang yang berasal dari kelas sosial yang lebih rendah.[1]
Begitu sampai di Kota Ardabil (Azarbaijan) – yang beberapa tahun sebelumnya sudah ditaklukkan tentara Abbasiyah yang dipimpin oleh Abu Said Muhammad bin Yusuf[2] – tentara Abbasiyah tidak langsung sporadis menyerang musuhnya.
Al-Afshin dengan cerdik memainkan tempo seefektif dan seefisein mungkin dalam peperangan ini. Pertama-tama dia memblokade jalur suplai barang dan makanan ke dan dari Benteng Al-Badhdh yang terletak di puncak gunung.[3]
Selanjutnya, dia memecah sistem komunikasi antara mata-mata Babak Khurmi yang terkenal sangat setia. Pasukan Abbasiyah yang sebelumnya sudah mengetahui siapa-siapa saja mata-mata Babak, menggiring satu persatu mata-mata tersebut, lalu dihadapkan ke Al-Afshin. Tapi menariknya, ketika berhadapan dengan Al-Afshin, mata-mata tersebut tidak diinterogasi ataupun disiksa. Sebaliknya, mereka malah dipuji dan diberi hadiah yang banyak dari Al-Afshin. Seraya berkata, “titip salam hormat ku untuk Babak..!”[4]
Pada tahap selanjutnya, satu persatu mata-mata tersebut ditawari bayaran dua kali lipat dari yang biasa mereka peroleh dari Babak, asalkan mereka mau membelot menjadi mata-mata Abbasiyah. Mendengar tawaran yang menggiurkan ini, satu-persatu dari mereka pun membelot, bahkan membocorkan sejumlah rahasia kelompok mereka.[5]
Babak Khurmi, agaknya tidak menyadari telah terjadi pelucutan sistematis terhadap kekuatannya. Dan ketika dirasa waktunya sudah tepat, Al-Afshin memulai melakukan blokade besar-besaran terhadap Benteng Al-Badhdh. Mereka mengunci sistem komunikasi dan jalur ke benteng tersebut. Semua masih dilakukan secara senyap. Untuk berkoordinasi, mereka menggunakan bahasa isyarat seperti dengan menggunakan bendera dan kode mata-mata lainnya. Semua teknik ini, nyaris tak pernah dikenali oleh pengetahuan militer Abbasiyah sebelumnya.[6]
Meski berkekuatan sangat besar, pasukan Abbasiyah justru beraksi layaknya pasukan gerilya. Mereka bertempur siang dan malam, baik dalam pertarungan kecil maupun besar. Setiap berhasil mengambil alih kekuatan musuh, mereka mampu mempertahankannya dengan hati-hati, kemudian maju lagi setahap demi setahap. Dengan sabar, Al-Afshin menggembosi kekuatan Babak.
Di sisi lain, metode perang yang dilancarkan Al-Afshin ini ternyata menjadi ajang seleksi kemampuan militer tiap divisi pasukan Abbasiyah yang dibawanya. Cuaca yang dingin membuat pasukan Abbasiyah yang berasal dari Arab dan Khurasan tidak sabar mengikuti cara peperangan seperti ini. Melihat kondisi mereka, Al-Afshin memutuskan untuk lebih banyak mengandalkan koleganya yang juga jenderal Turki, seperti Jenderal Bugha dan Ithak. Maka praktis, pertempuran ini menjadi ajang unjuk kemampuan para pasukan Turki.
Para jenderal dari Turki itupun berhasil menunjukkan kemampuan militernya, baik secara taktis maupun strategis. Dalam perang kali ini, pasukan Abbasiyah dari divisi lainnya bisa menyaksikan langsung satu teknik pertempuran baru. Dimana taktik, intrik, dan permainan telik sandi justru menjadi motor utama kemenangan mereka.
Alhasil, serangan umum barulah terjadi pada tahun 222 H. Ketika itu Al-Afshin sendiri yang mengatur strategis pengepungan Benteng Al-Badhdh. Tapi Babak ternyata memang licin. Ketika menyadari bahwa pasukannya tidak mungkin mampu bertahan lebih lama, dia memutuskan melarikan diri bersama istri dan keluarganya. Dan ketika benteng berhasil ditaklukkan, pasukan Abbasiyah tidak menemukan Babak Khurmi. Al-Afshin kemudian memerintahkan benteng tersebut diratakan dengan tanah, dan membakar semua rumah, serta pemukiman yang ada di sekitar benteng tersebut.[7]
Tapi yang Babak tidak sadari, bahwa kekalahan yang dialaminya bukan hanya bersifat militer, tapi juga kalah secara sosial dan politik. Selama proses invasi, ternyata Al-Afshin berhasil mengambil kesetiaan hampir semua bangsawan di sekitar Azarbaijan hingga ke Armenia. Hingga satu-satunya tempat yang aman tersisa bagi Babak, adalah benteng yang menjadi tempat dia dia bersembunyi selama ini.[8] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan
kaki:
[1] Ketika masa Rasulullah Saw, sistem ashobiyah dihapuskan. Sehingga menjadi hal biasa ketika seorang budak atau orang yang berasal dari kelas sosial lebih rendah, naik ke puncak pimpinan. Tapi ketika memasuki era Dinasti Umayyah, nilai-nilai ashobiyah bangsa Arab ini kembali mencuat. Dan ketika memasuki era Abbasiyah, ashobiyah bangsa Persia juga naik kepermukaan. Maka ketika Al-Muktasim menunjuk Al-Afshin – yang berasal dari kelas budak – sebagai panglima perang Abbasiyah, ini menjadi hal yang janggal. Uraian lebih jauh terkait awal munculnya kembali semangat ashobiyah di masa Bani Umayyah dan Abbasiyah, sudah dijelaskan pada edisi awal serial ini. Lihat link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-3-menunggangi-revolusi-2/
[2] Lihat, https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-77-abu-ishaq-al-muktasim-8/
[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 447
[4] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (New York: State University of New York Press, 1991), hal. 19
[5] Ibid
[6] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 446
[7] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Op Cit, hal. 72
[8] Ibid